Tolak Hukum Koruptif Dan Diskriminatif
Terakhir, di tengah gangguan menjawab dua masalah tersebut, penyidikan pidana dan pengaduan etika advokat, saya akan tetap berusaha fokus memperjuangkan pemilu 2024 kita yang jujur dan adil, tanpa cawe-cawe dari Presiden Jokowi dan dinasti keluarga dan oligarkinya.
Oleh: Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner INTEGRITY Law Firm Registered Lawyer di Indonesia dan Australia
SEJAK kemarin saya menerima pesan pertanyaan dari beberapa rekan jurnalis terkait advokasi publik kami yang mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) agar tidak mengganti sistem pemilu legislatif dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
Berikut adalah tanggapan saya. Maaf agak panjang, mohon perkenan untuk membacanya. Mohon pula perkenan rekan-rekan media untuk sebisa mungkin memuatnya secara utuh, agar diketahui khalayak dan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Bahwa unggahan saya di media sosial untuk mendorong agar MK tidak mengabulkan permohonan sistem pemilu proporsional menjadi tertutup berbuah dua tantangan, yaitu: 1) proses penyidikan pidana di Bareskrim Polri, dan 2) aduan pelanggaran etika oleh Mahkamah Konstitusi ke DPP Kongres Advokat Indonesia.
Beritanya, surat dimulainya penyidikan sudah dikirimkan kepada saya, demikian pula surat pengaduan hakim MK soal pelanggaran etika advokat, kabarnya sudah dikirimkan ke DPP Kongres Advokat Indonesia, tempat saya menjadi salah satu Vice President.
Saat ini saya berdomisili di Melbourne, Australia, kedua surat tersebut belum saya terima secara fisik, ataupun patut secara hukum. Saya menuntut, semua prosedur hukum acara pidana maupun pemeriksaan etika advokat dilakukan sesuai aturan hukum dan perundangan yang berlaku.
Atas kedua masalah tersebut, baik penyidikan pidana ataupun aduan etika advokat, sikap saya jelas. Saya akan total, sepenuh jiwa raga, memperjuangkan hak-hak saya selaku warga negara Indonesia yang ingin tegaknya hukum yang adil, terhormat, dan bermartabat. Sayangnya, saat ini penegakan hukum kita, termasuk dalam soal etika, masih jauh dari keadilan. Hukum masih sarat dengan praktik koruptif mafia hukum dan diskriminatif, alias tajam kepada lawan-oposisi, dan tumpul kepada kawan-koalisi.
Karena kondisi hukum yang tidak normal, cenderung koruptif dan diskriminatif itulah, saya secara sadar memilih melakukan model kontrol publik yang lebih kritis. Termasuk dengan mengantisipasi putusan MK, agar tidak mengubah sistem pemilihan legislatif menjadi proporsional tertutup, yang justru membuka kebuntuan konstitusi (constitutional gridlock), karena penolakan delapan parpol di DPR, dan justru berpotensi menimbulkan keonaran, termasuk kemungkinan penundaan pemilu yang membahayakan keamanan tanah air.
Kalau karena advokasi publik yang kritis tersebut, saya kemudian malah dipidanakan, tentu saya akan melakukan perlawanan hukum sebaik mungkin, termasuk tidak hanya menggunakan semua instrumen hukum nasional, tetapi juga menggunakan aspek hukum internasional, untuk melawan penegakan hukum yang masih cenderung koruptif dan diskriminatif demikian.
Sekali lagi, sayangnya, penegakan hukum nasional kita cenderung dzalim dan penuh praktik suap-menyuap perkara dan intervensi kuasa, sehingga untuk melawannya harus dilakukan dengan cara-cara yang bukan biasa-biasa saja. Termasuk misalnya, melibatkan aspek perlindungan hukum internasional, agar hak asasi manusia saya dan keadilan betul-betul dihormati dan ditegakkan.
Saya akan mengambil kesempatan penanganan perkara pidana ini, untuk menunjukkan kepada khalayak luas, seluruh rakyat Indonesia, bahwa perjuangan menegakkan keadilan melawan hukum (dan politik) yang dzalim harus dilakukan dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati. Saya berharap dari perjuangan saya ini dapat diambil pelajaran buat semua, bahwa hukum dan keadilan di tanah air memang masih layak diperjuangkan, apapun risikonya.
Sedangkan terkait dengan pelanggaran etika yang diadukan MK, saya tentu mempunyai catatan kritis yang banyak sekali. Aduan kabarnya mengatakan advokasi publik saya yang kritis merusak kepercayaan publik (public trust) kepada MK. Saya ingin katakan, kepercayaan publik seharusnya tidak dipengaruhi oleh unggahan media sosial Denny Indrayana - atau siapapun.
Tetapi semestinya, lebih ditentukan oleh kualitas putusan MK yang tidak terbantahkan, dan integritas kenegarawanan para hakim MK sendiri yang tidak terbeli.
Kalau MK sedemikian gigihnya mengadukan saya ke DPP KAI, karena isu etika, bagaimana sikap hakim-hakim MK melihat Ketua MK Anwar Usman bertemu Presiden Joko Widodo, pihak yang berhubungan dengan perkara di MK, hanya untuk sekedar makan malam, sebelum esoknya putusan sepenting-segenting sistem pemilu dibacakan? Apakah tindakan yang demikian itu bisa dikatakan elok dan beretika?
Bukankah tindakan Ketua MK dan Presiden Jokowi yang sembrono demikian, justru mempertontonkan etika bernegara yang tidak peka, sekali lagi di tengah esoknya putusan penting-genting yang ditunggu-tunggu publik akan dibacakan.
Perkara lain. Kalau tindakan advokasi publik saya, secara tegas dianggap mengintervensi kemandirian dan kehormatan MK, maka izinkan saya bertanya: mana penyikapan tegas MK saat Aswanto tiba-tiba diberhentikan secara melawan hukum dari posisinya sebagai hakim konstitusi? Kenapa MK tidak pula bersikap tegas atas langkah intervensi telanjang DPR, yang juga disetujui oleh Presiden Jokowi tersebut?
Masih banyak lagi, sikap inkonsisten MK, tapi sementara cukuplah dua itu saja yang saya paparkan. Tujuannya, untuk membangun logika dan kesadaran, bahwa yang saya lakukan justru karena cinta dan hormat saya kepada lembaga Mahkamah Konstitusi. Saya justru ingin MK yang terhormat dan bermartabat. Silakan dicek rekam jejak (track record) saya selama menjadi akademisi hukum tata negara ataupun praktisi advokat selama ini.
Terkait aduan etika MK kepada DPP KAI, saya meminta agar hukum acaranya diterapkan sesuai aturan yang ada. Termasuk pemeriksaan yang berjenjang mulai dari tingkat cabang/daerah, sebelum ke tingkat pusat. Saya juga meminta aturan yang mewajibkan Pengadu (MK) melalui sembilan hakim konstitusinya untuk hadir langsung tanpa diwakilkan kuasanya, dipatuhi dan dilaksanakan.
Dengan demikian forum persidangan etik yang dilakukan oleh Kongres Advokat Indonesia nanti semoga bisa menjadi ajang perdebatan hukum yang mendidik, bukan hanya bagi hakim konstitusi tapi juga para advokat. Meskipun, sayangnya hukum acaranya mengatur persidangan dilakukan secara tertutup.
Untuk menjaga agar proses pemeriksaan etika advokat ini berjalan adil, saya kemarin sudah meminta izin untuk pamit diri sementara dari grup whatsapp DPP KAI. Pilihan sikap tegas itu saya ambil, agar semua informasi dan pemeriksaan Pengadu (MK) dan saya selaku Teradu berjalan lebih fair, adil, dan seimbang.
Saya yakin banyak rakyat Indonesia yang merindukan penegakan hukum kita, termasuk lembaganya, MK, MA, KPK, Kepolisian, Kejaksaan, Advokat, Panitera, yang adil, bersih, terhormat, bermartabat, tanpa praktik jual beli perkara, tanpa praktik mafia hukum. Kepada semua rakyat Indonesia yang merindukan keadilan hakiki di tanah air, saya memohon dukungan dan doa setulus-tulusnya.
Saya juga mengundang partisipasi aktifnya untuk sama-sama berjuang melawan hukum dan oknum aparatnya yang dzalim, lalim, dan korup. Saya tidak mungkin melawan kemungkaran ini sendirian, mohon bantuan, dukungan dan doa dari semua rakyat yang masih mencintai dan mendambakan Indonesia yang adil dan sejahtera.
Terakhir, di tengah gangguan menjawab dua masalah tersebut, penyidikan pidana dan pengaduan etika advokat, saya akan tetap berusaha fokus memperjuangkan pemilu 2024 kita yang jujur dan adil, tanpa cawe-cawe dari Presiden Jokowi dan dinasti keluarga dan oligarkinya.
Sebagaimana pernah saya sampaikan, saya sedang menulis buku "JO-KaWe: Jokowi Don't Cawe-Cawe", mudah-mudahan tetap bisa saya selesaikan sebelum peringatan hari proklamasi 17 Agustus 2023.
Keep on fighting for the better Indonesia! (*)