Kewajiban Konstitusional Presiden Indonesia (6)
Penjajahan politik ala Jokowi lainnya, KPU diintervensi sehingga harus melaksanakan putusan MK yang dipimpin adik iparnya untuk mengubah persyaratan umur capres/cawapres sehingga Gibran bisa menjadi wapres.
Oleh: Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (2005-2013)
“BAHWA sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Inilah alinea pertama Mukadimah UUD 45.
Kalimat ini mewajibkan presiden, harus menghilangkan penjajahan apa pun, baik dalam negeri maupun di negara lain. Konsekuensi lagisnya, presiden mendatang tidak boleh mengulangi kejahatan Joko Widodo yang menjajah rakyat, baik dalam sektor pendidikan, politik, maupun ekonomi.
Penjajahan Pendidikan
Penjajahan yang sangat berbahaya adalah di sektor pendidikan. Sebab, fungsi pendidikan yaitu membentuk, membina, menggembleng, dan membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan perilaku sehingga menjadi warga negara yang beriman dan bertakwa.
Sebab, pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, menyebutkan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
“Founding fathers” menetapkan, peserta didik yang beriman adalah warga negara Indonesia yang bertauhid. Mereka memercayai eksistensi Allah SWT karena ia merupakan sila pertama Pancasila. Maknanya, presiden mendatang jangan mengulangi kejahatan Jokowi. Sebab, Ketua BPIP-nya mengatakan, musuh utama Pancasila adalah agama.
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah Ketua BPIP ini anak keturunan PKI atau beliau terpapar komunisme? Sebab, BPIP melarang siswi Islam mengenakan jilbab ketika upacara pengibaran bendera, 17 Agustus 2024 di Kaltim.
Konsekuensi logisnya, salah satu kewajiban konstitusional presiden adalah membubarkan BPIP. Sebab, BPIP adalah reinkarnasi Nasakom-nya Soekarno. BPIP juga merupakan reinkarnasi Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7)-nya Soeharto.
Peserta didik yang bertakwa adalah tujuan kedua Pendidikan Nasional yang oleh “founding fathers”, menetapkan payung hukumnya dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat ini secara tegas mewajibkan presiden untuk menerbitkan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam.
Presiden, pada waktu bersamaan, wajib menyediakan sarana dan prasarana peribadatan, baik bagi penganut agama langit (Islam, Yahudi, dan Nasrani), maupun agama dunia (Hindu dan Budha). Operasionalisasinya, Presiden wajib membangun masjid, gereja, sinagok, kuil, dan vihara secara proporsional, sesuai jumlah penganut masing-masing agama.
Presiden juga wajib memberlakukan kembali Perda-Perda Syariah yang pernah ada. Pada waktu yang sama, hukum harus ditegakkan terhadap para pihak yang membubarkan Perda-Perda itu. Sebab, ada kemungkinan, pembubaran itu dilakukan oleh golongan komunis gaya baru yang bercokol di seluruh Lembaga Negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Penjajahan Politik
Peserta didik yang dijajah pendidikannya, akan menjadi warga negara yang terjajah sikap jiwa, pola pikir, tindakan, dan perilakunya ketika menjadi seorang pejabat publik. Orientasi kepemimpinannya, feudal, sekuler, hedonis, pragmatis, dan otoriter.
Ulama, aktivis, tokoh, dan mahasiswa yang ditangkap, dipenjara, serta distigmatisasi sebagai teroris adalah sekelumit contoh dari penjajahan politik. Bahkan, ustadz dilarang bicara politik di masjid atau mushalla. Ini salah satu ciri komunisme. Sebab, menurut PKI, agama adalah candu sehingga harus diberantas.
Pemberontakan PKI Madiun (1948) dan G30S/PKI (1965), bukti nyata, komunisme, musuh abadi umat Islam. PKI pada peristiwa Madiun itu, membunuh 108 ulama dan umat Islam di desa Soco, Kecamatan Bendo, 28 orang di Rejosari, Kawedanan, dan 168 orang di Takeran, Magetan.
PKI secara organisatoris sudah dibubarkan oleh negara. Namun, ideologi komunisme, tetap subur dalam masyarakat, termasuk Jokowi. Sebab, Jokowi pernah bilang, “jangan campurkan agama dalam politik.”
Pernyataan ini mengandung dua makna. Pertama, Jokowi memang anak biologis kader PKI. Kedua, Jokowi memang tidak pernah kuliah. Sebab, jika kuliah, ia akan mendapat mata kuliah Pancasila di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini menunjukkan, Indonesia adalah negara tauhid sementara Pancasila adalah produk politik. Maknanya, agama dan politik merupakan satu tarikan nafas dalam proses Pembangunan Nasional.
Jokowi, dengan pemahaman komunisme itu, melakukan penjajahan politik. Beliau mulai dengan membubarkan FPI dan HTI. Langkah berikutnya, pembunuhan enam pengawal HRS setelah gagal mengeksekusi HRS.
Beliau juga menjajah hak politik mahasiswa sehingga mengorbankan 9 pengunjuk rasa di depan kantor Bawaslu, 22 Mei 2019. Bahkan, 894 petugas KPPS dalam Pilpres 2019, mati tanpa autopsi atau penyelidikan terhadap musibah tersebut.
Penjajahan politik ala Jokowi lainnya, KPU diintervensi sehingga harus melaksanakan putusan MK yang dipimpin adik iparnya untuk mengubah persyaratan umur capres/cawapres sehingga Gibran bisa menjadi wapres.
Jokowi pun aktif cawe-cawe dalam Pilkada 2024. Sebab, Airlangga Hartarto, orang yang berjasa memenangkan Gibran menjad wakil presiden, juga didepak keluar dari posisi Ketua Umum Golkar. Bahkan, beliau, melalui agen-agennya, baik di parpol maupun Aparat Penegak Hukum, memaksa partai-partai pendukung Anies menarik dukungan dalam pencalonan Gubernur DKI.
Penjajahan Ekonomi
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Itulah bunyi pasal 33 UUD 1945. Maknanya, salah satu kewajiban presiden adalah membebaskan Indonesia dari penjajahan ekonomi.
Sebab, kejahatan besar yang dilakukan Jokowi adalah menyediakan karpet merah ke konglomerat, baik asing maupun aseng, menguasai perekonomian nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan disahkannya UU Covid 19, Minerba, KPK, Cipta Kerja, IKN, dan UU Kesehatan yang merupakan pesanan konglomerat. Padahal, UUD 1945 menetapkan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dilola BUMN/BUMD.
Jahatnya Jokowi, pada tahun ini saja (18/3/2024)), menetapkan 14 PSN baru. Salah satunya, PIK2, milik swasta nonpribumi.
Penduduk pribumi betul-betul terjajah karena harus meninggalkan kampung halamannya, diusir oleh pengusaha aseng, baik yang PIK1, PIK2, Rempang, dan kawasan lain di seluruh Indonesia.
Maknanya, Presiden masa datang jangan seperti Jokowi yang dihujat sepanjang masa oleh rakyat Indonesia. Insyaa Allah! (*)