Lagi, Argumen Pihak KPU Lucu (alias Konyol) di Sidang KIP
Kesimpulannya, Pemilu 2024 memang sudah dilalui dan hasilnyapun 02 sudah diumumkan, bahkan MK menolak gugatan dari Paslon 01 dan 03. Namun cacat politik apalagi jejak digital semua tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Oleh: KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
AWAL Juni lalu, tepatnya Senin (3/6/2024), bertempat di Gedung KIP (Komisi Informasi Pusat) Jl. Abdul Muis, Jakarta Pusat, berlangsung Sidang Sengketa Informasi yang diajukan oleh Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN) terhadap KPU.
Sidang dengan Nomor Registrasi 005/IV/KIP-PSIP/2024 dan 006/IV/KIP-PSIP/2024 ini seharusnya memfokuskan pada pemeriksaan uji konsekuensi terkait pengecualian informasi yang diajukan oleh termohon (KPU) dan pemeriksaan ahli. Sidang dimulai dengan pemaparan oleh kedua belah pihak.
Pemohon, YAKIN, diwakili oleh Mira Nurkuntadi sebagai Pengawas dan Ted Hilbert sebagai Ketua Pengurus, dan termohon, KPU, diwakili oleh beberapa perwakilan dan ahli yang dihadirkan. Pada sidang ini, Prof. Dr Ir Marsudi Wahyu Kisworo IPU dihadirkan sebagai ahli dari pihak termohon.
Prof. Marsudi mencoba menyampaikan keterangan terkait sistem pemilu dan perlindungan hak cipta dari software yang digunakan oleh KPU. Dia menegaskan bahwa source code dari software yang digunakan oleh KPU dilindungi oleh undang-undang hak cipta selama 50 tahun.
Meski ketentuan ini tercantum dalam penjaminan hak cipta (selama 50 tahun), namun terasa sangat lucu bahkan konyol bilamana Software SIREKAP yang dibiayai oleh Uang Rakyat dengan Anggaran Negara tersebut dimasukkan dalam kategori software yang dilindungi dengan Hak Cipta, apalagi jika ternyata software yang digunakan terdapat release yang berbeda-beda ketika digunakan dan tidak dijelaskan release mana yang didaftarkan hak cipta-nya tersebut.
Ahli KPU ini tampak sangat berusaha meyakinkan majelis bahwa source code tidak boleh diakses atau dimodifikasi oleh pihak luar tanpa izin pemilik hak cipta, yaitu KPU atau pihak pengembang.
Namun, argumen ini dianggap sebagai upaya untuk menutupi transparansi sistem pemilu yang seharusnya terbuka untuk publik. Apalagi faktanya software SIREKAP tersebut mengalami banyak abnomali bahkan kebobrokan sistem ketika digunakan, termasuk tidak bisa mengantisipasi adanya Penggelembungan suara yang sebenarnya tinggal diberi script sederhana di dalamnya.
Lucunya lagi, dia juga mengklaim bahwa membuka source code ke publik bisa menimbulkan risiko keamanan dan potensi penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun, tidak ada bukti konkret yang mendukung klaim tersebut, dan ini menjadi titik lemah dalam argumen KPU. Apalagi dalam praktiknya KPU terbukti malah membocorkan sendiri data-datanya untuk ditempatkan di Cloud server Aliyun Computing Co.Ltd milik Alibaba di Singapura.
Soal penempatan di Alibaba ini sempat ramai beberapa waktu lalu karena KPU sempat mengelak (baca: berbohong) bahkan berani menggelar KonPres yang tidak tahu malu untuk melakukan kebohongan publik tersebut, namun akhirnya kebohongan tersebut terbongkar juga dalam sidang di KIP sebelumnya meski seharusnya ada konsekuensi hukum atas kelakuan yang sangat memalukan tersebut.
Selain ahli dari KPU, kemarin pemohon menghadirkan Dr. Ir Leoni Lydia sebagai ahli IT untuk memberikan pandangan yang lebih jujur dan transparan. Dr. Leoni menyoroti beberapa aspek yang menurutnya bermasalah dalam sistem yang digunakan oleh KPU.
Ia menegaskan bahwa seharusnya source code tidak dikecualikan karena penting bagi transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilu. Keterangan Ahli yang dihadirkan oleh YAKIN ini tampak sangat bisa menangkis argumen-argumen yang disampaikan Ahli dari KPU sebelumnya.
Menurut Ahli yang juga memberikan keterangan di sidang MK yang lalu ini dengan membuka source code, masyarakat dapat memverifikasi integritas sistem dan memastikan tidak ada manipulasi atau kecurangan yang terjadi. Dengan demikian akan bisa diketahui dan terbongkar di mana letak borok SIREKAP yang waktu digunakan di Pemilu 2024 kemarin sangat bermasalah.
Dr. Leoni juga menyoroti bahwa banyak perubahan yang terjadi pada software setelah pemilu mengindikasikan adanya masalah dalam validasi data. Ia menegaskan bahwa audit independen diperlukan untuk memastikan bahwa sistem yang digunakan benar-benar aman dan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Dari sidang kemarin juga terungkap bahwa "Audit" yang katanya dilakukan oleh BSSN dan Kominfo tidak bisa dijelaskan secara detail oleh KPU Kapan dan untuk Versi software yang mana. Lucu, sampai-sampai Ahli menyebutnya sebagai Alat Kecurangan sampai Kejahatan Pemilu.
Dalam sesi tanya jawab, Prof. Marsudi mendapatkan pertanyaan tajam dari pihak pemohon. Salah satu pertanyaan kritis adalah mengenai perlindungan hak cipta dan dampaknya atas transparansi. Pihak pemohon menanyakan apakah perlindungan hak cipta selama 50 tahun tidak menghalangi hak publik untuk mengetahui detail teknis dari sistem yang digunakan untuk pemilu.
Artinya baru setelah tahun 2074 kebobrokan Software SIREKAP boleh diperiksa, Konyol. Profesor tersebut tampak terpojok dengan pertanyaan ini dan hanya bisa mengulangi argumen tentang perlindungan inovasi dan karya intelektual.
Namun, jawaban ini dianggap tidak memadai karena tidak menjawab kekhawatiran utama tentang transparansi dan akuntabilitas. Apalagi pengenaan dengan Hak Cipta pada software yang dibiayai dengan Anggaran Negara dan sampai sekarang belum disampaikan Rincian Beaya Miliarannya tersebut terasa sangat berlebihan.
Dr. Leoni juga mendapat pertanyaan dari pihak termohon mengenai potensi bahaya dari membuka source code ke publik. Pihak termohon mencoba menakut-nakuti dengan skenario di mana source code yang terbuka dapat digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk meretas sistem pemilu.
Sikap pihak KPU yang memainkan skenario intimidasi semacam ini sangat terasa berlebihan, dan bahkan lebih tepat disebut kampungan pada era keterbukaan informasi saat ini. Namun dia dengan tegas menjawab bahwa source code yang terbuka justru meningkatkan transparansi dan keamanan karena lebih banyak pihak yang bisa mengevaluasi dan menemukan potensi kelemahan.
Ia mencontohkan banyak software open-source yang aman dan digunakan secara luas, termasuk oleh pemerintah dan perusahaan besar. Inilah sebenarnya yang diinginkan dalam sidang-sidang di KIP bahwa UU Nomor 14/2008 menjadi kewajiban untuk diikuti semua pihak dan tidak untuk dicari-cari alasan-alasannya.
Suasana sidang semakin memanas ketika Prof. Marsudi ditanya mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa tidak ada kecurangan yang terbukti dalam penggunaan sistem pemilu elektronik pada Pilpres 2019. Dr. Leoni membantah keras dengan mengatakan bahwa banyak anomali data yang terdeteksi, namun tidak cukup waktu bagi MK untuk menginvestigasi lebih lanjut.
Apalagi jelas dalam sidang-sidang di MK lalu Prof tersebut menyebut SIREKAP adalah "Pepesan Kosong" yang tidak digunakan dan tidak usah dibahas. Profesor tampak defensif dan hanya bisa mengulangi bahwa MK adalah otoritas tertinggi dalam sengketa pemilu dan keputusan mereka bersifat final dan mengikat.
Namun, argumen ini gagal meredakan keraguan tentang integritas sistem pemilu yang digunakan. Bahkan ketika ditanya lebih lanjut oleh pihak pemohon tentang apakah ada perubahan pada software setelah audit dilakukan, Prof. Marsudi terpaksa mengakui bahwa perubahan bisa saja terjadi, namun tidak memberikan detail yang memadai tentang bagaimana perubahan tersebut diawasi dan dikendalikan.
Sidang ini mencerminkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemilu, serta perlunya perlindungan terhadap hak cipta dan keamanan data. YAKIN berhasil menunjukkan kelemahan dalam argumen KPU dan menegaskan pentingnya transparansi dalam sistem pemilu.
Sidang akan dilanjutkan pada sesi berikutnya dengan mendengarkan saksi dan ahli tambahan dari kedua belah pihak untuk memperkuat argumen masing-masing. Hasil akhir sidang ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan solusi terbaik dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap proses pemilu di Indonesia.
Kesimpulannya, Pemilu 2024 memang sudah dilalui dan hasilnyapun 02 sudah diumumkan, bahkan MK menolak gugatan dari Paslon 01 dan 03. Namun cacat politik apalagi jejak digital semua tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Selain cap "Anak haram konstitusi" tetap akan dikenang sepanjang masa apalagi setelah Putusan MK 90 yang sangat kontroversial lalu, kini muncul juga Putusan MA sejenis yang akan mengulangi cacat yang sama.
Sedangkan soal Jejak Digital juga akan menjadi Diskusi yang menarik untuk bisa dibahas pasca Film "Dirty Election" dibuat dan digelar di berbagai kota untuk menegakkan Kejujuran dan Kebebasan Informasi Publik sebagaimana Persidangan di KIP tersebut. Semoga .. (*)