Gibran Penyakit Kronis

Rakyat sulit menerima keberadaan Gibran akibat kelahirannya yang tidak normal. Andai pelantikan juga terjadi, maka itu bukan berakhir penyakit. Penyakit baru dimulai. Gibran akan terus-menerus ditolak keberadaannya. Foto diri yang terpampang dipastikan banyak yang diturunkan.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

SKANDAL Gibran ternyata menjadi obyek pembicaraan Komisi HAM PBB. Setelah dipertanyakan dalam Sidang berbasis ICCPR maka Office on United Nations High Commissioner Human Rights (OHCHR) mencatat pelanggaran HAM beberapa negara dunia. Indonesia mendapat perhatian terkait Pemilu 2024. Adalah "Skandal Gibran" yang disorot yakni lolosnya anak Presiden Jokowi melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Gibran Rakabuming Raka itu penyakit politik yang merusak sistem ketahanan bangsa. Kedaulatan rakyat sebagai benteng kekuatan bernegara rontok oleh aksi Gibran atas kendali Joko Widodo.

Bagaimana tidak, Mahkamah Konstitusi (MK) yang diberi amanat untuk mengawal Konstitusi justru menjadi penghianat dari Konstitusi. "Open legal policy" untuk menentukan persyaratan yang menjadi kewenangan DPR direbut oleh MK. Hukum diperalat Istana untuk membangun dinasti.

Sidang sengketa hasil Pemilu melalui MK yang "steril" dari Uncle Usman mulai mengungkit Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Paslon 01 dan 03 mempermasalahkan keberadaan Gibran sebagai bagian dari kecurangan TSM Pilpres 2024. Gibran adalah monumen dari kecacatan hukum, politik, dan budaya yang dilakukan rezim Jokowi melalui Pemilu 2024.

Gibran akan menjadi penyakit yang berkepanjangan (kronis) jika tidak segera dibatalkan atau mundur dari jabatan sebagai Wapres versi KPU.

Rakyat sulit menerima keberadaan Gibran akibat kelahirannya yang tidak normal. Andai pelantikan juga terjadi, maka itu bukan berakhir penyakit. Penyakit baru dimulai. Gibran akan terus-menerus ditolak keberadaannya. Foto diri yang terpampang dapat dipastikan banyak yang diturunkan.

Mungkinkah bangsa tiba-tiba sembuh dari penyakit berkepanjangan? Mungkin saja tetapi sembuh hanya sesaat karena setelah itu jadi bencana. Dalam ilmu medis dikenal dengan nama "terminal lucidity". Seseorang yang berpenyakit lama (kronis) tanpa diduga, tiba-tiba sembuh normal, namun kesembuhan itu bersifat sementara kemudian meninggal.

Dalam politik bangsa ini, akankah kekuasaan Jokowi mengalami "terminal lucidity" seperti sadar atau tobat namun sebentar saja karena setelah itu ambruk? Begitu juga dengan Gibran yang jika dipaksakan turut berkuasa sebagai Wapres mengalami penyakit kronis lalu "terminal lucidity"? Ujungnya mati-mati juga.

Prabowo Subianto yang menggandeng Gibran bakal turut mengalami penyakit kronis. Bangsa dipastikan mengulangi musibah setelah 10 tahun menderita di bawah kepemimpinan Jokowi. Bagaimana akan tenang mengelola negara jika rakyat terus mempersoalkan keabsahan sebagai Presiden/Wakil Presiden?

Jabatan yang didapat dengan cara tidak halal pasti membuat semua susah. Akhirnya, si doi akan dilengserkan juga. Lalu, yang semula jumawa atau "delusion of grandeur", esoknya merengek minta ampun. (*)