Larang Pakai Jilbab, RS Medistra Langgar Konstitusi

Agar tidak berulang terjadi kasus serupa, maka pihak Kanwil Dinas Kesehatan Pemprov Jakarta dan Kementerian Kesehatan agar segera melakukan investigasi dan tindakan atas dugaan pelanggaran hukum dan HAM tersebut.

Oleh: Juju Purwantoro, Presidium Alumni Kampus Seluruh Indonesia (AKSI)

SEKIRA akhir Agustus 2024 kembali berulang kasus pelarangan penggunaan jilbab. Kali ini terjadi di RS Medistra Jakarta, saat wawancara terhadap 2 (dua) orang dokter calon karyawannya.

Adalah sosok dokter Diani Kartini yang tengah mencuri perhatian publik. Itu lantaran dirinya memilih mundur dari Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan karena diduga tak terima dengan larangan pengunaan hijab (jilbab).

Perintah dari Allah SWT agar kaum wanita mengenakan hijab (jilbab) tercantum dalam Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 59. “Wahai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.”

Legalitas pemakaian jilbab di Indonesia telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan per undang- undangan. Dengan demikian, siapapun, termasuk semua pihak, korporasi, apalagi negara tidak berhak dan tidak kompeten melakukan pelarangan jilbab.

Hal tersebut sudah diatur dan dijamin tentang penggunaan jilbab sesuai Tap. MPR RI Nomor 2 tahun 1978 tentang P4. Di antaranya disebutkan tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 dengan jelas telah dinyatakan "bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing".

Mengacu pada teks negara tersebut, maka jelas ditegaskan bahwa siapa pun yang melarang atau pun menghalang-halangi seorang Muslimah untuk mengenakan jilbab, maka berdasarkan hukum dia telah melanggar tertib hukum yang berlaku di Indonesia. Hal itu juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dalam hukum internasional laman resmi International Labour Organization (ILO) dikatakan bahwa kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan, yang selanjutnya dapat disebut Equal Employment Opportunity (EEO) adalah segala kebijakan termasuk pelaksanaannya yang bertujuan untuk penghapusan diskriminasi di dunia kerja.

Ini artinya, kebijakan soal "larangan berjilbab bagi pekerja wanita adalah juga termasuk kategori diskriminasi pekerjaan". Lebih lanjut dikatakan dalam laman tersebut bahwa Konvensi ILO Nomor 111 yang telah diratifikasi oleh UU Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nommor 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (“UU 21/1999”) ini mencakup semua bentuk diskriminasi.

Jika mengacu pada pasal 5 dan 6 UU 13 tahun 20003 tentang Ketenagakerjaan, pihak manajemen perusahaan dilarang diskriminasi terhadap para pekerjanya.

Penggunaan jilbab, telah dijamin dalam hukum Indonesia, maka lingkup sosial dan pekerjaan di Indonesia pun berhak menjalani amanat dari teks-teks hukum tersebut.

Misalnya, tata tertib dan peraturan di sekolah juga harus menjamin siswi/mahasiswi Islam dalam berbusana Muslimah, begitu pula pada perusahaan bagi karyawati yang hendak mengenakan pakaian Muslimah.

Sesungguhnya penggunaan jilbab, tidak sama sekali menghambat kinerja seorang wanita Muslimah dalam melakukan aktivitasnya.

Adapun pelaksanaan pemakaian busana Muslimah ini merupakan tanggung jawab individu maupun masyarakat. Menurut keyakinan Islam, kelak kesemua umatnya akan dimintai pertanggung jawaban Allah SWT di akhirat.

Kasus pelarangan penggunaan jilbab sesuai hukum dan moral, tapi tidak sesuai dengan azas dan filosofi Pancasila. Semua lapisan masyarakat harus memahami keyakinan perempuan muslimah yang menggunakan jilbab.

Saat ini sudah tidak pantas dan layak lagi melakukan tindakan yang berpotensi melanggar hukum dan menghalangi hak asasi seseorang untuk melaksanakan keyakinan agamanya tersebut.

Jika masih terjadi seperti kasus di RS Medistra tersebut, jelas ada diskriminasi, pelanggaran hukum dan HAM sehingga harus ditindak tegas.

Agar tidak berulang terjadi kasus serupa, maka pihak Kanwil Dinas Kesehatan Pemprov Jakarta dan Kementerian Kesehatan agar segera melakukan investigasi dan tindakan atas dugaan pelanggaran hukum dan HAM tersebut.

Sanksi hukum dan administratif harus dijatuhkan kepada pihak manajemen RS Medistra Jakarta, karena telah membuat kegaduhan di masyarakat. (*)