Bongkar Kembali Km 50 Tol Jakarta – Cikampek
Nah apa yang harus ditunggu lagi? Persoalan utama adalah adanya kemauan politik (political will) dari pengambil keputusan politik atau Presiden. Polri dan institusi lain akan menjalankan tugas dan fungsinya jika mendapat arahan atau kebijakan dari Presiden.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
KOMITMEN penegakan hukum pemerintahan Prabowo Subianto diuji. Benarkah ungkapan bahwa tidak seorangpun kebal hukum? Agenda terdekat yang menantang sekaligus akan membangun citra bagus adalah membongkar kembali kasus KM 50 Tol Jakarta – Cikampek.
Prabowo harus membayar hutang kepada umat Islam yang telah dizalimi oleh Joko Widodo dan rezimnya.
Nyawa 6 syuhada yang disiksa dan dibantai tidak boleh diambangkan kasusnya. Mereka adalah pendukung Prabowo saat itu.
Dua aparat dari Kepolisian yang telah diseret ke meja hijau yaitu Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella ternyata dibebaskan. Jadilah dagelan vulgar. Semua tahu bahwa sandiwara hukum ini telah membodohi rakyat dan bangsa Indonesia.
Habib Rizieq Shihab (HRS) merasakan kezaliman itu dan menuntut supaya di masa pemerintahan Prabowo kasus ini bisa diungkap kembali. Aparat yang bertanggungjawab harus dihukum setimpal.
Dalam panggung dagelan peristiwa unlawful killing ini dianggap hanya sebagai pelanggaran HAM biasa, tapi dengan adanya perencanaan matang dan operasi sistematis sesungguhnya pembantaian itu adalah pelanggaran HAM berat. Menurut UU Nomor 26 tahun 2000 kejahatan model seperti ini harus diadili oleh Pengadilan HAM, bukan peradilan umum.
Prabowo harus berani menyatakan Kasus KM 50 dibuka kembali atau Prabowo meminta supaya Komnas HAM sekarang bekerja ulang menyelidiki pelanggaran HAM berat ini dari sisi UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM dahulu hanya bersandar pada UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, sehingga hasilnya hanya formalitas dan pidana biasa-biasa saja.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dahulu di depan anggota DPR pernah menyatakan siap untuk membuka kembali kasus KM 50 jika ada bukti baru (novum).
Kini bukti baru atau novum itu sangat terang-benderang adanya, antara lain:
Pertama, perusakan dan penghilangan CCTV di KM 50 oleh AKBP Ari Cahya Nugraha alias Acay. Terungkap sebagai pengakuan dirinya dalam persidangan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo. Ia merusak dan menghilangkan CCTV di rumah Sambo Duren Tiga dan juga KM 50.
Kedua, pernyataan sopir truk derek bahwa di jalan tol KM 51 tidak terjadi hal-hal luar biasa, artinya normal-normal saja tidak terjadi penembakan di area tersebut. Membuktikan bahwa penyiksaan dan pembunuhan dilakukan di satu tempat tertentu.
Ketiga, kesaksian dalam persidangan Habib Bahar Smith di PN Bandung bahwa jenazah 6 syuhada terdapat luka-luka bekas siksaan yang terlihat jelas ketika dimandikan. Temuan ini menjadi bukti bahwa peristiwa penembakan di mobil adalah tidak benar atau rekayasa.
Nah, apa yang harus ditunggu lagi? Persoalan utama adalah adanya kemauan politik (political will) dari pengambil keputusan politik atau Presiden. Polri dan institusi lain akan menjalankan tugas dan fungsinya jika mendapat arahan atau kebijakan dari Presiden.
Ruang hukum terbuka untuk proses lebih lanjut.
Kasus KM 50 adalah kejahatan kemanusiaan atau crime against humanity yang dilakukan oleh aparat. Pelanggaran HAM berat terhadap aktivis umat Islam yang sedang menjalankan tugas da'wah. Mengawal ulama. Mereka syahid setelah disiksa sadis dan dibunuh oleh rezim Jokowi.
Jokowi memang penjahat psikopat. (*)