Kesabaran Rakyat Ada Batasnya, Wahai Penguasa Laknat
Publik hari ini bukanlah boneka yang bisa dicekoki dengan pernyataan-pernyataan yang berbentuk doktrin eksploitatif dan merendahkan kecerdasan mereka. Berhentilah mengakali rakyat demi kepuasan pribadi Anda. Berhentikan menjadi kaki-tangan penjahat politik.
Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News
SELASA (20/8/2024), jagad politik dilanda eforia. MK membuat putusan yang mengubah besaran persentase perolehan suara parpol untuk bisa mengusung calon kepala daerah (cakada). Untuk daerah Jakarta, kalau parpol merebut suara 7.5 persen sudah bisa mengusung sendiri calon gubernur – calon wakil gubernur.
Tentu putusan ini menghidupkan kembali harapan PDIP untuk mengusung Anies Baswedan dalam pilgub November nanti. Sebelumnya harapan itu pupus karena Nasdem, PKB, PKS digiring masuk ke KIM (Koalisi Indonesia Maju) Plus.
Gabungan parpol yang mengusung Ridwan Kamil – Suswono (yang julukannya antara lain Rawon, Rakus, Kasus, Ridho, Rindu, dsb itu) menutup kemungkinan Anies maju.
Tapi, benarkah Anies masih bisa ikut pilgub Jakarta? Tidak adakah kemungkinan penjegalan lebih lanjut?
Ini yang masih perlu dilihat dalam beberapa hari ke depan. Sebab, rezim ekstremis ini juga bisa melakukan apa saja. Penguasa bisa saja melakukan intervensi untuk menjegal Anies.
Setidaknya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI kemarin menunjukkan bahwa mereka ikut dalam upaya untuk menghambat Anies. Dalam rapat hari Rabu (21/8/2024) itu sebagai respon terhadap putusan MK, Baleg membuat kesimpulan bahwa pengusungan calon gubernur dan bupati atau walikota tetap berdasarkan jumlah kursi DPRD sebesar 20% yang dimiliki parpol atau gabungan parpol.
Untuk pilgub Daerah Khusus Jakarta, parpol atau gabungan parpol memerlukan jumlah kursi DPRD minimal 22 dari 106. Inilah batas 20% itu. Supaya bisa mendukung Anies, PDIP perlu tambahan tujuh (7) kursi. Partai Banteng hanya punya 15 kursi.
Kami perlu menyebut Anies sebagai contoh karena pilgub Jakarta adalah panggung yang paling panas dan paling besar menyedot perhatian publik. Tidak lain karena Jakarta adalah barometer demokrasi nasional sekaligus menjadi proyektor untuk figur yang menduduki kursi gubernur.
Kembali ke putusan MK Nomor 60/2024 yang dua hari ini menjadi viral di sejumlah platform media sosial dan juga media besar. Menurut Baleg DPR, pengusungan berdasarkan persentase perolehan suara hanya untuk parpol atau gabungan parpol yang tidak punya kursi di DPRD. Benarkah dalil ini? Perlu ditelisik lebih lanjut putusan terbaru ini.
MK memerintahkan perubahan pasal 40 ayat 1 dan ayat 3 secara bersamaan sehingga parpol atau gabungan parpol yang punya kursi di DPRD maupun yang tak punya kursi DPRD bisa mengajukan atau mengusung paslon untuk pilkada provinsi atau kabupaten-kota dengan persentase berjenjang.
Sebagai contoh, PDIP merebut suara sah di Jakarta sebanyak 850,174 yang berarti 14.01%. Ada ketentuan lama mengharuskan PDIP meraih 25% dari suara sah untuk bisa mengusung cakada. Berdasarkan putusan MK yang terbaru kemarin, PDIP hanya perlu 7.5%.
Melihat besaran persentase perolehan suara di Jakarta di pilpres 2024, maka setidaknya ada 8 (delapan) parpol yang bisa mengajukan calon sendirian. Tanpa harus berkoalisi. Mereka semua adalah parpol yang duduk di parlemen Jakarta.
Kedelapan parpol itu adalah PKS 16.68%, PDIP 14.02%, Gerindra 12%, Nasdem 8.99%, Golkar 8.53%, PKB 7.76%, PSI 7.68%, dan PAN 7.51%.
Namun, seorang anggota Baleg dari PAN, Yandri Susanto, berpendapat lain. Dan, pendapat inilah yang memicu reaksi keras dari publik. Dia mengatakan untuk parpol yang punya kursi DPRD maka referensinya tetap jumlah anggota DPRD. Bukan persentase perolehan suara. Tidak mungkin dicampur, kata Yandri. Dalam arti sebagian berpatokan pada jumlah wakil di DPRD sebagian lagi memakai jumlah suara. Menurut Yandri, tidak ada putusan MK yang dilawan.
Argumentasi Yandri ini terkesan “mencari celah”. Mengapa? Karena parpol yang merebut suara 7.5% dan tanpa kursi DPRD saja oleh MK dibolehkan mengajukan cakada. Bagaimana mungkin argumentasi Yandri sejalan dengan logika hukum dan politik kalau dia berkesimpulan parpol yang merebut suara 14.01% plus anggota DPRD 15 orang tidak bisa mengusung cakada?
Inilah yang disebut “logical fallacy”. Logika cacat. Logika sesat.
Putusan MK Nomor 60/2024 itu hendaklah dipahami sebagai upaya untuk menghargai kedaulatan rakyat berdasarkan perintah UUD. Putusan ini bukan untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan yang selama 10 tahun ini dipegang oleh orang yang rakus dan tidak beradab serta tidak paham peradaban.
Karena itu, rakyat tidak perlu bingung memahami putusan MK tersebut. Biarkanlah para politis menafsirkan berdasarkan kepentingan kelompok sementara MK jelas-jelas menggunakan pertimbangan yang lebih superior yaitu penegakkan kedaulatan rakyat; rakyat yang telah memberikan suara mereka lewat mekanisme demokrasi.
Dalam situasi dan kondisi politik sekarang ini yang sangat sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok, Baleg DPR seharusnya peka terhadap tuntutan luas yang disuarakan lantang agar para wakil rakyat tidak melakukan pengkhianatan. Sangat besar konsekuenasinya. Situasi saat ini “highly explosive”.
Publik hari ini bukanlah boneka yang bisa dicekoki dengan pernyataan-pernyataan yang berbentuk doktrin eksploitatif dan merendahkan kecerdasan mereka. Berhentilah mengakali rakyat demi kepuasan pribadi Anda. Berhentikan menjadi kaki-tangan penjahat politik.
Harap diingat, putusan MK berlaku final dan mengikat. Ingat pula, kesabaran rakyat tentu saja punya batas. Ingat juga, kesabaran itu sama seperti air yang bisa dibelokkan ke mana Anda suka. Bisa Anda kendalikan semau Anda.
Tetapi, banyak contoh ketika air berubah menjadi kekuatan dahsyat yang menyapu tembok dan benteng, menenggelamkan gunung dan kapal-kapal besar, melumpuhkan kehidupan normal.
Bisa jadi air dahsyat itu tidak jauh dari Anda, wahai para penguasa laknat. (*) Publik hari ini bukanlah boneka yang bisa dicekoki dengan pernyataan-pernyataan yang berbentuk doktrin eksploitatif dan merendahkan kecerdasan mereka. Berhentilah mengakali rakyat demi kepuasan pribadi Anda. Berhentikan menjadi kaki-tangan penjahat politik.
Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News
SELASA (20/8/2024), jagad politik dilanda eforia. MK membuat putusan yang mengubah besaran persentase perolehan suara parpol untuk bisa mengusung calon kepala daerah (cakada). Untuk daerah Jakarta, kalau parpol merebut suara 7.5 persen sudah bisa mengusung sendiri calon gubernur – calon wakil gubernur.
Tentu putusan ini menghidupkan kembali harapan PDIP untuk mengusung Anies Baswedan dalam pilgub November nanti. Sebelumnya harapan itu pupus karena Nasdem, PKB, PKS digiring masuk ke KIM (Koalisi Indonesia Maju) Plus.
Gabungan parpol yang mengusung Ridwan Kamil – Suswono (yang julukannya antara lain Rawon, Rakus, Kasus, Ridho, Rindu, dsb itu) menutup kemungkinan Anies maju.
Tapi, benarkah Anies masih bisa ikut pilgub Jakarta? Tidak adakah kemungkinan penjegalan lebih lanjut?
Ini yang masih perlu dilihat dalam beberapa hari ke depan. Sebab, rezim ekstremis ini juga bisa melakukan apa saja. Penguasa bisa saja melakukan intervensi untuk menjegal Anies.
Setidaknya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI kemarin menunjukkan bahwa mereka ikut dalam upaya untuk menghambat Anies. Dalam rapat hari Rabu (21/8/2024) itu sebagai respon terhadap putusan MK, Baleg membuat kesimpulan bahwa pengusungan calon gubernur dan bupati atau walikota tetap berdasarkan jumlah kursi DPRD sebesar 20% yang dimiliki parpol atau gabungan parpol.
Untuk pilgub Daerah Khusus Jakarta, parpol atau gabungan parpol memerlukan jumlah kursi DPRD minimal 22 dari 106. Inilah batas 20% itu. Supaya bisa mendukung Anies, PDIP perlu tambahan tujuh (7) kursi. Partai Banteng hanya punya 15 kursi.
Kami perlu menyebut Anies sebagai contoh karena pilgub Jakarta adalah panggung yang paling panas dan paling besar menyedot perhatian publik. Tidak lain karena Jakarta adalah barometer demokrasi nasional sekaligus menjadi proyektor untuk figur yang menduduki kursi gubernur.
Kembali ke putusan MK Nomor 60/2024 yang dua hari ini menjadi viral di sejumlah platform media sosial dan juga media besar. Menurut Baleg DPR, pengusungan berdasarkan persentase perolehan suara hanya untuk parpol atau gabungan parpol yang tidak punya kursi di DPRD. Benarkah dalil ini? Perlu ditelisik lebih lanjut putusan terbaru ini.
MK memerintahkan perubahan pasal 40 ayat 1 dan ayat 3 secara bersamaan sehingga parpol atau gabungan parpol yang punya kursi di DPRD maupun yang tak punya kursi DPRD bisa mengajukan atau mengusung paslon untuk pilkada provinsi atau kabupaten-kota dengan persentase berjenjang.
Sebagai contoh, PDIP merebut suara sah di Jakarta sebanyak 850,174 yang berarti 14.01%. Ada ketentuan lama mengharuskan PDIP meraih 25% dari suara sah untuk bisa mengusung cakada. Berdasarkan putusan MK yang terbaru kemarin, PDIP hanya perlu 7.5%.
Melihat besaran persentase perolehan suara di Jakarta di pilpres 2024, maka setidaknya ada 8 (delapan) parpol yang bisa mengajukan calon sendirian. Tanpa harus berkoalisi. Mereka semua adalah parpol yang duduk di parlemen Jakarta.
Kedelapan parpol itu adalah PKS 16.68%, PDIP 14.02%, Gerindra 12%, Nasdem 8.99%, Golkar 8.53%, PKB 7.76%, PSI 7.68%, dan PAN 7.51%.
Namun, seorang anggota Baleg dari PAN, Yandri Susanto, berpendapat lain. Dan, pendapat inilah yang memicu reaksi keras dari publik. Dia mengatakan untuk parpol yang punya kursi DPRD maka referensinya tetap jumlah anggota DPRD. Bukan persentase perolehan suara. Tidak mungkin dicampur, kata Yandri. Dalam arti sebagian berpatokan pada jumlah wakil di DPRD sebagian lagi memakai jumlah suara. Menurut Yandri, tidak ada putusan MK yang dilawan.
Argumentasi Yandri ini terkesan “mencari celah”. Mengapa? Karena parpol yang merebut suara 7.5% dan tanpa kursi DPRD saja oleh MK dibolehkan mengajukan cakada. Bagaimana mungkin argumentasi Yandri sejalan dengan logika hukum dan politik kalau dia berkesimpulan parpol yang merebut suara 14.01% plus anggota DPRD 15 orang tidak bisa mengusung cakada?
Inilah yang disebut “logical fallacy”. Logika cacat. Logika sesat.
Putusan MK Nomor 60/2024 itu hendaklah dipahami sebagai upaya untuk menghargai kedaulatan rakyat berdasarkan perintah UUD. Putusan ini bukan untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan yang selama 10 tahun ini dipegang oleh orang yang rakus dan tidak beradab serta tidak paham peradaban.
Karena itu, rakyat tidak perlu bingung memahami putusan MK tersebut. Biarkanlah para politis menafsirkan berdasarkan kepentingan kelompok sementara MK jelas-jelas menggunakan pertimbangan yang lebih superior yaitu penegakkan kedaulatan rakyat; rakyat yang telah memberikan suara mereka lewat mekanisme demokrasi.
Dalam situasi dan kondisi politik sekarang ini yang sangat sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok, Baleg DPR seharusnya peka terhadap tuntutan luas yang disuarakan lantang agar para wakil rakyat tidak melakukan pengkhianatan. Sangat besar konsekuenasinya. Situasi saat ini “highly explosive”.
Publik hari ini bukanlah boneka yang bisa dicekoki dengan pernyataan-pernyataan yang berbentuk doktrin eksploitatif dan merendahkan kecerdasan mereka. Berhentilah mengakali rakyat demi kepuasan pribadi Anda. Berhentikan menjadi kaki-tangan penjahat politik.
Harap diingat, putusan MK berlaku final dan mengikat. Ingat pula, kesabaran rakyat tentu saja punya batas. Ingat juga, kesabaran itu sama seperti air yang bisa dibelokkan ke mana Anda suka. Bisa Anda kendalikan semau Anda.
Tetapi, banyak contoh ketika air berubah menjadi kekuatan dahsyat yang menyapu tembok dan benteng, menenggelamkan gunung dan kapal-kapal besar, melumpuhkan kehidupan normal.
Bisa jadi air dahsyat itu tidak jauh dari Anda, wahai para penguasa laknat. (*)