Prof Mahfud, Prof Rhenald, dan Ketakutan PSI pada Kuasa Jokowi
Orang yang takut biasanya tidak akan menentang arus, melawan, dan mengkritisi kekuasaan. Orang yang takut akan lebih memilih diam, mencari aman, tidak ambil risiko, sehingga mengekor saja semua agenda politik pemegang kekuasaan.
Oleh: Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner INTEGRITY Law Firm Registered Lawyer di Indonesia dan Australia
SELASA Pagi (1/8/2023) seorang teman mengirimkan video podcast Prof @mohmahfudmd dengan Prof @Rhenald_Kasali.
Ada beberapa menit yang membicarakan soal saya (Denny Indrayana). Karenanya, saya kemudian memutuskan untuk memberikan klarifikasi.
Sebenarnya, saya menghindar untuk fokus ke persoalan saya pribadi. Karena, saya ingin kita lebih ke isu-isu publik, bukan isu private pribadi. Akhir-akhir, ini saya mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikiran, termasuk akun media sosial saya untuk mengadvokasi agar pemilu 2024, termasuk Pilpres, berjalan jujur, adil, dan demokratis.
Mengapa? Karena secara hukum tata negara, ilmu yang saya pelajari, itulah satu-satunya jalan terbaik untuk menyelamatkan perjalanan bangsa Indonesia ke depan, terlepas dari keterpurukan. Yaitu, melalui pemilu yang berjalan jujur, adil, demokratis, dan berhasil memilih pemimpin eksekutif (presiden) dan anggota legislatif terbaik yang amanah dan antikorupsi.
Kalau pemilu kita hanya "festivalisasi" atau "sensasionalisasi", tanpa "intelektualisasi", tanpa ada pertarungan visi-misi, lebih ke arah survei "elektabilitas", "popularitas", tapi melupakan "kapasitas" dan "intregritas", maka anggota parlemen, bahkan presiden kita akan ditentukan oleh "DUITokrasi", daulat duit. Presiden pilihan uang, bukan rakyat!
Karena itu, saya cenderung membiarkan saja serangan-serangan ke pribadi saya. Argumentasi ad hominem. Menyerang pribadi, bukan ke substansi masalah.
Tetapi, karena bagaimanapun ini sudah masuk wilayah politik, yang sangat dipengaruhi "persepsi", maka sekali-kali saya memutuskan tetap penting untuk melakukan klarifikasi (tabayyun). Karena, kalau disinformasi soal pribadi saya terus dibiarkan, pesan-pesan perjuangan saya untuk menjaga pemilu 2024 – termasuk Pilpres – berjalan jujur, adil, dan demokratis juga akan terkena imbas negatifnya.
Kali ini, saya akan fokus pada 3 disinformasi: (1) Tuduhan korupsi di kasus "Payment Gateway"; (2) Tuduhan menyebarkan hoax di soal putusan MK soal sistem pemilu legislatif; dan (3) Tuduhan "takut", karena tidak menghadapi masalah hukum di tanah air.
SATU, soal payment gateway, saya berterima kasih, dalam podcast dengan Rhenald Kasali, Prof Mahfud menyatakan tidak ada korupsi. Yang terjadi adalah "salah prosedur", tidak ada korupsi karena saya "bukan makan uangnya". Saya tentu punya banyak argumen bahwa kesalahan prosedur pun senyatanya tidak ada.
Yang tidak dijelaskan Prof. Mahfud, bahwa saya dikasuskan karena mengadvokasi proses pemilihan Kapolri saat itu. Pada awal pemerintahan Presiden Jokowi, Beliau menominasikan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Kami menolaknya karena tidak percaya dengan integritasnya. Masih ingat laporan utama Majalah Tempo soal "Rekening Gendut" para petinggi kepolisian saat itu?
Maka, terjadilah gonjang-ganjing politik hukum. Buntutnya, beberapa pimpinan dan pegawai KPK ditersangkakan kepolisian, di antaranya adalah Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan. Di luar KPK, sahabat Prof. Mahfud, Ketua Komisi Yudisial kala itu Suparman Marzuki, juga ditersangkakan.
Karena advokasi pemilihan Kapolri itulah, saya pun ikut ditersangkakan Bareskrim Polri, pada awal 2015. Dimunculkan kasus "payment gateway", upaya saya memperbaiki sistem pembayaran paspor secara online, hal ini agar menghilangkan praktik percaloan. Sudah 8 tahun lebih, kasus itu masih digantung.
Kalau saya mengkritisi kekuasaan, kasus itu dimunculkan dan diberitakan lagi ke publik. Kasus "payment gateway" nyata-nyata dijadikan alat sandera politik. Namun, saya menolak untuk tunduk. Saya menolak untuk takut, dan tetap bersuara kritis sesuai pilihan idealisme yang saya yakini kebenarannya.
Siapapun yang merasa kasus itu bukan kriminalisasi, itu hak anda. Meski ada baiknya, anda berpikir ulang, dan bersikap lebih membuka mata-hati, dan berpikir tidak semua kasus hukum di negeri ini murni penegakan hukum, apalagi kalau kita berhadapan dengan kekuasaan, oligarki, dan mafia hukum yang koruptif.
Lebih jauh soal kasus "payment gateway" silakan klik: https://integritylawfirms.com/indonesia/2019/11/06/payment-gateway-case/
Ada satu lagi, yang ingin saya luruskan, dari pernyataan Prof Mahfud, bahwa saya diberhentikan dari UGM. Lebih tepatnya, saya yang minta berhenti secara terhormat, tanpa hak pensiun. Karena, setelah dikasuskan, saya mengalami "kematian perdata". Imbasnya, rezeki berkurang. Maka, saya berpikir untuk membuka kantor hukum.
Agar tidak terjadi benturan kepentingan dan pelanggaran aturan – karena saya meyakini PNS tidak boleh membuka kantor hukum, meskipun tidak sedikit yang diam-diam melakukannya, maka dengan berat hati saya memilih untuk mundur dari UGM. Lagi-lagi, saya ingin bersikap konsisten dengan prinsip antikorupsi, termasuk tidak berstatus PNS saat membuka firma hukum INTEGRITY.
DUA, Rhenald Kasali dalam podcast tersebut, beberapa politisi PSI, dan mereka yang punya pemahaman politik cenderung sealiran, masih saja menyatakan saya menyebar "hoax" terkait putusan MK soal sistem pemilu. Ayo, mari kita luruskan logika amat-sangat sederhana (simple logic).
Bahwasanya saya mengatakan MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup, dan ternyata putusannya terbuka, tidak boleh dong serta-merta disimpulkan saya menyebarkan hoax. Mengapa sulit sekali memahami adanya kemungkinan pergeseran putusan di MK, dari awalnya berencana memutuskan tertutup lalu bergeser menjadi terbuka?
Tanyakan kepada beberapa pemohon ataupun saksi di persidangan, apa yang mereka dengar dan ketahui. Tidak sedikit yang akan mengkonfirmasi, bahwa mereka juga berkeyakinan bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup, meskipun lalu berubah.
Prof Mahfud menyatakan yang kredibel hanya sumber di MK. Ini saya berbeda pendapat. Sumber kredibel bisa pihak lain yang punya kapasitas dan integritas tak terbeli, di luar MK, yang paham dan mengerti situasi dan punya ilmu pengetahuan terkait kecenderungan putusan MK.
Misalnya, sekali lagi hanya misalnya, kalau sumber saya adalah Prof. Mahfud MD, mantan Ketua MK, Menkopolhukam, Guru Besar Hukum Tata Negara, mosok salah jika saya menyebut beliau adalah sumber yang kredibel, meskipun Prof Mahfud tidak lagi di MK?
Info saya valid! MK akan memutuskan sistem pileg proporsional tertutup. Saya tidak bisa membuka siapa sumbernya. Bukan karena takut. Justru karena saya bertanggung jawab. Justru karena saya memegang komitmen dan janji untuk tidak melibatkan sang sumber.
Saya akan hadapi pengkasusan ini sebagai risiko perjuangan menegakkan daulat suara rakyat melalui proporsional terbuka yang didukung 80% pemilih, menurut survei INDIKATOR pimpinan Burhanuddin Muhtadi, salah satu lembaga survei yang masih saya yakini kredibilitasnya.
Dikasuskan, dipidanakan, dan diancam penjarakan karena memperjuangkan hak politik rakyat melalui satu twit, adalah jelas-jelas absurd! Tetapi kalau Profesor Rhenald, beberapa politisi PSI, tidak bisa melihat twit saya sebagai perjuangan menegakkan suara rakyat; sebagai bentuk advokasi publik untuk mengawal MK agar menegakkan keadilan konstitusional; serta pengkasusan saya sebagai absurditas penegakan hukum, ya itulah hak dan cara pandang mereka. Saya hanya bisa mengelus dada dan menyayangkan saja.
Bahkan, sebenarnya twit saya bisa dilihat sebagai bantuan kepada Prof. Mahfud, agar pemilu 2024 tidak ditunda. Kalau MK memutuskan sistem proporsional tertutup, 8 parpol di DPR memboikot pemilu, tidak menyetujui aturan KPU yang terkait perubahan sistem pemilu itu, maka pemilu 2024 terancam tidak terlaksana tepat waktu.
TIGA, beberapa politisi PSI dan buzzerRp Jokowi tentu senada menganggap saya takut, "tidak jantan" karena tidak kembali ke tanah air menghadapi kasus hukum payment gateway dan perkara terkait putusan MK.
Jadi, saya bukan lama di Australia dan tidak pulang ke tanah air. Saya bolak-balik Indonesia-Australia. Akhir tahun lalu sampai Februari saya di Indonesia. Lebaran kemarin pun saya di Indonesia. Saya punya kantor hukum INTEGRITY di Jakarta dan Melbourne.
Kalaupun saya 2016 – 2019 agak lama di Melbourne, karena diberi kehormatan menjadi Profesor tamu di Melbourne Law School. Universitas Melbourne tidak peduli, dan sangat paham kriminalisasi kasus payment gateway saya di tanah air.
Jadi, kalau PSI dan BuzzerRp sulit paham, lagi-lagi saya ingin sampaikan logika sederhana saja (simple logic).
Orang yang takut biasanya tidak akan menentang arus, melawan, dan mengkritisi kekuasaan. Orang yang takut akan lebih memilih diam, mencari aman, tidak ambil risiko, sehingga mengekor saja semua agenda politik pemegang kekuasaan.
Saya sama seperti Anda rekan-rekan PSI, pada 2014 memilih Jokowi. Tetapi ketika makin kelihatan Jokowi melumpuhkan KPK; Jokowi membangun dinasti kekuasaan keluarganya; kemudian Jokowi membiarkan bisnis anaknya menerima suntikan modal yang senyatanya patut diduga suap dari para pebisnis yang ingin dekat dengan kekuasaan Istana dll; maka saya memilih bersikap tegas melawan kekuasaan Jokowi yang cenderung koruptif dan represif.
Maka, saat misalnya Grace Natalie, dan rekan-rekan PSI mengatakan, di satu sisi, memperjuangkan hak orang muda melalui uji materi syarat umur capres-cawapres di MK, saya tentu sulit percaya. Politik itu adalah rekam jejak. Karena di sisi lain, PSI pernah menyatakan mendukung Jokowi untuk menjabat tiga periode. Dari segi umur, di mana perjuangan aspirasi usia muda, kalau masih tetap mendukung Jokowi yang sudah jelas-jelas tidak lagi muda?
Belum lagi dukungan pada Kaesang Pangarep di Depok, Bobby Nasution di Sumut, ataupun Gibran Rakabuming Raka di Solo dan bisa ditebak di Pilpres 2024 – jika MK mengubah syarat umur, nyata-nyata bertentangan dengan statemen politik Sekjen PSI soal menolak dinasti, pada 2015. Sudah lama memang, tapi masih tersimpan aman dalam jejak digital, sehingga bisa kita gunakan untuk menyoal konsistensi PSI.
Siapa yang penakut? Saya yang siap dikasuskan dan melawan dengan terus bersuara lantang dan mengkritisi kekuasaan Jokowi yang koruptif? Atau, rekan-rekan PSI sendiri yang dengan gagah mengatakan "Tegak Lurus Pada Jokowi", alias "manut" atau ikut apa saja, apapun sikap politik Jokowi.
Dalam pandangan saya, "kemanutan" politik pada kekuasaan, adalah ciri-ciri nyata dari berpolitik dengan penuh "ketakutan".
Maaf, karena itu, bagi saya PSI bukan partai. Bagi saya PSI adalah semata-mata relawan Jokowi, Gibran, Kaesang, Bob Nasution.
Jangan katakan Anda memperjuangkan hak orang muda di MK, karena sebenarnya PSI sedang menjadi relawan Jokowi, dan takut melakukan perlawanan pada kekuasaan yang sedang membangun oligarki dan dinastinya yang cenderung koruptif! (*)