Mahkamah Konstitusi Harus Batalkan Gibran

Sebelum kerusakan budaya, hukum dan politik berlanjut akibat petaka kotak pandora yang terbuka, maka MK jarus berani untuk segera membatalkan putusan lolosnya Gibran. Ini bukan soal kalah menang dalam Pilpres, tetapi benar atau tidak dari proses yang dijalankan.

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang untuk memasuki area Putusan MK. Itu berarti segala konsekuensi hukum dari Putusan MKMK sepanjang terkait dengan Putusan MK harus kembali kepada MK sendiri. Putusan MKMK bahwa Ketua MK Anwar Usman melakukan "pelanggaran berat" mutlak dan tidak akan bisa berpengaruh kepada Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang menyebabkan Gibran Rakabuming Raka lolos sebagai Cawapres.

Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman jelas mengatur bahwa karena Hakim memiliki "kepentingan langsung atau tidak langsung" dengan perkara, maka Putusan yang diambilnya adalah tidak sah. Pasal 17 ayat (7) menyatakan "perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim berbeda". Dengan status Anwar Usman tidak sebagai Ketua MK maka syarat ini dapat terpenuhi.

Mutlak MK harus memeriksa kembali perkara karena seluruh Hakim telah melanggar kode etik dan Hakim Ketua dinyatakan melakukan "pelanggaran berat" yang berakibat copotnya jabatan Ketua MK. Akan menjadi tragedi hukum jika suatu kekeliruan besar yang dilakukan oleh para "yang mulia" dibiarkan dengan pura-pura menutup mata.

Hakim MK dengan komposisi yang baru patut untuk melakukan koreksi atas Putusan No 90/PUU-XXI/2023. Ada atau tidak ada pemohon baru. Adanya "concurring opinion" dan "dissenting opinion" seharusnya memenangkan pendapat 6 (enam) Hakim. Artinya, Gibran tidak lolos secara hukum. Meskipun "concurring" tapi karena opininya bersifat prinsip dan berbeda maka itu sama saja dengan "dissenting".

Gibran Rakabuming Raka memang kotak pandora penyebar malapetaka. Dunia sudah memelototi "demokrasi abal-abal" yang terjadi di Indonesia. Panggung sandiwara yang sungguh memuakkan dan memualkan. Rezim kodok borok dan jorok. Ironi ternyata hal ini terjadi di negara Pancasila yang "Berketuhanan Yang Maha Esa".

Prabowo Subianto berjoget bersama Gibran ketika mendapat nomor dua. Tontonan itu memalukan. Capres dan Cawapres sedang berada di dunia fantasi dan istana fatamorgana. Prabowo tidak sadar bahwa berlindung di balik Gibran adalah pilihan buruk untuk memosisikan dirinya menjadi musuh rakyat. Tentu rakyat yang sehat, bukan penjilat apalagi penghianat.

"Like father like son". Kini, urusan keabsahan ijazah Gibran mulai dipertanyakan. Untuk status kesarjanaan dan kesetaraan. Sekolah di luar negeri ternyata bisa pula mengecoh publik. Ketika ingin naik jabatan politik. Sangat benar bahwa jabatan itu sesungguhnya dapat memuliakan atau menghinakan. Gibran memang ambyar.

Gibran secara tidak langsung telah merusak reputasi alumni universitas luar negeri khususnya Singapura dan Australia. Baik pada tataran kualitas, tampilan akademisi maupun gonjang-ganjing ijazah yang merendahkan. Gibran tidak atau belum pantas menjadi puncak pemimpin di tingkat nasional.

Sebelum kerusakan budaya, hukum dan politik berlanjut akibat petaka kotak pandora yang terbuka, maka MK jarus berani untuk segera membatalkan putusan lolosnya Gibran. Ini bukan soal kalah menang dalam Pilpres, tetapi benar atau tidak dari proses yang dijalankan.

Bangsa Indonesia tidak boleh mentoleransi perilaku politik "menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan". (*)