Menuju Kematian Kekuasaan Jokowi
Selamat menunggu hari pahit, Pak Jokowi. Rakyat menyadari posisi sulit yang sedang dihadapi. Tetapi memang salah bapak sendiri yang mengabaikan etika, moral, maupun aturan konstitusi. Menganggap rakyat bisa dimobilisasi sesuai kepentingan diri dan kroni.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
JOKO Widodo, Prabowo Subianto, dan Gibran Rakabuming Raka mendekati Pilpres tanggal 14 Februari 2024 semakin tidak jelas arah dan hancur-hancuran. Ketiganya ingin menjadi "triumvirat" penguasa untuk memperpanjang kekuasaan yang sebenarnya telah hancur. Ketiganya merupakan residu rezim kepalsuan.
Fantasi dari kemakmuran dan kesejahteraan dunia sembako. Setelah dibagi sembako konon rakyat Indonesia akan menjadi makmur dan sejahtera. Penyimpangan Bansos untuk suap dan sulap.
Jokowi mendekati habis masa jaya dan kekuasaannya. Komentar nyinyir kalau Raja sudah banyak gerak artinya permainan akan kalah. Menteri tidak mampu melindungi bahkan terpreteli dan lari-lari menyelamatkan diri. Sebentar lagi Raja akan mati, skak mat. Sekuat apapun dia berlindung pada oligarki, jika rakyat telah melakukan perlawanan, maka Jokowi akan jatuh juga.
Prabowo bukan pemimpin masa depan, tetapi masa layu. Layu dimakan masa. Tidak ada wajah ceria bangsa pada profil kepemimpinan Prabowo. Kondisi fisiknya dan keajegan komando yang berbasis kebijakan sangat lemah. Sulit membangun kesetaraan pada peran kepemimpinannya. Menjilat atau menginjak. Wujud dari budaya politik hierarkis. Berjoget hanyalah bumbu yang justru membuat sayur menjadi terlalu asin atau asam.
Gibran putera mahkota masih di bawah umur. Dipaksakan mengorbit dengan cara dikarbit. Kurang adab dan sopan santun, maklum anak-anak. Anak Haram Konstitusi hasil perselingkuhan di ruang hukum. Bagi Jokowi, Gibran adalah harapan, tetapi bagi Prabowo, ia menjadi beban. Bagi rakyat, Gibran merupakan narasi penghinaan. Sodoran kepemimpinan nasional abal-abal atau “bermain” mainan.
Jokowi Prabowo Gibran (JPG) mau mengeles apapun telah dipandang menjalankan politik dinasti. Dimulai kerja Pamanda dan dorongan Ibunda untuk kemudian dititipkan kepada Menhanda. Politik dinasti atau nepotisme merupakan perbuatan kriminal. Bagi Jokowi dukungan kepada Gibran sudah menjadi "point of no return".
Dengan alasan gimik maka tampilan dalam baliho adalah wajah palsu Prabowo dan Gibran yang menjadi anak-anak lucu. Sesungguhnya itu pembodohan kepada rakyat Indonesia. Lebih baik sekalian tampilkan anak gemuk berpipi chubby dan kepala plontos bernama Boboho. Cukup seru permainan dalam film Shaolin Popey, tetapi bukan Shaolin Gemoy.
Politik dinasti menghancurkan demokrasi. Petisi 100 dan Forum Alumni Perguruan Tinggi Bandung Berijazah Asli (For Asli) ITB, UNPAD, UPI, UNPAS dan lainnya melaporkan Jokowi, Iriana, Gibran dan Usman ke Bareskrim Mabes Polri. Kini disusul dengan berbagai deklarasi penyelamatan atas demokrasi dan kutukan pada cara berpolitik Jokowi.
Berbagai Forum Guru Besar, Dosen dan Alumni mulai berteriak keras. UI, UGM, UII, UNAND, ITS, UNAIR dan berbagai Perguruan Tinggi lain saling bersahutan mendeklarasikan keprihatinan. Meski masih bersifat pengkritisan, akan tetapi dapat dipastikan akan bermuara pada desakan pemakzulan Jokowi segera.
Hari-hari bergerak menuju kematian kekuasaan Jokowi. Jokowi dan keluarga memang sudah sangat keterlaluan. Sanksi harus segera disiapkan. Pilihan menjadi sempit untuknya, yakni segera mundur dengan kesadaran atau dimundurkan paksa oleh kemarahan rakyat. Akademisi pun telah memulai, elemen pemakzulan telah bergerak dan kelak proses hukum akan mengakhiri.
Selamat menunggu hari pahit, Pak Jokowi. Rakyat menyadari posisi sulit yang sedang dihadapi. Tetapi memang salah bapak sendiri yang mengabaikan etika, moral, maupun aturan konstitusi. Menganggap rakyat bisa dimobilisasi sesuai kepentingan diri dan kroni.
Jokowi kini semakin teralienasi dan terkepung oleh kebodohan dan keangkuhannya sendiri. Kesehatan mentalnya ada yang mempertanyakan karena ada keanehan dari sikap dan kebijakan yang diambilnya. Rakyat mulai serius melawan dan berontak. Tidak sudi ditekan, diabaikan, dan dinistakan. Mendesak agar Jokowi turun jabatan sekarang juga.
Menunda sama saja dengan memberi peluang untuk hancurnya bangsa dan negara lebih dahsyat lagi. Saat ini saja sudah berantakan begini. (*)