Rocky Gerung Jangan Seperti Sutan Syahrir Dipenjara Hingga Wafat
Beberapa dari mereka mendirikan Yayasan Padi & Kapas yang kemudian membuat Sekolah Ilmu Sosial (SIS). Rocky menjadi salah satu pengajarnya bersama Rahman Tolleng, Arif Budiman, Salim Said.
Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik Universitas Nasional (Unas)
SAYA mengharapkan Filsuf Politik Rocky Gerung jangan bernasib seperti pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Syahrir yang wafat di Swiss dalam pengasingan politik oleh pemerintah Presiden Sukarno.
Ironis, Sutan Syahrir yang berjasa besar kepada bangsa dan negara ditangkap, dipenjara tanpa diadili oleh rezim Sukarno, hingga wafat di Swiss. Ujungnya, Presiden Sukarno menyesal dan menganugerahkan Syahrir sebagai pahlawan nasional.
Jadi, seperti kasus Sutan Syahrir, Presiden Joko Widodo justru seharusnya memberikan tanda jasa negara kepada Rocky Gerung. Bukan mengancam dengan memenjarakan Rocky Gerung, karena kritikannya yang sangat tajam, kontroversial, bahkan dituding menghina Presiden Jokowi.
Rocky adalah penerus perjuangan PSI kubu Sutan Syahrir yang sangat peduli pada kaum buruh dan menentang kesewenang-wenangan kapitalis. Syahrir mendirikan PSI sebagai partai alternatif menolak gerakan komunis internasional. Berbeda dengan PSI kubu Amir Syarifuddin Harahap yang lebih dekat dengan komunis dan terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun 1948.
Bagi Syahrir, sosialisme menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan menjunjung persamaan derajat tiap manusia. Syahrir kerap terjun dalam pergerakan buruh. Ini yang juga diikuti oleh Rocky yang dekat dengan kaum buruh.
Saya tidak terkejut ketika Rocky hadir memberikan orasi di depan Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) baru-baru ini. Orasi Rocky yang berisi kritik sangat tajam kepada pemerintah, belakangan dituduh bukan lagi kritik melainkan penghinaan kepada Presiden Jokowi. Setelah orasi itu, Rocky Gerung dipersekusi di sejumlah daerah saat melakukan kunjungan ke sejumlah kampus di Jawa.
Syahrir dan Sukarno
Setelah kasus PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) 1958-1959, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk. PSI yang didirikan Syahrir akhirnya dibubarkan pada 1960.
Padahal Syahrir merupakan Perdana Menteri pertama Indonesia yang merangkap sebagai Menteri Luar Negeri dan Dalam Negeri. Bahkan, tiga kali ia memimpin Kabinet Syahrir, dan dikenal dengan julukan The Smilling Diplomat.
Kemudian pada 1962-1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili. Ia menderita stroke dan diizinkan berobat ke Swiss hingga wafat.
Pada masa Kolonial Belanda, Syahrir dan Mohammad Hatta juga pernah ditangkap dan dipenjara, hingga dibuang ke Boven Digoel. Keduanya kemudian dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun (1934-1960).
Sebelum deklarasi PRRI, Syahrir mengingatkan tokoh PSI Soemitro Djojohadikusmo (ayahnya Prabowo Subianto) yang berada di Sumatera untuk kembali ke Jakarta dan mencegah terjadinya pemberontakan PRRI. Namun Soemitro menolak dan memilih tetap di Sumatera bersama sejumlah tokoh Partai Masyumi, seperti Syafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir.
Presiden Sukarno memanggil Sutan Syahrir menanyakan keterlibatan Soemitro di Sumatera dalam PRRI. Syahrir mengakui memahami perjuangan daerah, tapi menolak pembentukan pemerintahan baru (PRRI), karena sama saja dengan malapetaka.
Namun jawaban Syahrir tidak bisa mengubah pendirian Sukarno. Akhirnya pada Agustus 1960, Presiden Sukarno membubarkan PSI dan Masyumi.
Pintar dan Kritis
Saya mengakui, tokoh-tokoh PSI merupakan kumpulan orang-orang pintar, sehingga sejumlah elit militer era awal kemerdekaan seperti AH Nasution dan TB Simatupang merasa perlu dekat dengan tokoh-tokoh PSI kubu Sutan Syahrir. Begitu juga dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Jadi jika sekarang tokoh militer seperti mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dekat dengan Rocky Gerung, seperti sejarah masa lampau saling mendukung untuk memikirkan bangsa, bisa dipahami.
Perguruan tinggi swasta tertua (pada 15 Oktober 1949) di Jakarta itu juga didirikan tokoh-tokoh PSI, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Soemitro Djojohadikusumo, HB Jasin.
Para wartawan muda pada 1980-an dan 1990-an juga banyak belajar dengan wartawan dari PSI, seperti Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Juga sejumlah ilmuwan politik, seperti Miriam Budiarjo. Begitu juga dengan tokoh-tokoh mahasiswa pelaku peristiwa Malari 1974, seperti Hariman Siregar dan Syahrir (Ciil).
Beberapa dari mereka mendirikan Yayasan Padi & Kapas yang kemudian membuat Sekolah Ilmu Sosial (SIS). Rocky menjadi salah satu pengajarnya bersama Rahman Tolleng, Arif Budiman, Salim Said.
Di situlah sebagai aktivis mahasiswa 1980-an dan 1990-an, saya dan beberapa teman lain sempat beberapa kali ke SIS berinteraksi dengan Rocky. (*)