Profesor yang Diabaikan
Paska UU Kesehatan diumumkan Presiden dan tercantum dalam Lembaran Negara, merupakan awal perlawanan sesungguhnya dari stakeholder kesehatan dan masyarakat peduli kesehatan terhadap UU Kesehatan melalui dua cara.
Oleh: Chazali H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS/Ketua Dewas PP IAI
GURU Besar (Profesor) adalah jabatan fungsional tertinggi yang diberikan Negara kepada Dosen yang mengabdikan pengetahuan, ilmu dan pengalaman yang dimilikinya kepada anak didiknya, mahasiswa, untuk menjadi cerdas, berakal sehat, bernalar, bermoral tinggi dan akan mengangkat martabat Bangsa Indonesia secara paripurna.
Guru Besar menjadi rujukan, preferensi bagi mereka yang memerlukan solusi terhadap persoalan yang dihadapi karena keahlian dan wisdom yang dimiliki sang Guru Besar.
Guru Besar itu adalah Negarawan dalam dunia pendidikan. Diberikan tempat terhormat dalam kehidupan sosial masyarakat dan sering dijadikan rujukan oleh penyelenggara negara dalam merumuskan suatu kebijakan publik.
- Seseorang menjadi Guru Besar itu suatu perjalanan panjang dalam track record enjang akademik, integritas, dan kredibilitas yang terekam baik jejak digitalnya.
Pendidikan Kedokteran paling banyak menghasilkan Guru Besar di Indonesia dengan berbagai cabang keahlian spesialistik dan subspesialistik. Pendidikan kedokteran sudah ada pada masa penjajahan Belanda yang disebut STOVIA.
Dokter Jawa yang ditugaskan untuk memberantas penyakit-penyakit menular yang banyak terjangkit karena kemiskinan dan ketelantaran rakyat Indonesia. Dokter Indonesia adalah dokter pejuang sejak puluhan tahun Indonesia sebelum merdeka.
Titisan semangat juang itu tetap mengalir terus dan menjadi pemicu 197 Guru Besar yang sebagian besar adalah Guru Besar profesi dokter dan berbagai bidang kelompok keahlian, untuk membuat Petisi, dalam jangka waktu singkat, spontan.
Dalam sehari terkumpul 197 tanda tangan pernyataan Petisi para Guru Besar lintas profesi, dengan dominasi profesi kesehatan terhadap RUU Omnibus Law Kesehatan.
Ada 4 poin yang disampaikan dalam Petisi para Guru Besar itu, Pertama; RUU Kesehatan tidak memadai memenuhi azas transparansi, keterbukaan, partisipasi dan landasan filosofi, sosiologis, yuridis dan kejelasan rumusan.
Kedua; tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk diubahnya dengan pendekatan Omnibus Law UU Sektor Kesehatan yang eksisting. Ketiga; Ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa. Keempat; Menuai kontroversi, dan penolakan secara masif dari berbagai stakeholder.
Disamping itu persoalan hilangnya Mandatory spending dana sektor kesehatan, dan proyek bioteknologi yang mengancam biosekuritas yang ada dalam RUU Kesehatan akan mengancam ketahanan kesehatan bangsa.
Nasib Petisi Guru Besar
Petisi Forum Guru Besar Lintas Profesi itu, ditandatangani 197 Guru besar Lintas Profesi, dan atas nama ke-197 Guru Besar adalah Prof. Zainal Muttaqin, Prof. Andi Asadul Islam, Prof. Sukman T. Putra, Prof. Menaldi Rasmin membubuhkan tandatangan pada Dokumen Petisi Forum Guru Besar Lintas Profesi.
Dalam waktu sehari, 9 Juli 2023, telah didukung oleh 197 Guru besar dan bahkan akan bertambah banyak yang ingin tandatangan jika waktunya lebih panjang. Tetapi karena segera akan dikirim ke Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani, untuk mengejar tenggat waktu, karena RUU Omnisbus Law Kesehatan akan disahkan dalam Sidang paripurna DPR 11 Juli 2023.
Ternyata Petisi para Guru Besar itu tidak sanggup menembus hati Ketua DPR RI dan Presiden RI. Dengan wajah datar dan pandangan tertuju ke para anggota DPR RI, Ketua DPR Puan Maharani, bertanya, ”Apakah RUU Kesehatan disetujui?” terdengar suara beberapa anggota DPR kemudian menyatakan, ”Setujuuu”.
Petisi tinggal Petisi. RUU Kesehatan harus terus jalan dan menjadi UU Kesehatan yang baru, dan menghapuskan 9 UU Sektor Kesehatan lainnya.
Beberapa Guru Besar yang ditanyakan oleh Dokter Bahar, SpOG, dalam acara Jumpa Pers, 10 Juli 2023, menyatakan bahwa jika RUU Kesehatan itu tetap ditetapkan menjadi UU Kesehatan, kami Guru Besar tidak berhenti berjuang. Kami berjuang setidaknya dengan membuat tulisan keberbagai jaringan komunikasi nasional dan global.
Mungkin para Guru Besar itu mengajak tekanan masyarakat dunia terhadap pemerintah Indonesia. Bahkan ada seorang Guru Besar sampai meneteskan air matanya mengingat nasib masa depan penanganan kesehatan rakyat Indonesia dengan UU Kesehatan yang kontroversial itu.
Petisi para Guru Besar itu, yang tentunya merupakan Guru mereka para aktivis 5 Organisasi Profesi Kesehatan (IDI, POGI, IBI, PPNI, IBI dan IAI) merupakan amunisi baru melanjutkan perjuangan. “Perjuangan sesugguhnya baru saja dimulai dengan disetujuinya RUU Kesehatan,” kata salah seorang aktivis Organisasi Profesi Kesehatan.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaidi mengatakan, jika DPR tetap mengesahkan UU Kesehatan, maka ada sejumlah upaya lain yang akan ditempuh.
Pertama, berupa jalur hukum dengan meminta judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar UU Kesehatan dicabut.
Namun, mereka juga menyiapkan aksi mogok kerja bersama jika DPR dan pemerintah tetap berkeras dalam mengesahkan beleid tersebut.
"Kami menyiapkan opsi mogok dalam upaya tidak merugikan kepentingan kesehatan rakyat, tidak juga merugikan regulasi yang ada tapi itu akan tetap jadi opsi yang akan kami siapkan," kata Adib.
Ketua Umum IAI, Noffendri Roestam mengatakan jika satu organisasi profesi akan mogok, maka keempat lainnya akan melakukan hal yang sama.
"Jadi ada dua aksi yang kita lakukan, menempuh jalur hukum. Kemudian kita melakukan setop layanan dalam waktu yang kita tentukan bersama," kata Noffrendi.
Noffendri Roestam, mengeklaim UU Kesehatan sulit diimplementasikan lantaran tidak mendapat dukungan dari tenaga medis dan nakes.
Satu pasal yang dikritisinya adalah Pasal 145 ayat 3 yang mengatur tentang pelayanan farmasi yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan lain – selain tenaga farmasi.
Noffendri menilai pasal tersebut sangat "karet" karena berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kesehatan apoteker yang sebetulnya tidak kurang. Jangan heran jika nantinya di mall-mall begitu mudah mendapatkan obat-obat bebas tidak dari tangan tenaga kefarmasian dan dijual sembarang toko yang tidak berizin menjual obat.
"Setiap tahun apoteker diambil sumpahnya 7000 orang, enggak akan kekurangan Indonesia akan tenaga apoteker. Sekarang tinggal pemerintahnya apakah mau menyerap atau tidak," katanya.
Apa Kata Menkes?
Ada beberapa poin yang dicatat BBC News Indonesia.
Pertama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, mengucapkan terima kasih kepada DPR karena bersedia menginisiasi RUU Kesehatan.
Kedua, setelah pandemi Covid-19 membuka mata Indonesia akan banyaknya perbaikan yang harus dikerjakan di bidang kesehatan. Itu kenapa transformasi sangat diperlukan.
Ketiga, menurut catatannya, sebanyak 300.000 rakyat wafat karena stroke, 6000 bayi wafat karena kelainan jantung karena tidak bisa dioperasi, 5 juta balita stunting.
Keempat, sesudah badai pandemi, ini saatnya kita melakukan perbaikan dan membangun kembali sistem kesehatan Indonesia jadi lebih tangguh untuk generasi selanjutnya.
Kelima, menuju Indonesia Emas 2045 Indonesia perlu kerja keras, karena masa keemasan tidak bisa dicapai tanpa manusia Indonesia yang sehat.
Keenam, memperkuat pelayanan primer, memperkuat pemanfaatan teknologi kesehatan seperti telemedicine.
Ketujuh, penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan lewat penguatan rantai pasokan dari hulu ke hilir.
Kedelapan, Pemerintah dan DPR sepakat bahwa diperlukan percepatan produksi dan pemerataan jumlah dokter, dokter spesialis lewat pendidikan berbasis kolegium di rumah sakit pemerintah.
Kesembilan, pemerintah dan DPR juga sepakat bahwa nakes memerlukan perlindungan hukum saat bertugas dari tindak kekerasan, pelecehan, dan perundungan dari sesama.
Menkes yakin benar, dengan UU Kesehatan (Obl) yang baru itu, dapat menyelesaikan persoalan yang beliau sampaikan di atas. Dan tidak terungkap apakah persoalan kesehatan rakyat Indonesia hanya berkisar di 9 poin di atas?
Bagaimana caranya Menkes mewujudkan kesembilan poin di atas yang tentunya memerlukan biaya yang besar, jika Mandatory Spending Dihapus?
Ketidak-jelasan dan ketidak-pastian besaran sumber dana APBN dan APBD dengan landasan amanat Konstitusi, berpotensi pemerintah mencari sumber lain untuk mendanai kesehatan rakyatnya.
UU Kesehatan yang baru itu jelas arahnya ke Industri Kesehatan, memberi karpet merah untuk investor asing dalam pelayanan kesehatan dan industri farmasi. Menjual data bioteknologi yang mengancam biosekuritas rakyat Indonesia.
Atau bukan sesuatu yang tak mungkin jika Dana Jaminan Sosial BPJS Kesehatan yang bersumber dari iuran peserta dijadikan bantalan belanja kesehatan pemerintah. Kemudian, dDibungkus dengan mengintegrasikan belanja BPJS Kesehatan dengan Kementerian Kesehatan.
Pemerintah tidak merespons sedikitpun Petisi para Guru Besar Lintas Profesi dalam Rapat Paripurna DPR 11 Juli 2023 kemarin yang meloloskan RUU Kesehatan. Lima (5) fraksi bulat menyetujui, 1 fraksi setuju dengan catatan, dan 2 fraksi menolak RUU Kesehatan.
Kita dihadapkan pada dua situasi yang bertolak belakang dalam soal RUU Kesehatan tersebut. Forum Guru Besar Lintar Profesi yang sebagian besar ahli dan maha guru dalam bidang kesehatan, berhadapan dengan pemerintah yang diwakili Menkes yang tidak punya track record keahlian dalam bidang kesehatan dan bukan berpendidikan kesehatan.
Paska UU Kesehatan diumumkan Presiden dan tercantum dalam Lembaran Negara, merupakan awal perlawanan sesungguhnya dari stakeholder kesehatan dan masyarakat peduli kesehatan terhadap UU Kesehatan melalui dua cara.
Yakni Judicial Review di MK dan mogok kerja tenaga kesehatan yang digerakkan oleh kelima Organisasi Profesi Kesehatan, atas restu dan dukungan moral parfa Guru Besar mereka.
Sepertinya pemerintah dan DPR menikmati “bertengkar” dengan rakyatnya. (*)