Kewajiban Konstitusional Presiden Indonesia (4)

Presiden berintegritas juga harus berani ambil keputusan dan siap menerima risiko. Konsekuensi logisnya, jika presiden baru, merasa dirinya tidak jujur, inkonsisten, abai terhadap visi – misi negara, dan terpilih sebagai presiden secara curang, maka secara jantan, mengundurkan diri.

Oleh: Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (2005-2013)

SUMPAH jabatan Presiden Indonesia, setelah berpegang teguh UUD 1945, presiden juga berikrar akan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.

Konsekwensi logisnya, maka presiden harus berpegang dan melaksanakan UUD ‘45 dan Peraturan Perundang-undangan turunannya secara “lempeng”, tanpa rekayasa, apalagi KKN.

Konsekuensi lanjutannya, peresiden dalam menerbitkan undang-undang, PP, dan Keppres harus berdasarkan konstitusi. Presiden yang akan datang, jangan meniru Jokon Widodo. Sebab, Jokowi menerbitkan undang-undang, PP, dan Keppres yang bertentangan dengan UUD ‘45. Hal ini dapat dilihat dari UU Minerba, KPK, Cipta Kerja, Kesehatan, dan IKN yang semuanya itu bertentangan dengan konstitusi.

Jokowi, sepatutnya, sudah harus dilengserkan beberapa tahun lalu karena pelanggaran konstitusi yang dilakukan. Namun, DPR sudah menjadi Humas Presiden sehingga tidak bisa melengserkan Jokowi. Apalagi, Ketua MK adalah adik ipar Jokowi.

Hanya “people power” yang dikomandoi mahasiswa bisa melengserkan Jokowi. Apakah unjuk rasa mahasiswa kemarin di Jakarta dan beberapa kota lain, berubah menjadi air bah seperti tahun 1967 dan 1997? Jika iya, maknanya, Jokowi dapat dilengserkan sebelum presiden baru dilantik.

Presiden yang Berintegritas

Lurus menurut KBBI, punya lima arti, yakni: (a) Memanjang hanya dalam satu arah, tanpa belokan atau lengkungan; (b) tegak benar; (c) jujur; (d) baik, tidak sesat; (e) tepat benar, betul.

Presiden, berdasarkan arti lurus menurut KBBI di atas, berikrar untuk berlaku jujur, baik, betul, dan tidak sesat dalam menjalankan tugas. Konsekuensi logisnya, presiden harus berintegritas tinggi.

Operasionalisasinya, presiden harus menerapkan enam pilar integritas, yakni: jujur; konsisten; komitmen terhadap visi perjuangan; objektif; berani ambil putusan dan siap menerima risiko; serta disiplin dan bertanggung jawab.

Presiden bisa melaksanakan Peraturan Perundang-undangan selurus-lurusnya jika MPR sebagai lembaga tertinggi negara dianggotai oleh mereka yang berintegritas lebih tinggi dari presiden itu sendiri.

Konsekuensi logisnya, MPR harus dikembalikan ke posisi semula sebagai Lembaga Tertinggi Negara, hasil rumusan “founding fathers.” Konsekwensi lanjutannya, UU partai politik dan Pemilu harus diubah total agar seorang anggota legislatif dipilih karena integritas dan kompetensinya. Tinggalkan segera budaya “money politic” dan Pemilu curang seperti yang dilakukan pemerintahan Jokowi.

Presiden, selain jujur terhadap diri sendiri, dia juga tidak boleh berbohong terhadap orang lain. Bahkan, presiden harus jujur terhadap lingkungan hidup. Konsekwensi logisnya, presiden baru nanti harus menerbitkan beberapa Perppu yang membatalkan undang-undang Minerba, KPK, Cipta Kerja, Kesehatan, dan IKN. Konsekwensi lanjutannya, presiden baru harus menyeret Jokowi dan rezimnya ke meja hijau agar bisa menjalani proses hukum seadil-adilnya.

Presiden berintegritas, bermakna, harus konsisten. Konsekwensi logisnya, presiden harus konsisten dengan janji-janji yang disampaikan selama masa kampanye. Jangan mengikuti Jokowi yang pada masa kampanye, berjanji tidak akan impor. Faktanya, impor marak sehingga menyengsarakan petani dan nelayan pribumi.

Jokowi berjanji untuk tidak berutang. Faktanya, Jokowi menjadi Bapak Pembangunan Utang Nasional. Sebab, Jokowi mewariskan utang (APBN dan non-APBN) sebesar Rp 20 ribu triliun.

Jokowi berjanji akan mendukung pemberantasan korupsi. Faktanya, KPK dihancurkan dengan mengamandemen undang-undangnya. Bahkan, Jokowi melindungi anak-anak, mantu, dan kroninya yang terlibat korupsi dari proses penegakkan hukum.

Presiden berintegritas, harus dapat komitmen terhadap visi perjuangan. Visi perjuangan itu sendiri sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD ‘45. Konsekuensi logisnya, Presiden harus kembali ke UUD ‘45 asli.

Presiden berintegritas juga harus bersikap objektif. Konsekuensi logisnya, yaitu presiden tidak boleh mengangkat para Menteri yang pernah berhubungan dengan rezim Jokowi selama ini. Konsekuensi lanjutannya, presiden baru nanti harus melantik para menterinya, figur yang benar berintegritas dan profesional.

Presiden berintegritas juga harus berani ambil keputusan dan siap menerima risiko. Konsekuensi logisnya, jika presiden baru, merasa dirinya tidak jujur, inkonsisten, abai terhadap visi – misi negara, dan terpilih sebagai presiden secara curang, maka secara jantan, mengundurkan diri.

Presiden berintegritas, jangan lupa untuk disiplin dan bertanggung jawab. Konsekuensi logisnya, presiden harus menertibkan tata kelola pemerintahan dan kenegaraan yang menyimpang dari tujuan reformasi, yakni:

(a)Sistem otoriter diganti dengan musyawarah sesuai dengan sila keempat Pancasila. Konsekwensi logisnya, pemilihan presiden/wakil presiden dilakukan dalam sidang umum MPR, bukan Pilpres. Gubernur, bupati, dan walikota dipilih dalam sidang pleno DPRD;

(b)Memberantas KKN. Konsekwensi logisnya, Jokowi, keluarga, dan kroninya harus diproses hukum; dan (c) Penegakkan hukum dan HAM bagi seluruh lapisan masyarakat. Konsekwensi logisnya, jangan meniru Jokowi yang pedang hukumnya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Simpulannya, ikrar presiden untuk melaksanakan Peraturan Perundang-undangan selurus-lurusnya dioperasionalkan dalam beberapa kebijakan dan tindakan, yakni:

(a)Presiden menerbitkan Perppu atau melakukan Sidang Umum Istimewa MPR untuk menetapkan berlakunya kembali UUD 45 asli; (b) Penegakkan hukum dan HAM dengan memroses Jokowi, keluarganya, dan kroninya dalam pengadilan yang adil dan terbuka;

(c)Menerbitkan beberapa Perppu yang membatalkan undang-undang Minerba, KPK, Cipta Kerja, Kesehatan, IKN, serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan konstitusi, UUD '45. Semoga! (*)