Majelis MK Harus Bebas dari Intervensi dan Nepotisme Presiden

Nepotisme merupakan Perbuatan Melawan Hukum dan disadari betul oleh seluruh Hakim Konstitusi sebagai suatu perbuatan yang harus dihindari oleh setiap Penyelenggara Negara, sesuai TAP MPR Nomor XI/MPR/1998.

Oleh: Juju Purwantoro, Advokat dan Koordinator Bidang Advokasi Hukum Gerakan Penegak Kedaulatan Rakyat (GPKR)

PERSIDANGAN perdana di Mahkamah Konstitusi (MK), diajukan oleh para pemohon paslon 01 dan 03 hari inì, Rabu, 27 Maret 2024. Agendanya adalah pemeriksaan pendahuluan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024,

Sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat (final and binding) antara lain; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Bagi para pemohon, perlu disadari adanya risiko dan tantangannya, karena MK secara normatif terbiasa dalam menguji sengketa kecurangan pilkada atau pilpres adalah sesuai hasil akhir suara, bukan prosedur atau prosesnya.

Mahkamah akan selalu menguji berapa pergeseran atau perbedaan suara secara kuantitatif, akibat terjadinya pelanggaran atau kecurangan secara TSM (terstruktur, sistematis dan masif) itu. Untuk itu pencari keadilan sangat berharap hakim dapat mencoba mencari terobosan hukum (recht finding) ke tahap pemeriksaan yang bersifat kualitatif.

Sehingga dengan demikian proses penyelenggaraan pilpres yang panjang, dapat betul-betul dinilai dan diperiksa sebagai suatu proses peristiwa hukum yang sangat mungkin dipenuhi kecurangan-kecurangan atau pelanggaran hukum.

Tidak seperti selama ini, MK hanya fokus memeriksa sekedar angka-angka hasil pemilu. Bahwa MK juga harus menekankan dan memastikan bahwa proses pemilu berjalan Luber dan Jurdil (fairness) sesuai dengan peran dan fungsinya untuk menjaga konstitusi (the guirdance of constitution).

Maka, sudah seharusnya MK perlu mengambil pendekatan aktivisme yudisial (judicial activism) yang mempertimbangkan, memeriksa segala bentuk kecurangan (abuse of power). Termasuk cawe-cawe (intervensi) presiden dan jajaran aparaturnya dalam proses pilpres 2024 dari hulu sampai hilir, serta memastikan tidak adanya intervensi dalam proses persidangan.

'Judicial activism' harus dipikirkan dan diterapkan oleh hakim, dengan menggali dan menemukan hukumnya (recht finding). Harus kita hindari secara maksimal, masyarakat ini diliputi oleh kehidupan yang dipenuhi kecurangan, kejahatan, dan Rasa ketidakadilan oleh aparat birokrasinya.

Adalah fakta, maraknya kecurangan paling dahsyat pada pemilu-pilpres 2024, sesuai pernyataan para tokoh bangsa dan politsi memang harus dibuktikan dalam sidang MK. Masa pembuktian dalam persidangan.

Dengan waktu persidangan yang hanya 14 hari, nyaris mustahil untuk membuktikan kecurangan yang meliputi sekira 820.000 TPS di seluruh Indonesia.

Hakim konstitusi bisa saja melakukan pemeriksaan perolehan suara di TPS secara random, hal ini mengingat kecurangan pilpres yang sangat TSM. Majelis hakim bisa memeriksa kasusnya secara penafsiran yang berlawanan (argumentum a contrario), demi suatu putusan, pengembangan dan pertumbuhan hukum.

Sebagai suatu terobosan penemuan hukum (rechtsvinding), hakim sepatutnya memutuskan suatu perkara berdasarkan peristiwa konkrit suatu pelanggaran-pelanggaran (kecurangan) pilpres, sesuai nuraninya, bebas intervensi politik, demi hak konstitusional rakyat pemilih.

Sesuai dalam pasal 24 UUD 1945, MK merupakan salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna "menegakkan Hukum" dan "Keadilan".

Nepotisme merupakan Perbuatan Melawan Hukum dan disadari betul oleh seluruh Hakim Konstitusi sebagai suatu perbuatan yang harus dihindari oleh setiap Penyelenggara Negara, sesuai TAP MPR Nomor XI/MPR/1998.

Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, dilarang dan diancam dengan pidana 12 tahun penjara.

Majelis MK sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) harus bebas dari skandal 'Conflict of Interest', walaupun dari 'cawe-cawe nepotisme' seorang presiden Jokow sekalipun. Ini jangan berulang dan terciderai lagi, seperti Putusannya sendiri (MK Nomor 90/ PUU-XXI/ 2023), tanggal 16 Oktober 2023, karena meloloskan Gibran sebagai cawapres. (*)