Berantas Korupsi: Hukum Gantung Saja

DPR sebagai pengawas justru rentan korupsi begitu juga dengan aparat apalagi pejabat. Partai menitipkan kader atau pimpinan dalam kabinet, komisaris atau jabatan lain agar dapat menyedot dana bagi pengembangan partai. Partai pun menjadi sarang korupsi.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

KORUPSI adalah maha perampokan uang negara. Sangat merugikan dan berbahaya. Hancur suatu bangsa dan negara jika korupsi sudah membudaya apalagi malah dianggap biasa. Indonesia sudah sampai pada stadium ini.

Dari Istana sampai Kantor Desa dipenuhi hama korupsi. Dari Presiden, Menteri hingga Lurah, dan bahkan RT terkena penyakit menular ini. Besaran saja yang mungkin berbeda. Justru yang tidak korupsi menjadi aneh dan langka.

Pemberantasan korupsi berdasar UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3 mengancam penjara 20 tahun minimal 1 tahun untuk korupsi karena penyalahgunaan wewenang.

Apa yang ditakutkan koruptor jika ia hanya dihukum 2-3 tahun? Ini artinya korupsi dianggap sebagai pelanggaran hukum biasa. Padahal melihat dampak luar biasa yang diakibatkan, maka korupsi itu adalah "extra ordinary crime". Kejahatan luar biasa.

Pandangan bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa haruslah dibangkitkan kembali artinya mesti ada peningkatan sanksi atas perbuatan itu. Misalnya hukuman mati. Hukuman mati pun jangan sembunyi-sembunyi tetapi dilakukan di depan umum.

Hukum harus membuat efek jera dan menakutkan. Efek apa yang terjadi jika korupsi ratusan miliar bahkan triliunan rupiah hanya mendapat hukuman 3 tahun? Chaplin itu mah.

Pengadilan rentan berfungsi sebagai rumah lelang. Adu tawar-menawan besarannya. Kata Mantan Menkopolhukam Mahfud MD, pasal-pasal pun bisa dinegosiasi atau dikompromikan.

Di sisi lain KPK kehilangan independensi dan kegarangannya. Menjadi seperti ular, pasal karet dari kepanjangan Istana. KPK memilih dan memilah pesakitan.

Sebagai contoh yang terakhir ketika menghajar PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Kasus Harun Masiku dihidupkan kembali. Hal ini berbeda saat Joko Widodo masih "bersahabat" dan berstatus sebagai petugas Partai, maka Harun Masiku apalagi Hasto Kristiyanto aman-aman saja. Kini Hasto bahkan Megawati mulai pusing tujuh keliling dikhianati tokoh "super bersih" Jokowi.

Tokoh "super bersih" ini seolah mampu menunjukkan kepada rakyat bahwa pejabat yang kotor itu hanya sampai tingkat Menteri. Ada 6 Menteri Jokowi ambrol seperti Juliari Batubara, Edhy Prabowo, Idrus Marham, Imam Nachrawi, Johny G PLate, dan Syahrul Yassin Limpo.

Satu Wamen Edward Omar Hiariej tersangkut pula. Beberapa Menteri lain masih "tarik-ulur". Kabinet Jokowi itu faktanya kotor.

Lalu, Jokowi sendiri itu bersih atau "super bersih"? Rakyat yakin tidak. Karenanya perlu penyelidikan seksama atas tokoh "palsu" yang mahir berpura-pura ini.

Dalam film cowboy, perampok atau penjahat "robbery" itu pasti dihukum gantung di muka umum. Korupsi itu "robbery" karenanya harus dihukum keras. Ratusan triliun rupiah uang negara dirampok di bawah rezim Jokowi dan sang Presiden tampak tenang-tenang saja. Malah santai bermain "kuda-kudaan" kekuasaan dengan anak mantu. Sungguh tak tahu malu.

Indonesia sudah gagal dalam membangun "clean government". Untuk darurat korupsi butuh solusi revolusi.

Revolusi hukum adalah tindakan cepat dalam menghukum. Hukum gantung saja di depan umum para perampok uang negara. Sudah terlalu menggurita dan sistematis korupsi saat ini.

Undang-Undang harus direvisi atau direformasi. Ini bukan menyangkut ius constitutum tetapi ius constituendum. Harus ada pikiran progresif untuk perbaikan bangsa ke depan. Mulai dari revolusi hukum.

DPR sebagai pengawas justru rentan korupsi begitu juga dengan aparat apalagi pejabat. Partai menitipkan kader atau pimpinan dalam kabinet, komisaris atau jabatan lain agar dapat menyedot dana bagi pengembangan partai. Partai pun menjadi sarang korupsi.

Tambang dikuras habis. Nikel, timah, batu bara, emas dan lainnya merupakan makanan empuk bagi koruptor.

Solusi sebenarnya bukan menawarkan tambang kepada ormas keagamaan, tetapi jadikan tambang itu untuk menggantung koruptor di depan umum.

Hukum harus tajam demi ketertiban, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Hukum bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan atau dijadikan alat penyanderaan politik.

Hukum adalah "the sword of thruth" – pedang kebenaran. (*)