Gibran Pintu Ambruknya Jokowi
Politik dinasti itu menginjak-injak demokrasi, meracuni kultur, menyuburkan oligarki, diharamkan konstitusi, merusak cita-cita pendiri bangsa, serta melanggar hukum. Undang-undang mengancam politik dinasti (nepotisme) dengan penjara maksimal 12 tahun, artinya itu adalah tindak pidana berat.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
KETIKA mendorong Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo, Presiden Joko Widodo telah mengingkari komitmen dan pandangannya bahwa Gibran tidak tertarik politik. Mendukung usaha bisnis lebih baik ketimbang menolong untuk menjadi pejabat publik. Masyarakat membaca demikian dalam merefleksikan perjalanan Gibran yang saat ini bagai "nasi telah menjadi bubur".
Gibran itu bubur, bukan masa depan. Gibran yang oleh Majalah TEMPO disebut sebagai anak haram Konstitusi menjadi pelanjut dari kekacauan yang dilakukan Jokowi. Negara Indonesia sudah mengalami musibah berat dengan memiliki pemimpin bernama Jokowi. Kini dibuat lebih ruwet lagi oleh Gibran, putera mahkota yang kurang bermutu.
Ketika Jokowi tertipu oleh bacaan salah tentang dirinya yang seolah-olah hebat, berprestasi dan disayangi, maka ia percaya diri untuk terus mengorbitkan Gibran. Pucuk dicinta ulam tiba, tempat penitipannya adalah Prabowo Subianto, perwira yang mahir memuja-muji.
Jadilah Cawapres dukungan partai-politik. Untuk kemajuan Indonesia, katanya. Entah maju ke mana dengan menggendong Gibran. Malah jadi teringat lagu mbah Surip "ta gendong ke mana-mana".
Rupanya Jokowi salah rasa, salah kalkulasi, dan salah prediksi. Gibran bukan solusi cerdas tetapi langkah blunder untuk tidak menyebut bodoh. Rakyat yang sudah sering ditipu dan dibohongi kini melawan dan menuntut kejujuran. Segala upaya untuk menyukseskan Gibran akan gagal. Andaipun kecurangan berhasil memenangkan, maka itu bukan berarti selesai. Rakyat tidak suka politik dinasti.
Gibran adalah pintu ambruknya kekuasaan Jokowi. Sekurangnya tiga faktor penyebab, yaitu:
Pertama, bermotif kepentingan keluarga dengan pamanda Anwar Usman dan ibunda Iriana yang berperan besar atas lolosnya Gibran sebagai Cawapres. Putusan Nomor 90 MK menjadi masalah berkepanjangan. MK-Gate adalah skandal dan pintu butut runtuhnya kekuasan Jokowi.
Kedua, Gibran tidak menyelesaikan tugasnya sebagai Walikota Solo. Seperti bapaknya dahulu yang juga tidak menyelesaikan masa jabatannya di DKI Jakarta. Pola lompat kodok ini menjadikan Gibran sebagai "karbit" penggelegar suara. Suara kecaman dan kutukan masyarakat atas perilaku politik tidak bertanggungjawab.
Ketiga, gara-gara Gibran maka Presiden Jokowi sibuk menjadi tim sukses. Perhatian pada fungsi pemerintahan menjadi kacau. Kabinet tidak terkonsolidasi, bahkan kocar-kacir. Ancaman mundur dari banyak Menteri merupakan persoalan serius. Jika para Menteri nyata-nyata mundur maka tamatlah Jokowi.
Seruan pemakzulan Jokowi mendapat minyak pembakar dari politik dinasti dan cawe-cawe Jokowi. Gibran cepat atau lambat akan menjadi magnet untuk perlawanan rakyat semesta. Mahasiswa, buruh, santri, emak-emak, aktivis atau elemen lain akan bergerak melawan politik dinasti atau nepotisme.
Politik dinasti itu menginjak-injak demokrasi, meracuni kultur, menyuburkan oligarki, diharamkan konstitusi, merusak cita-cita pendiri bangsa, serta melanggar hukum. Undang-undang mengancam politik dinasti (nepotisme) dengan penjara maksimal 12 tahun, artinya itu adalah tindak pidana berat.
Jokowi seperti Raja frustrasi yang siap untuk bunuh diri. Gibran adalah pisau bunuh diri (suicide knife) Jokowi. (*)