Demokrasi Dekaden

Indonesia memang tak bisa menunggu kehadiran kelas menengah yang besar untuk mengusung pemerintahan. Yang bisa dilakukan adalah memasang sabuk pengaman, agar pemerintahan tak terjerembab pada pragmatisme kerumunan atau dikendalikan oleh oligarki.

Oleh: Yudi Latif,

DEMOKRASI itu ada sisi baik dan sisi buruknya. Celakanya, yang lebih berkembang di Indonesia itu sisi buruknya.

Aristoteles membagi sistem pemerintahan pada tiga kategori. Pada setiap kategori, ada bentuk yang benar, ada juga yang menyimpang. Pemerintahan oleh satu orang: yang benar, kerajaan (kingdom); yang menyimpang, tirani.

Pemerintahan oleh sedikit orang: yang benar, aristokrasi; yang menyimpang, oligarki. Pemerintahan oleh banyak orang: yang benar, polity; yang menyimpang, demokrasi.

Polity adalah sistem pemerintahan oleh banyak orang dengan dukungan kelas menengah terdidik yang besar. Sedangkan demokrasi adalah pemerintahan oleh banyak orang dengan kehadiran rakyat miskin yang besar.

Aristoteles cenderung memilih pemerintahan oleh banyak orang karena, "yang banyak lebih tak mudah terkorupsi ketimbang yang sedikit" seperti samudera yang tak mudah tercemar. Meski begitu, ia tak menghendaki keliaran demokrasi.

Dalam bahasa Yunani, kata 'demos' bisa berarti rakyat (people), bisa juga berarti 'kerumunan jelata' (mob). Menurut Aristoteles, dalam demokrasi dengan kaum miskin yang besar, pemerintahan mudah jatuh pada logika kerumunan.

Bagi kaum miskin "terlalu sedikit yang dipertaruhkan" (too little to lose). Hak suara bisa mudah dipertukarkan dengan kepentingan segera.

Sebaliknya, pemerintahan juga sangat riskan bila dikuasai segelintir oligarki. Oligarki hartawan, menurutnya, terlalu banyak yang harus dilindungi.

Yang ideal itu polity dengan dukungan kelas menengah yang besar. Di sini, rasionalitas dan keseimbangan politik terjaga dengan nalar dan keterlibatan aktif warga dalam mengemban hak dan kewajiban kewargaan.

Indonesia memang tak bisa menunggu kehadiran kelas menengah yang besar untuk mengusung pemerintahan. Yang bisa dilakukan adalah memasang sabuk pengaman, agar pemerintahan tak terjerembab pada pragmatisme kerumunan atau dikendalikan oleh oligarki.

Para pendiri bangsa sudah bisa mengendus kemungkinan itu, dan secara visioner telah merancang sabuk pengamannya dengan memilih "sistem sendiri": sistem demokrasi Pancasila yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan sistem perwakilan yang mengakomodasi segala unsur kekuatan rakyat yang menjelma dalam MPR. (*)