Fungsi Pengawasan dalam Konstitusi : DPR Berwewenang Berhentikan Presiden
Pembentukan hak angket ini sangat penting untuk mencari fakta sebenarnya, apakah putusan MK tersebut sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan, khususnya UU Mahkamah Konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman, dan atau Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
GIBRAN Gate membuka mata dan hati masyarakat Indonesia. Mereka terhentak tidak terpercaya melihat permainan yang sedemikian kotor tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi penuh intrik dan manipulatif.
Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, yang juga sebagai paman Gibran Rakabuming Raka dan adik ipar Joko Widodo, terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dalam perkara gugatan persyaratan batas usia capres-cawapres, yang memberi jalan kepada Gibran untuk menjadi calon wakil presiden.
Saya muak. Begitu kata seorang gadis belia seperti terlihat di video yang sempat viral, dengan latar belakang baliho besar bergambar Gibran.
Rakyat juga muak.
Seiring dengan pelanggaran berat kode etik dan pelanggaran hukum Anwar Usman, suara desakan pemakzulan terhadap Jokowi juga mulai terdengar. Semakin lama semakin lantang.
Beberapa perwakilan partai politik juga tidak menafikan hal itu. Pemakzulan presiden bisa dilakukan jika memenuhi ketentuan Pasal 7A undang-undang dasar (UUD): “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela …..”
Pemakzulan presiden ini bahkan merupakan kewajiban konstitusi DPR, sebagai wujud pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap presiden dan wakil presiden seperti diatur di Pasal 7B ayat (2) UUD: “Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ….. adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Kewajiban konstitusi terkait fungsi pengawasan DPR, di samping fungsi legislasi dan fungsi anggaran, ditegaskan di Pasal 20A ayat (1) UUD: “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.”
Semua itu menjelaskan, pemberhentian presiden dalam masa jabatan merupakan kewajiban konstitusi DPR, dalam hal presiden melakukan pelanggaran hukum, pelanggaran konstitusi, atau perbuatan tercela lainnya.
Pertanyaannya, apakah Jokowi telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum seperti dimaksud di atas, sehingga bisa diberhentikan?
Berdasarkan pengamatan terhadap perilaku pemerintahan Jokowi selama ini, banyak pihak menduga Jokowi telah melakukan berbagai pelanggaran. Puncaknya kasus Gibran Gate yang diduga ada intervensi dari pihak luar terhadap putusan MK.
Selain itu, Gibran Gate juga menebar aroma KKN yang diduga melibatkan kerabat, baik secara langsung atau tidak langsung, seperti terungkap dari wawancara Hasto Kristiyanto di salah satu podcast, maupun dari publikasi Tempo.
Salah satu tugas penting DPR adalah mendalami dan menemukan fakta atau bukti apakah benar Jokowi telah melakukan pelanggaran hukum seperti yang didugakan kepadanya.
Tugas menemukan fakta atau penyelidikan tersebut bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap presiden.
Agar fungsi pengawasan DPR dapat berjalan sesuai dengan kewajiban konstitusi, maka DPR diberi wewenang dan hak konstitusi untuk melakukan penyelidikan secara luas, yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
Hak interpelasi adalah hak DPR untuk minta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat terkait kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa, atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, atau dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, pelanggaran konstitusi, maupun perbuatan tercela.
Salah satu anggota DPR sudah mengusulkan hak angket terkait putusan MK No 90 tentang batas usia capres-cawapres.
Pembentukan hak angket ini sangat penting untuk mencari fakta sebenarnya, apakah putusan MK tersebut sudah dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan, khususnya UU Mahkamah Konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman, dan atau Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pemeriksaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, terbukti melakukan pelanggaran hukum terkait pengambilan Putusan MK Nomor 90. DPR wajib mendalami, apakah pelanggaran hukum tersebut dilakukan secara sistematis, terencana, atau bahkan ada unsur pidana. DPR juga wajib menyelidiki apakah ada pihak luar terlibat dalam pelanggaran hukum tersebut.
Selain inisiatif langsung dari DPR, masyarakat juga wajib memberi masukan kepada DPR apabila mengetahui ada dugaan keras presiden melakukan pelanggaran hukum. Masyarakat juga wajib mendesak DPR untuk menggunakan hak konstitusinya untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran dimaksud.
Pemerintah, presiden atau wakil presiden, wajib taat mengikuti proses penyelidikan yang dilakukan DPR. Menghalangi hak konstitusi DPR merupakan pelanggaran konstitusi berat yang bisa langsung berdampak pada pemakzulan. (*)