Kewajiban Konstitusional Presiden Indonesia (7)
Peristiwa heroik yang terjadi 10 November 1945 itulah kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, mengorbankan 20.000 rakyat Indonesia. Namun, 1.600 pasukan Inggris meninggal dan jenderalnya, Mallaby, juga ikut mati.
Oleh: Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (2005-2013)
“DAN perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Ini alinea kedua Pembukaan UUD 1945.
Presiden, berdasarkan mukadimah UUD ‘45 di atas, harus sadar, beliau sekarang menjadi orang nomor satu Indonesia karena negara ini merdeka. Namun, kemerdekaan itu merupakan hasil perjuangan para pahlawan, baik yang syahid maupun tidak. Mereka berjuang melawan Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, maupun dalam perang kemerdekaan pasca proklamasi.
Konsekuensi logisnya, presiden harus menghormati jasa para pahlawan, baik mereka yang berjuang sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Konsekuensi lanjutannya, presiden masa datang, jangan meniru kejahatan Joko Widodo yang memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta. Sebab, Jakarta adalah kota perjuangan, pusat pendidikan dan budaya serta mercusuar perdagangan internasional. Olehnya, presiden yang akan datang harus mengembalikan Ibu Kota Negara ke Jakarta.
Pembangunan yang sudah terlanjur dibangun di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dijadikan sebagai pusat perekonomian provinsi tersebut. Maknanya, presiden-presiden yang akan datang perlu membangun pusat perekonomian di 36 provinsi lainnya sebagai salah satu cara pemerataan pembangunan nasional.
Presiden dan Perlawanan terhadap Penjajahan
Mayoritas penduduk Indonesia (95%), jauh sebelum kedatangan penjajah barat, beragama Islam. Sebab, Islam pertama kali masuk Indonesia melalui Aceh pada awal abad ke-7 M sewaktu Usman bin Affan menjadi khalifah. Itulah sebabnya, Aceh disebut Serambi Makah.
Para pedagang Arab tersebut menyusur pesisir barat pulau Sumatera sampai ke Banten lalu langsung ke Maluku. Sebab mereka mau membeli rempah-rempah yang ada di Maluku untuk kemudian diperdagangkan di Malaysia, India, dan Timur Tengah.
Hasil perkawinan di antara pedagang Arab dengan perempuan pribumi menghasilkan kerajaan-kerajaan Islam di seluruh Indonesia, mulai dari Aceh sampai Merauke. Itulah sebabnya ada orang Arab di Timor Leste. Sebab, Indonesia Timur sampai ke Mindanao (Philipina) adalah wilayah kerajaan Islam Ternate dan Tidore.
Raja-raja Islam tersebut begitu tahu, penjajah Barat, selain merampok hasil bumi Indonesia, juga memurtadkan penduduk pribumi, melakukan perlawanan. Terjadilah peperangan di antara umat Islam dengan penjajah Barat.
Sejarah mencatat, ada Teuku Umar, Teuku Cik Tiro, Panglima Poelem, dan Cut Nyak Dien di Aceh. Ada Imam Bonjol di Sumatera Barat dan Sultan Mahmud Badaruddin di Sumsel. Ada Sultan Ageng Tirtayasa, Syarif Hidayatullah, dan Diponegoro di Jawa. Ada pula Antasari di Kalimantan dan Hasanuddin di Makassar. Bahkan, ada Sultan Babullah di Ternate dan Pattimura di Maluku.
Para pejuang itu ada yang meninggal di tiang gantungan seperti Pattimura (Ahmad Lusy), kiyai dari pulau Seram. Ada yang diasingkan penjajah dari kampung halaman sampai meninggal dunia di tempat buangan. Mereka adalah Imam Bonjol di Tondano (Sulut), Diponegoro (Makassar), dan Cut Nyak Dien (Sumedang).
Seluruh pahlawan tersebut, kalah dalam perjuangan melawan penjajah Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang karena keterbatasan persenjataan. Namun, tidak seorang pun yang mengalah terhadap penjajah. Justru, kekalahan mereka itulah yang melahirkan Indonesia saat ini, negara merdeka dan berdaulat.
Konsekuensi logisnya, presiden-presiden mendatang jangan mengulangi kejahatan Jokowi yang mengalah terhadap oligarki sehingga mengkriminalisasi ulama, tokoh umat, dan ormas Islam.
Presiden dan Pengorbanan Umat Islam
Bendera Merah Putih, tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364H, pertama kali dikibarkan di rumah Faraj bin Said bin Awad Martak, pengusaha keturunan Arab – Yaman.
Hatta, tanggal 17 Agustus 1945 petang, menghubungi beberapa tokoh Islam untuk bermusyawarah mengenai tuntutan masyarakat Kristen Indonesia Timur. Ada yang mengaku orangnya Laksamana Maeda, menelpon Hatta, menyampaikan tuntutan golongan Nasrani Indonesia Timur yang minta 7 kata dalam Piagam Jakarta, dicoret. Jika tidak, mereka akan keluar dari Indonesia.
Ki Bagus Hadikoesoemo, Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu, atas jaminan Soekarno melalui Kasman Singadimedjo, bersedia mencoret 7 kata tersebut. Syaratnya, diganti dengan perkataan “Yang Maha Esa”. Konsekuensi logisnya, sila pertama Pancasila itu berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.
KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikoesoemo, Teuku Hasan, dan Kasman Singadimedjo yang bertemu Bung Hatta, 18 Agustus 1945 pagi, bertindak secara luar biasa. Mereka mengenang pengorbanan umat Islam selama 3,5 abad melawan penjajah barat demi tegaknya ajaran tauhid di Indonesia.
Aplikasinya, mereka bertekad untuk selamatkan Indonesia yang baru berumur sehari itu dengan mencoret 7 kata dalam Piagam Jakarta. Tapi, ada tambahan perkataan “Yang Maha Esa”. Apalagi, Bung Hatta, ketika menjawab pertanyaan, mengatakan, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “tauhid” sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an, surah Al Ikhlas. Inilah pengorbanan pertama umat Islam bagi eksistensi Indonesia.
Perang Kemerdekaan
Belanda yang diwakili Netherlands Indies Civil Administration (NICA), memboncengi pasukan Sekutu yang ditugaskan PBB untuk melucuti senjata tentara Jepang. Niat jahat NICA tersebut dilawan rakyat Indonesia.
Mohammad Natsir, anggota parlemen (KNIP) menghubungi Ruslan Abdul Ghani, Sekretaris Departemen Penerangan agar meminta KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad dalam menghadapi pasukan Sekutu yang diboncengi NICA.
KH Hasyim Asy'ari sebagai Hadratussyeh NU mengundang pimpinan NU se-Jawa dan Madura, membahas persoalan itu. Mereka, pada 21-22 Oktober 1945, di Bubutan, Surabaya melahirkan Resolusi Jihad yang mewajibkan setiap umat Islam berperang memertahankan kemerdekaan Indonesia.
Hari itu, 10 November 1945, berdasarkan resolusi jihad KH Hasyim Asy’ari tersebut, pertempuran berdarah di antara tentara Sekutu dengan umat Islam. Arek-arek Surabaya dengan pidato berapi-api Bung Tomo di radio, berhasil menghalau tentara Sekutu. Apalagi, pidato Bung Tomo diselingi takbir “Allahu Akbar” dan “Merdeka”. Hasilnya, bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan Merah Putih.
Peristiwa heroik yang terjadi 10 November 1945 itulah kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, mengorbankan 20.000 rakyat Indonesia. Namun, 1.600 pasukan Inggris meninggal dan jenderalnya, Mallaby, juga ikut mati.
Presiden-presiden Indonesia mendatang, berdasarkan peristiwa 10 November 1945 dan perlawanan rakyat Indonesia di tempat lain, harus tahu diri sehingga wajib menghormati rakyat, khususnya umat Islam.
Dengan kata lain, presiden yang akan datang jangan mengalami nasib seperti Soekarno, Soeharto, dan Jokowi yang diumpat rakyat setiap waktu. In syaa Allah! (*)