Gagal Total Patung Garuda IKN, Kado 79 Tahun RI ?
Apa-apa yang sudah disuarakan oleh mayoritas Netizen atas nama Rakyat terhadap MenkomOmDo juga – Produk Gagal – Patung yang disebut-sebut sebagai "Kelelawar" alias bukan "Garuda" di IKN sebagaimana desain awalnya adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari apalagi dikriminalisasi.
Oleh: KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
GAGAL Total? Ya, Fixed, 1.000% (baca: seribu persen), alias tidak cukup hanya 100% kegagalan Seniman NN dalam mewujudkan hasil akhir desain Patung Garuda di belakang Istana Garuda di IKN (Ibu Kota Negara) Nusantara yang awalnya digadang-gadang akan menjadi landmark yang membanggakan, sekaligus Kado istimewa dalam Peringatan 79 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2024.
Namun apa lacur, bukannya Apresiasi, kekaguman apalagi Pujian yang didapatkan, tetapi mostly – bahkan bisa disebut semua – komentar yang muncul setelah patung garuda itu tampak bentuknya, tidak ada satupun yang memuji bahkan rata-rata mencemooh alias karyanya jadi mem-"bagong"-kan.
Sekarang ini justru NN malah hanya tampak sibuk mengklarifikasi di berbagai media sebagai konsekuensi hasil karyanya yang menjadi bullyan Netizen hingga jadi trending topic di berbagai platform tersebut.
Mulai dari disebut sebagai "Istana Kelelawar", "Rumah Kampret", "Tempat tinggal Voldemort" (Catatan: Sosok Lord Voldemort salahsatu Penyihir Jahat lulusan Hogwarts dalam sekuel Harry Potter karya JK Rowling ini pernah saya ulas dalan tulisan sebelumnya, sebagai sosok jahat yang sangat kejam, licik, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya), hingga sampai ada yang mengatakan "Istana Setan/Iblis" saking muram alias gelapnya.
Selain menyalah-nyalahkan masyarakat yang dianggapnya "tidak mengerti seni dan teknologi" (?), Terwelu, terlalu. Ia malah mencontohkan seniman-seniman besar seperti pelukis Rembrandt (Harmenszoon van Rijn), (Vincent Willem) Van Gogh, bahkan Boerhanoedin (Affandi) Koesoema, yang disebut karyanya sempat tidak laku pada awalnya dan membingungkan masyarakat, namun kini berharga sangat mahal di pasaran dunia.
Ketika mendengar komentar NN yang menyalah-nyalahkan orang lain tersebut, terus terang malah menjadi kasihan kepada dia, karena tampaknya ingin agar dibanding-bandingkan dengan nama-nama besar itu.
Nyaris mirip sosok yang menderita Waham kebesaran (sampai Skizofrenia) sebagaimana yang sempat disampaikan juga oleh Dr Reni Suwarso (Dosen UI dan Direktur IDESSS) serta Prof Dr HM Amin Rais (UGM) untuk orang lain yang ditengarai sudah terjangkit gejala tersebut.
Artinya, kalau hanya satu atau sekelompok kecil saja masyarakat yang tidak memahami karyanya, mungkin saja dia boleh begitu. Tetapi kalau sampai semua komentar berpendapat minor/negatif terhadap "Patung (?)" itu, siapa yang salah sekarang?
Kebetulan selaku Dosen – bahkan SeJurusan – di Fakultas Seni Media Rekam ISI (Institut Seni Indonesia) selama 10 (sepuluh tahun, 1994-2004), bahkan meraih "Dosen Teladan Tahun 2002", sekaligus akrab dengan Perupa berbagai media, saya cukup mengerti bagaimana menilai dan memahami sebuah karya seni.
Memang sebuah karya seni tidak bisa dinilai secara absolut hitam atau putih saja, namun kalau sejak awal sudah sering dijelaskan konsep dan rancangannya, kemudian setelah karyanya jadi untuk diimplementasikan ternyata berbeda jauh dengan apa-apa yang pernah digembar-gemborkannya, tentu hal ini yang menjadi catatan kritis terhadap (kegagalan) karyanya tersebut.
Maka tidak heran sejak jauh-jauh hari sudah ada banyak protes dari kelompok-kelompok arsitek, misalnya Asosiasi Profesi Arsitek Indonesia, Green Council Indonesia (GBCI), Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) dan Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP) yang sempat speak up tentang rancangan NN tersebut.
Salah satunya ketua Ikatan Arsitek Indonesia, I Ketut Rana Wiarcha, yang menjelaskan perlunya melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan, agar menciptakan rasa kepemilikan rakyat, termasuk prosedur tata cara dan urutan pembangunan.
Hal ini wajar saja, karena meski sudah (di) menang (kan) di Sayembara yang diselenggarakan oleh PUPR pada 2021, Patung tersebut dibuat menggunakan Uang Rakyat alias hasil Pajak Masyarakat dan bukan Uang Pribadinya, apalagi menghabiskan beaya sangat besar sampai senilai Rp 2 triliun.
Jika mau jujur, NN sebenarnya juga tidak konsisten dengan Jejak Digital Desain yang pernah digambarkannya di Instagramnya sendiri.
Karena sebagaimana yang sudah ditulis dan dipublikasikannya pada hari Kamis (1/4/2021) lalu, dia jelas-jelas merancang bahwa "bulu-bulu pada masing-masing sayap Garuda akan berjumlah 17 helai, 8 helai pada bagian ekor, 19 helai pada pangkal ekor, serta 45 helai bulu pada bagian leher" kata dia sendiri.
Sekarang bagaimana realisasinya? Karena kalau menurut pandangan mata normal, yang tampak hanya masing-masing 4 (empat) sudut lancip di masing-masing "bentangan sayap"-nya.
Kalau ini mau diartikan sebagai angka 4 + 4 = 8 (Agustus), kemudian di mana angka 17 dan 45 sebagaimana Lambang Garuda Pancasila? Kalaupun akhirnya dia mengatakan, ini "bukan Garuda Pancasila", terus Garuda apa? Bukankah tujuan Patung itu untuk memvisualkan Lambang Negara tersebut, bukan sekedar asal patung saja.
Sekalil agi kalau soal desain (Bangunan berbentuk Burung), sebenarnya juga tidak murni 100% orisinal, karena meski berbeda pose-nya, Patung Burung Raksasa sebelumnya sudah ada di Jatayu Earth’s Centre, Negara Bagian Kerala, India. Memiliki panjang 61 m dgn 21 m dan lebar sayap 45 m, sempat membuatnya memperoleh predikat sebagai patung burung terbesar di dunia karena dibuat tahun 2011.
Patung karya Seniman India Rajiv Anchal ini menceritakan kisah Ramayana di mana Jatayu berjuang melawan Rahwana saat berusaha menyelamatkan Shinta, meski akhirnya kalah dan tinggal satu sayapnya.
Meski lebih besar bangunan Istana Garuda di IKN dengan 177 m dan lengkungan sepanjang 239 m dan tinggi 77 m yang dibuat dengan 4.650 baja dari PT Krakatau Steel) dan total bobot patungnya adalah 1.398,3 ton, namun ini harusnya bukan dinilai soal besar-besaran ukurannya saja.
Dengan demikian kalau dari sisi penggambaran akhirnya tidak bisa mencerminkan desain "Garuda Pancasila" sebagaimana karya putera Kalimantan Sultan Hamid II yang dipakai sebagai Lambang Negara kita, terus buat apa Patung besar yang malah menjadi cibiran dan cemoohan masyarakat tersebut?
Sudah beaya sangat mahal, pose-nya merunduk (malu) dan sama sekali tidak gagah? (Catatan: bedakan antara "Gagah" dan "Sombong", karena kemarin sempat dicari-cari alasan kepala merunduk agar "tidak sombong" katanya).
Demikian juga dengan – katanya – kepala Garuda dibuat tidak menoleh ke kanan agar tidak hanya menonjolkan Indonesia bagian barat (?) sebuah alasan yang mengada-ada dan sangat tidak masuk akal selain mau coba ngeles atas kegagalan hasil akhirnya.
Namun masih ada yang disyukuri bahwa meski pernah memperoleh Tanda Jasa Adiutama dari salah satu kampus di Bandung tahun 2009, NN kemarin tidak termasuk dalam tokoh-tokoh yang diberi Tanda Jasa dan Penghargaan dari Negara sebagaimana yang telah didapat oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi.
Karena MenKomOmDo – demikian sebutan Netizen sekarang untuk yang hanya bisa "Komunikasi Omong Doank" itu – sebenarnya BeTi alias 11-12 juga dengan NN, sama-sama Gagal Total dalam tugasnya, di mana MenKomOmDo telah gagal mengamankan PDN (Pusat Data Nasional) yang telah bocor, namun malah memperoleh Bintang Jasa Mahaputera Pratama? Aneh bin Ajaib.
Kesimpulannya, Masyarakat Indonesia mungkin pernah mudah dibuai dengan guyuran Bansos, kecurangan SIREKAP dan pengalihan issue terhadap kasus-kasus besar yang sedang terjadi, ini yang membuat keadaan makin tidak baik-baik saja seperti sekarang.
Namun tetap diantara itu masih ada publik yang kritis menyuarakan kebenaran sesuai dengan logika akal sehat dan hati nurani.
Apa-apa yang sudah disuarakan oleh mayoritas Netizen atas nama Rakyat terhadap MenkomOmDo juga – Produk Gagal – Patung yang disebut-sebut sebagai "Kelelawar" alias bukan "Garuda" di IKN sebagaimana desain awalnya adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari apalagi dikriminalisasi.
At last but not least, Anggap saja lucu-lucuanan ini sebagai "Kado", meski tentu saja bukan kado yang diharapkan untuk Peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-79 kemarin agar kita tetap Waras dan Mawas diri... Merdeka! (*)