Jokowi Takut Investigasi
RUU Penyiaran ini akan menjadi "deal" kebersamaan Jokowi dan DPR yang akan mengakhiri masa jabatannya. Bersama membuat klep pengaman. Memberi ruang lebih besar KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang dengan mudah mengambil-alih kewenangan Dewan Pers jelas merampas urusan internal jurnalistik.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
MESKI RUU Penyiaran digodok oleh DPR sebagai penggunaan Hak Inisiatif DPR tetapi melihat konten dan kepentingannya dapat diprediksi ini adalah "titipan" Eksekutif. Yang menjadi sorotan kencang yaitu soal larangan pers investigasi atau dikenal dengan investigative news. Dalam Pasal 50 (B) ayat 2 huruf c melarang penayangan ekslusif investigasi jurnalistik. Aturan ini dinilai membatasi kebebasan dan tentu melanggar HAM.
Jika media dilarang untuk melakukan penayangan investigasi jurnalistik, maka berbagai kasus publik dapat diredam sesuai dengan kemauan politik. Keterlibatan publik menjadi hilang atau dibatasi. RUU telah membunuh fungsi kontrol media. Kelak kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme akan aman tetap berada dalam ruang tertutup dan kompromistis.
Mafia bisnis merajalela tanpa tersentuh BAP penyidik. Hukum tidak akan mampu menjangkau dimensi ini. Hukum menjadi mainan para mafia licin. Di sinilah sebenarnya berita investigasi sangat membantu untuk mengungkap. Sebaliknya, pelarangan justru memproteksi dan menyuburkan kejahatan yang berbau mafia tersebut.
Rezim Joko Widodo adalah rezim korup, rezim nepotis dan rezim mafia. Hukum bukan menjadi pembongkar tapi pelindung. Lihat saja revisi UU KPK yang memandulkan, Putusan MK Nomor 90 Gibran Rakabuming Raka yang melegalisasi serta peradilan Ferdy Sambo yang memproteksi. Putusan Hakim kasus 6 Syuhada pengawal HRS (Habib Rizieq Syihab) penuh dengan rekayasa.
Rezim korup, rezim nepotis dan rezim mafia tidak takut pada hukum, bahkan hukum dibuat sebagai pembenar kesewenang-wenangannya. Justru yang ditakuti adalah tayangan eksklusif investigasi jurnalistik. Tayangan ini berbahaya dan jauh lebih mengerikan bagi rezim pendosa dan penjahat.
Kebusukan dapat dikejar terus meski rezim telah berganti.
Jokowi takut akan hal ini dan butuh antisipasi atau proteksi. Terlalu banyak kasus yang diduga melibatkan Istana menjadi tertutup dan tidak jelas penyelesaiannya. Jika investigasi media telah dilakukan maka ketertutupan akan terkuak. Jokowi akan diterkam oleh dosa-dosa sendiri yang terbongkar.
Awal periode kedua, Jokowi sudah "membunuh" 800-an petugas Pemilu tanpa ada kejelasan penyebab maupun proses hukum. Kejahatan ini perlu investigasi media. Berbagai Perppu yang diterbitkan Jokowi seperti cipta kerja, dana covid, pembubaran ormas, pajak dan lainnya penuh dengan penyimpangan "without investigation".
Andai kasus pembataian 6 syuhada dan Kanjuruhan diinvestigasi media secara intensif, maka akan terlihat betapa pucat wajah Jokowi. Masa depan yang gelap.
RUU Penyiaran ini akan menjadi "deal" kebersamaan Jokowi dan DPR yang akan mengakhiri masa jabatannya. Bersama membuat klep pengaman. Memberi ruang lebih besar KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang dengan mudah mengambil-alih kewenangan Dewan Pers jelas merampas urusan internal jurnalistik.
Secara administratif anggota KPI bertanggung jawab kepada Presiden. Dan, RUU Penyiaran akan menjadi kado terindah DPR untuk Jokowi sekaligus kado terindah Jokowi untuk Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Jika dipaksakan tetap dilarang penayangan ekslusif investigasi jurnalistik, maka matilah media dan bahagialah penguasa mafia dan perekayasa. Bravo Jokowi, bravo Prabowo – Gibran.
Bye-bye dan selamat berlibur DPR. (*)