Ucapan Bajingan Tolol Tidak Perlu Dibaca Dalam Pidato Presiden
Jadi, wajar saja kalau Rocky Gerung sampai menyebutnya dengan perkataan “bajingan tolol” yang kemudian membuat relawan Jokowi marah dan melaporkan Rocky Gerung ke Polisi. Ungkapan itu sebenarnya juga mewakili jeritan rakyat yang tidak mungkin berani berkata seperti Rocky Gerung.
Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News
PENGAMAT politik dari Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, mengkritik keras isi pidato Joko Widodo terkait soal sopan santun. Menurutnya, persoalan utama bangsa ini, yang dipersoalkan kaum oposisi seperti oleh Rocky Gerung, Jumhur Hidayat, dan Habib Rizieq Syihab (HRS) adalah menurunnya spirit demokrasi, korupsi merajalela dan keadilan sosial semakin jauh.
Jokowi yang mempersoalkan sopan santun terkait kata-kata Fir'aun, bajingan tolol, dan lainnya yang ditujukan padanya bukanlah hal substansial. Yang substansial adalah memastikan pemilu jurdil dan aman, korupsi ditumpas hingga ke akar-akarnya, serta memastikan pertumbuhan ekonomi memihak rakyat kecil.
Syahganda mengutarakan bahwa saling serang terkait pemilu semakin berekskalasi. Hal ini terjadi karena Jokowi gagal mengisyaratkan netralitas dalam pilpres ke depan. Isu Gibran Rakabuming Raka akan menjadi Cawapres Prabowo Subianto, misalnya, telah menciptakan ketegangan antara PDIP dan Prabowo Subianto.
“Padahal, seharusnya Jokowi, sebagai pemimpin negara dapat menahan diri agar anaknya itu tidak masuk dalam bursa cawapres, yang terkesan dipaksakan,” tegas Syahganda Nainggolan dalam rilis yang diterima Freedom News, Rabu (16/8/2023).
Selain itu, dalam urusan pemberantasan korupsi, Syahganda meminta agar Jokowi lebih tegas lagi dalam mengungkap berbagai kasus, khususnya ekspor nikel 5 juta ton illegal ke China, yang sudah diungkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Terakhir, Syahganda mengharapkan agar fokus pembangunan ekonomi ke depan lebih pro rakyat. Misalnya, “Kenapa 3,3 juta Ha sawit illegal mau diputihkan pemerintah, diberikan kepada pengusaha nakal, bukannya diberikan kepada petani sawit,” ujarnya.
Sebelumnya, Jokowi menyampaikan bahwa kita saat ini sudah memasuki tahun politik. Suasananya sudah hangat-hangat kuku dan sedang tren di kalangan politisi dan parpol. Setiap ditanya soal siapa Capres Cawapres-nya. Jawabannya: “Belum ada arahan Pak Lurah.”
Jokowi sempat mikir. Siapa “Pak Lurah” ini. Sedikit-sedikit kok Pak Lurah. “Belakangan saya tahu yang dimaksud Pak Lurah itu ternyata Saya,” ujarnya.
“Ya saya jawab saja: Saya bukan lurah. Saya Presiden Republik Indonesia. Ternyata Pak Lurah itu, kode. Tapi perlu saya tegaskan, saya ini bukan Ketua umum parpol, bukan juga Ketua koalisi partai dan sesuai ketentuan Undang-Undang yang menentukan Capres dan Cawapres itu Parpol dan koalisi parpol,” lanjut Jokowi.
“Jadi saya mau bilang itu bukan wewenang saya, bukan wewenang Pak Lurah. Walaupun saya paham sudah nasib seorang Presiden untuk dijadikan “paten-patenan”, dijadikan alibi, dijadikan tameng,” ujarnya.
“Bahkan walau kampanye belum mulai, foto saya banyak dipasang di mana-mana. Saya ke Provinsi A eh ada, ke Kota B eh ada, ke Kabupaten C ada. Sampai ke tikungan-tikungan di desa ada juga. Tapi, bukan foto saya sendirian. Ada yang disebelahnya bareng Capres. Ya nda apa, boleh-boleh saja,” demikian kata Jokowi.
Apa yang disampaikan Jokowi itu jelas bertolak belakang dengan kenyataan politik. Bahwa sejak awal Presiden Jokowi secara langsung maupun diam-diam ikut “cawe-cawe” dalam menentukan siapa bakal calon yang disokongnya. Kode rambut putih dengan dahi berkerut adalah tanda-tanda kepada siapa Jokowi mengarahkan dukungannya.
Ketika orang berambut putih itu tiba-tiba “direbut” oleh PDIP dan dideklarasikan sebagai bacapres “petugas partai” pun Jokowi mulai beralih menyokong tokoh partai lainnya. Muncullah pengganti tokoh yang disokongnya.
Dan, diharapkan, jika nantinya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal gugatan usia minimal capres – cawapres dikabulkan 35 tahun, Gibran bisa ikut kontestasi dalam Pilpres 2024. Besar kemungkinan, Prabowo dipasangkan dengan Gibran.
Itulah sebenarnya yang belakangan ini membuat ketegangan antara Prabowo dengan Megawati Soekarnoputri, Ketum DPP PDIP, karena jelas upaya ini akan membuyarkan angan-angan Ganjar Pranowo yang sudah dideklarasikan sebagai bacapres PDIP. Potensi kehilangan pendukung dari kaum milenial untuk Ganjar bakal beralih ke Prabowo, termasuk relawan Jokowi.
Penolakan kaum buruh dan kalangan medis terhadap UU Omnibus Law atau UU “Cilaka” adalah bukti bahwa kebijakan Presiden Jokowi itu jelas bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi, isinya justru memihak dan memberi peluang asing bisa leluasa masuk ke dalam negara Indonesia, dan sangat mungkin akan menyingkirkan potensi SDM lokal.
Jadi, wajar saja kalau Rocky Gerung sampai menyebutnya dengan perkataan “bajingan tolol” yang kemudian membuat relawan Jokowi marah dan melaporkan Rocky Gerung ke Polisi. Ungkapan itu sebenarnya juga mewakili jeritan rakyat yang tidak mungkin berani berkata seperti Rocky Gerung.
Upaya cawe-cawe Jokowi juga sudah mengarah bagaimana menjegal Anies Baswedan, sehingga diharapkan tidak bisa ikut kontestasi Pilpres 2024. Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko adalah operator gerakan rebut Partai Demokrat ini dari tangan Ketum Agus Harimurti Yodhoyono, namun upaya ini kandas di Mahkamah Agung (MA). Upaya Peninjauan Kembali (PK) Moeldoko ditolak!
Entah langkah apa lagi yang akan dilakukan Jokowi untuk menjegal Anies Baswedan supaya tidak bisa ikut kontestasi Pilpres 2024. Cawe-cawe untuk mengetahui siapa nama bacawapres Anies pun dari Ketum Partai Nasdem Surya Paloh yang dipanggil ke Istana juga tak berhasil.
Surya Paloh malah meminta agar Presiden Jokowi tanya langsung ke Anies sendiri. Mungkin karena gengsi, hingga kini tidak ada konfirmasi yang mengabarkan Jokowi bertanya ke Anies Baswedan. (*)