Kemarin Kemkominfo Sudah Kalah Hattrick 0-3, Mungkinkah Jadi Quattrick O-4 Bahkan Glut (Quintrick) 0-5?
Keduanya menggambarkan bagaimana jika data-data bisa dikuasai oknum yang tidak berhak dan mengubah total isinya, bahkan jika yang terjadi adalah Rezim yang menguasai Big Data negara justru yang menganggap rakyatnya sendiri sebagai musuhnya.
Oleh: KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
KEMARIN saya menulis bahwa mirip seperti Kroasia dan Ukraina yang masing-masing kalah 0-3 dari Spanyol dan Rumania di laga Euro 2024, Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) sudah kalah juga 0-3 dalam seminggu ini. Berturut-turut kalah dari Situs (HoaX) Ela Elo, kemudian blunder sendiri saat membuat Ucapan "Selamat Ultah ke-68 JokoWi" yang jadi tertawaan Netizen karena mirip "Ucapan Duka Cita", dan bahkan jadi trending topic kata "meninggal", hingga terakhir lumpuhnya PDN (Pusat Data Nasional) akibat serangan siber yang tidak segera bisa dipulihkan.
Sangat ironis memang, kekalahan terakhir dengan serangan siber ransomware ke PDN itu sangat telak dan luar biasa memalukan, bagaimana tidak, dibangun dengan beaya 104 juta Euro atau sekitar Rp 2.7 triliun, memang angka ini masih hanya sekitar 0.9 % dari uang korupsi Timah yang mencapai Rp 300 triliun, tapi beaya tersebut seharusnya sudah sangat mencukupi untuk membuat sistem yang handal, aman dan mempuni sebagai jantung PDN di Deltamas Cikarang yang akan diresmikan sebagai kado Peringatan HUT ke-79 RI, 17/08/2024 mendatang.
Tetapi memang soal cukup dan tidak anggaran tersebut relatif bila akhirnya kita melihat bahwa faktor Brainware-nya tidak sebanding dengan investasi Hardware dan Software guna PDN yang sudah diinvestasikan.
Tak ada gunanya sama sekali Kapasitas 40 Petabyte, Memory 200 Terabyte yang sudah sering disebut-sebut kalau Manajemen Disaster Recovery dan Contingency Plan-nya tidak ada seperti kemarin. Belum lagi nanti rencana mau bangun PDN serupa di Labuan Bajo dan IKN, di mana infrastruktur dan suprastruktur di sana tentu jauh lebih minim dibandingkan dengan yang ada di Batam dan Cikarang yang relatif dekat dengan industri dan berbagai kebutuhan teknis lainnya.
Apalagi kalau kita mengaca pada Proyek hibah Jalan Layang Elevated MBZ yang diambil dari nama putera mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohamed Bin Zayed. Jalan yang dibangun di atas Tol Jakarta-Cikampek sepanjang 36,84 km itu diketahui terakhir ternyata dikorupsi dengan menurunkan spec-nya, mengerikan.
Bisa dibayangkan bila suatu saat terjadi kerusakan (konstruksi) teknis, sebagaimana dulu pernah terjadi "rungkad" pada sambungan antar salah satu ruas jalan MBZ tersebut yang mengakibatkan puluhan kendaraan pecah ban ketika melewatinya. Untung saja waktu itu rungkad-nya sambungan segera diatasi dan kendaraan-kendaraan yang pecah ban tidak ada yang mengalami kecelakaan fatal.
Bisa dibayangkan bila kendaraan rata-rata yang melintas di MBZ tersebut berjalan dengan kecepatan 100 km/jam bahkan faktanya lebih, sehingga apabila terjadi fatalistik yang lebih dari sekedar pecah ban seperti kemarin, bagaimana jadinya?
Padahal praktis di sepanjang Km 10 sampai dengan Km 48 tersebut hanya ada 2 (dua) lajur dan bahu jalan di sebelah kiri yang tersedia itupun sangat sempit untuk dimanfaatkan, utamanya jika ada hal-hal darurat. Saya sengaja gunakan analogi kapasitas server di PDN itu dengan Jalan Tol Layang (Elevated) MBZ ini, sebab praktis sama-sama kurang tersedia "lajur darurat" dan sarana penyelamat saat terjadi situasi yang gawat.
Jadi bila yang kemarin sempat terjadi gangguan adalah baru data-data dari DitJen Imigrasi yang disimpan di PDN dan itupun recovery atau pemulihannya sangat-sangat lambat, tidak sat set atau tas tes alias seperti hanya Ela Elo, Ngah ngoh alias Plonga plongo, bagaimana jika besok proyek SDI (Satu Data Indonesia) berbasis SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik) yang sesuai Perpres Nomor 132 Tahun 2022 dan Perpres Nomor 82 Tahun 2023 mutlak harus diterapkan? Ini artinya tidak hanya 43 Kementerian/Lembaga, 5 Provinsi, 86 Kabupaten dan 24 Kota yang sangat tergantung kepada kekuatan PDN, tapi semua data elektronik di Indonesia.
Masalah data Imigrasi Paspor saja bisa memacetkan bandara-bandara Indonesia, apalagi nanti kalau yang diserang adalah data-data kependudukan, misalnya KTP, KK, NPWP, BPJS, SIM hingga Pertanahan (Sertifikat) atau bahkan suatu Perbankan (Rekening Pribadi/Perusahaan). Sangat bisa dibayangkan bagaimana gaduh, bahkan potensial terjadi bencana besar bagi masyarakat. Apakah Kemkominfo benar-benar sudah memikirkan resiko terburuk – semacam "jalur darurat di Tol Layang MBZ? Apalagi jika Pemda-pemda sudah tidak boleh lagi mem-backup data-data secara mandiri akibat Policy Anggaran sudah semuanya ditarik ke pusat untuk beaya PDN, Ambyar.
Saya tidak menakuti-nakuti, tetapi kita harus waspada. Penggambaran di film-film hal semacam ini sudah lama terjadi, bahkan semenjak sebelum tahun 2000 lalu, lihat saja di Film "The Net" (1995) yang dibintangi Sandra Bullock atau "Enemy of The State" (1998) dengan aktor Will Smith.
Keduanya menggambarkan bagaimana jika data-data bisa dikuasai oknum yang tidak berhak dan mengubah total isinya, bahkan jika yang terjadi adalah Rezim yang menguasai Big Data negara justru yang menganggap rakyatnya sendiri sebagai musuhnya.
Apakah Indonesia bisa seperti penggambaran di 2 Film di atas? Insyaa Allah tidak jika rakyat berani mulai berteriak dan bergerak, tidak hanya bisa bersorak jika diberi hal-hal yang (tampaknya) enak tetapi sebenarnya menjebak.
Sebagaimana yang saya sampaikan di Diskusi Interaktif Jaringan Radio swasta nasional semalam (Sabtu dini hari, 22/6/2024 00.05-00.50) Hattrick yang dialami Kemkominfo kemarin bukan yang terakhir, karena masih bisa akan kalah lagi di kasus-kasus berikutnya. Maka kalau dalam bola ada juga istilah Quattrick (0-4) bahkan Glut (Quintrick) (0-5).
Dalam sejarah bola, Erling Haaland, Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Alan Sheares dan Robert Lewandowski pernah melakukan glut (quintrick) ini dan di dunia Teknologi Informasi Indonesia bisa jadi Kemkominfo akan mengalami nasib sama bila tidak ada perubahan signifikan di dalamnya. The wrong wrong man (karena saking banyaknya orang yang salah) di sana adalah salah satu faktor terpenting penyebabnya.
Kesimpulannya, Kekalahan Quintrick bahkan Glut (Quintrick) masih bisa dialami, bahkan tidak mungkin sampai ke Double-Hattrick (0-6), Haultrick (0-7) dan seterusnya, mengerikan.
Di tengah mayoritas nada pesimis akan kemampuan Kemkominfo yang kita baca di berbagai platform (termasuk mostly pendengar saat diskusi semalam), sebenarnya Indonesia masih punya harapan jika Pemimpin kedepannya mau mendengar dan menempatkan orang-orang yang benar, bukan sekedar Pelawak di Siberkreasi dan-atau Relawan yang justru merusak Kementerian itu sendiri.
"Data is The New Oil" bisa sangat berharga namun juga berbahaya di tangan orang yang tidak mau menggunakan otaknya. (*)