Dua Sisi Jimly Asshiddiqie, Antara Guru Besar dan Politikus

Dalam situasi tertentu, pernyataan Jimly menunjukkan kelimuannya sebagai guru besar dan ahli hukum tata negara. Dalam kondisi lain, pernyataan Jimly seperti politikus yang berpihak pada kepentingan politik dan kelompok tertentu.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

JIMLY Asshidiqie, guru besar ilmu hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sempat memberi tanggapan di media sosial X (twitter) terkait desakan pemakzulan Presiden Joko Widodo oleh Petisi 100.

Jimly Asshiddiqie menilai, desakan pemakzulan terhadap Jokowi sebagai pengalihan perhatian saja, karena ada yang takut kalah. Jimly merasa aneh, satu bulan menjelang pemilu ada ide pemakzulan presiden. “Ini tidak mungkin, kecuali cuma pengalihan perhatian atau karena pendukung paslon, panik dan takut kalah,” katanya.

Pernyataan Jimly sangat janggal, tidak berdasarkan substansi keahliannya sebagai guru besar ilmu hukum tata negara. Yaitu apakah presiden Jokowi sudah bisa dan sudah layak dimakzulkan. Tetapi, pernyataan Jimly jelas bersifat politis, dan penuh kepentingan.

Selain itu, Jimly juga gagal memahami, bahwa desakan pemakzulan Jokowi oleh Petisi 100 bukan isu dadakan pemilu, tetapi sudah dilakukan jauh sebelum ada gonjang-ganjing pemilu dan pilpres. Bahkan Petisi 100 sudah bertemu perwakilan dari MPR unsur DPD pada 20 Juli 2023.

Sehingga tuduhan Jimly terkait isu “pemakzulan Jokowi hanya untuk pengalihan perhatian karena ada yang takut kalah” adalah tidak benar, tidak ada dasar sama sekali, dan jelas beraroma politik. Alias dipolitisir.

Di lain sisi, jauh sebelumnya, Jimly sempat mengatakan, banyak sekali alasan presiden Jokowi bisa dimakzulkan.

Pada awal 2023, Jimly melontarkan pernyataan bahwa penerbitan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tentang Cipta Kerja dapat berakibat pada pemakzulan presiden Jokowi. Jimly menilai Perppu Cipta Kerja telah melanggar konstitusi karena melabrak putusan MK terhadap UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional (bersyarat).

Dalam hal ini, pernyataan Jimly itu tampak jelas sangat objektif dan bersumber dari keilmuannya sebagai guru besar dan ahli hukum tata negara.

Perlu diketahui, dugaan pelanggaran konstitusi terkait Perppu Cipta Kerja ini juga sudah masuk dalam daftar petisi 100. https://www.inilah.com/perppu-ciptaker-buka-celah-makzulkan-jokowi

Apakah proses pemakzulan presiden mudah atau sulit, tidak penting. Yang penting adalah proses berjalan sesuai hukum yang berlaku. https://wartaekonomi.co.id/amp/read471750/eks-ketua-mk-ungkap-celah-agar-jokowi-bisa-dimakzulkan-perkara-perppu-cipta-kerja-istana-bereaksi-tidak-semudah-itu

Pada kesempatan lain, menjelang putusan sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal November 2023, di mana Jimly ditunjuk sebagai Ketua Majelis Kehormatan MK, Jimly sempat melontarkan pernyataan, bahwa banyak alasan presiden Jokowi bisa dimakzulkan.

Ketika itu, presiden Jokowi diduga telah melakukan KKN bersama Ketua MK Anwar Usman, adik ipar Jokowi, untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putera Jokowi, supaya bisa memenuhi persyaratan calon wakil presiden, dengan cara melanggar dan merekayasa konstitusi.

Terkait dugaan pelanggaran KKN ini, Jimly mengatakan pemakzulan presiden itu urusan DPR. “Itu urusan politik di DPR. Boleh saja dimakzulkan. Ada banyak sekali alasan presiden dimakzulkan, banyak,” ucapnya.

Padahal, ketika itu proses pilpres juga sedang bergulir. Tetapi, Jimly tidak berkomentar “ada yang takut kalah”. https://jejakfakta.com/read/amp/4357/jimly-sebut-ada-banyak-alasan-presiden-jokowi-bisa-dimakzulkan

Sayangnya, putusan Majelis Kehormatan MK antiklimaks. Jimly menyatakan Anwar Usman bersalah melanggar hukum, etika, dan moral. Tetapi putusan Majelis Kehormatan MK tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Putusan Majelis Kehormatan MK lebih bersifat politis dan penuh kepentingan kelompok tertentu.

Dugaan pelanggaran KKN Jokowi ini juga sudah masuk dalam daftar Petisi 100 terkait dugaan pelanggaran konstitusi Jokowi. Bahkan rencananya akan dilaporkan ke penegak hukum dalam waktu dekat.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, komentar Jimly terkait isu pemakzulan Jokowi cukup bervariasi, mungkin tergantung dari kepentingan.

Dalam situasi tertentu, pernyataan Jimly menunjukkan kelimuannya sebagai guru besar dan ahli hukum tata negara. Dalam kondisi lain, pernyataan Jimly seperti politikus yang berpihak pada kepentingan politik dan kelompok tertentu.

Sebagai guru besar ilmu hukum tata negara, Jimly pasti paham, bahwa proses pemakzulan presiden dan proses pilpres merupakan dua hal yang berbeda sama sekali.

Menurut konstitusi, kalau presiden sudah layak dimakzulkan, maka harus dimakzulkan, demi penegakan hukum dan konstitusi. Tidak ada kaitan dengan proses pemilu dan pilpres.

Karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Jokowi sudah layak dimakzulkan? Apakah Jokowi sudah melanggar konstitusi sehingga layak dimakzulkan?

Pernyataan “ada yang takut kalah” jelas bukan pendapat seorang profesor ahli hukum tata negara, tetapi lebih pada pendapat seorang politikus yang mempunyai kepentingan untuk mempertahankan posisi presiden Jokowi, setidak-tidaknya sampai proses pilpres berakhir, yang kemungkinan akan berlangsung dua putaran, hingga Juli 2024.

Pertanyaannya, mengapa harus mempertahankan jabatan Jokowi (sampai pilpres selesai), dan kepentingan apa sampai bisa mengalahkan pendapat objektif seorang guru besar? (*)