Bermula Udin, Kemudian Sempurna Wartawan ke-11 yang Tewas Terkait Berita
Teranyar tewasnya wartawan Sempurna bersama 3 orang keluarganya – istri, anak dan cucu – di rumahnya yang diduga sengaja dibakar. Sempurna sebelum tewas memberitakan kasus judi online yang dibandari oknum aparat.
Oleh: Ferry Is Mirza DM, Wartawan Utama Sekwan Dewan Kehormatan Pengurus PWI Jatim
SETIAP 9 Februari diperingati sebagai HPN (Hari Pers Nasional). Peringatan HPN diharapkan menjadi momentum untuk meningkatkan kebebasan pers di Indonesia. Namun, ternyata kebebasan pers juga masih saja terganjal.
Salah satunya terlihat dari kasus terjadinya pembunuhan wartawan di Indonesia akibat pemberitaan yang dianggap merugikan pihak tertentu.
Teranyar tewasnya wartawan Sempurna bersama 3 orang keluarganya – istri, anak dan cucu – di rumahnya yang diduga sengaja dibakar. Sempurna sebelum tewas memberitakan kasus judi online yang dibandari oknum aparat.
Sempurna Pasaribu (47), wartawan Tribratatv, tewas bersama istrinya Elfrida br Ginting (48), putranya Sudi Investigasi Pasaribu (12), dan cucunya Loin Situngkir (3), dalam kebakaran yang terjadi di rumah mereka di Jalan Nabung Surbakti, Kelurahan Padang Mas, Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Kamis (27/6/2024), pukul 02.30 WIB.
Sejak 1996 diawali terbunuhnya Udin wartawan harian Bernas, ada sepuluh kasus pembunuhan wartawan yang pernah terjadi, berikut catatan penulis:
Satu; Naimullah wartawan Sinar Pagi di Kalimantan Barat. Ia tewas pada 25 Juli 1997. Naimullah ditemukan tewas dalam mobil pribadi jenis Isuzu Challenger yang saat itu terparkir di kawasan Pantai Penimbungan, Mempawah, Pontianak, Kalimantan Barat. Diduga, ia dianiaya, karena bagian belakang kepala dan pelipis kanan pecah, serta kedua tangan memar.
Saat ditemukan, kamera, tape recorder, jam tangan, gelang emas, dan cincin lenyap. Dikabarkan bahwa siang sebelum ditemukan tewas, korban memberi tahu keluarga akan bertemu dengan seseorang namun tidak menyebut keterangan lebih lanjut.
Dua; Herliyanto wartawan lepas Tabloid Delta Pos Sidoarjo ditemukan tewas pada 29 April 2006 di hutan jati Desa Taroka, Probolinggo, Jawa Timur. Polisi memastikan kematian pekerja lepas untuk Radar Surabaya ini terkait pemberitaan kasus korupsi anggaran pembangunan oleh mantan Kepala Desa Tulupari.
Tiga orang berhasil ditangkap. Namun, Pengadilan Negeri Sidoarjo membebaskan ketiganya karena dua pelaku dianggap tak cukup bukti dan satu tersangka dianggap gila
Tiga; Ardiansyah Matra'is Wibisono adalah seorang jurnalis Tabloid Jubi dan Merauke TV. Ia ditemukan tewas pada 29 Juli 2010 di Gudang Arang, Sungai Maro,t Merauke, Papua dalam kondisi penuh luka. Pemberitaan menyebutkan, Polres Merauke meyakini wartawan ini tewas tenggelam. Polisi juga tidak melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kasus pembunuhan ini.
Empat; Alfrets Mirulewan ditemukan tewas 18 Agustus 2010 di Pelabuhan Pulau Kisar, Maluku Tenggara Barat. Pemred Tabloid Pelangi ini melakukan investigasi kelangkaan bahan bakar minyak di Kisar bersama Leksi Kikilay.
Dikabarkan, ada dugaan keterlibatan aparat di dalamnya. Polisi menyatakan Alfrets tewas dibunuh, namun semua tersangka mencabut BAP (Berita Acara Pemeriksaan).
Lima; Agus Mulyawan koresponden di Indonesia untuk AP (Asia Press), sebuah media Jepang. Agus meninggal karena ditembak di Pelabuhan Qom, Los Palos, Timor Timur pada 25 September 1999.
Disebutkan, penembakan tersebut juga menewaskan delapan orang lainnya. Sehari setelahnya, 26 September 1999, jenazah Agus ditemukan di dasar Sungai Verukoco, Apikuru, Kabupaten Lautem.
Enam; Fuad M Syarifuddin (Udin) adalah seorang jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta. Ia dibunuh pada 16 Agustus 1996. Dikabarkan, pembunuhan ini dikarenakan pemberitaan mengenai dugaan korupsi di Bantul.
Harian Kompas mengabarkan, Udin memang sering menulis mengenai pemberitaan kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru. Salah satunya adalah berita bahwa Bupati Bantul akan membantu pendanaan Yayasan Dharmais jika kembali terpilih. Tiga hari sebelum dibunuh, Udin diserang dan dianiaya orang tidak dikenal di rumahnya, Bantul, Yogyakarta.
Tujuh; Ersa Siregar Ersa merupakan jurnalis RCTI. Ia tewas ketika melakukan liputan konflik di Nanggroe Aceh Darussalam. 21 tahun lalu, pada 1 Juli 2003, Ersa bersama juru kamera Ferry Santoro dilaporkan hilang di Kuala Langsa.
Empat hari berselang, mobil yang digunakan keduanya ditemukan di Langsa. Pada 29 Desember 2003, terjadi baku tembak pasukan TNI dengan Gerakan Aceh Merdeka di Kuala Maniham, Simpang Ulim. Ersa meninggal pada kejadian ini.
Delapan; Muhammad Jamaluddin merupakan juru kamera TVRI Aceh. Ia ditemukan tewas pada 17 Juni 2003. Terdapat berbagai dugaan atas kematiannya ini, baik dibunuh kelompok GAM hingga ada yang menuduh aparat TNI di Aceh menculiknya karena motif tertentu.
Sembilan; AA Prabangsa Anak Agung Narendra Prabangsa tewas pada 16 Februari 2009 di Pelabuhan Padang Bai. Ia merupakan wartawan Radar Bali. Polisi kemudian menetapkan sejumlah tersangka pembunuhan berencana ini.
Adapun, aktor intelektual dalam pembunuhan ini adalah Nyoman Susrama, adik Bupati Bangli Nengah Arnawa. Susrama juga merupakan pengawas proyek Dinas Pendidikan Bangli. Pengadilan Negeri Denpasar kemudian memutus Susrama dengan hukuman seumur hidup.
Namun, hukuman Susrama kemudian diubah menjadi 20 tahun penjara setelah Presiden Joko Widodo menandatangani remisi perubahan masa hukuman. Kebijakan Jokowi ini kemudian menuai kecaman.
Apalagi, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menilai bahwa Susramau menjadi satu-satuya pelaku pembunuhan wartawan yang tugas di pengadilan dengan hukuman berat, namun kemudian mendapat keringanan.
Sepuluh; Ridwan Salamun merupakan kontributor Sun TV di Tual, Maluku Tenggara. Ia merupakan warga Kampung Banda Eli. Ridwan tewas akibat dikeroyok ketika melakukan liputan bentrokan warga kompleks Banda Eli melawan warga Dusun Mangun, Desa Fiditan, Kota Tual, Maluku Tenggara pada 21 Agustus 2010.
Ridwan dibacok dari belakang dan mengenai bagian kepalanya. Berdasarkan keterangan saksi mata, posisi Ridwan berada di tengah-tengah massa karena berusaha memotret secara berimbang antara kedua belah pihak. Pengadilan Negeri Tual membebaskan tiga terdakwa pada 9 Maret 2011.
Ketiganya disebut tidak terbukti menganiaya jurnalis ini hingga tewas. Sebelumnya, tiga terdakwa ini dituntut hukuman penjara selama delapan bulan karena dianggap melanggar Pasal 170 Ayat 2 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). (*)