Pemilu 'Gila': Berharap Leader dalam Demokrasi, Menemukan Dealer dalam Autokrasi

Ketika muncul statemen adanya Pemilu Gila, Masihkah kita berharap kepada paslon terpilih apakah Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo ataukah Prabowo Subianto akan sanggup keluar dari stagnasi cara kerja banditisme dalam penyelenggaraan pemerintahan negara ini?

Oleh: Pierre Suteki, Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang

SEBAGAIMANA diwartakan oleh CNBC Indonesia tertanggal 15 Pebruari 2024, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) buka suara perihal hasil perhitungan cepat atau Quick Count yang memenangkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Paslon) Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.

OSO menyebutkan bahwa maksimum Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya 300 surat suara. Namun, ia menerima laporan bahwa ada TPS yang mendapatkan 700 suara. "Kok ada laporan seolah-olah Paslon yang mendapatkan 700 suara. Ini gila udah. Pemilu Gila ini, ya kan," ungkap OSO di Gedung TPN, Kebun Jeruk, Kamis (15/2/2024).

Pernyataan OSO bersesuaian dengan pendapat Prof. Daniel M. Rasyid terkait dengan bobroknya sistem demokrasi yang salah satu instrumennya ditegakkan melalui sarana pemilu dalam suksesi kepemimpinan, khususnya dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Komentar "panjang" Prof. Daniel M. Rasyid di salah satu grup WA beberapa waktu lalu bertitel: "Jalan Buntu Demokrasi?" Prof. Daniel menyatakan bahwa: "Setelah 20 tahun lebih hidup dengan konstitusi palsu, kehidupan menjauh dari cita-cita reformasi.

Saat mantra demokrasi bergaung keras, hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan hilang, terjadilah deformasi kehidupan bernegara, dan Pemilu hanya merekrut para Dealers, Not Leaders yang membawa kepiluan berkepanjangan.

Partai politik makin memonopoli polity as public goods, sehingga warga negara praktis menjadi jongos politik, dan Presiden petugas partai. Setiap Pilpres adalah false flag operation: baik Anies, Ganjar, Prabowo atau siapapun akan sulit untuk mengambil peran lain selain peran "bandit dan badut politik" yang bekerja bagi kepentingan bandar politik.

Sementara itu, maladministrasi publik, korupsi, abuse of power dan riba dibiarkan terus merajalela, kemerdekaan, kedaulatan, kesatuan, keadilan dan kemakmuran akan tetap menjadi janji-janji tanpa bukti.

Kalau kita cermati komentar Prof. Daniel M Rasyid tersebut di depan, maka dapat kita simpulkan bahwa pada era awal reformasi kita sangat berharap negeri ini diperintah secara demokratis, tapi dalam pelaksanaannya justru berkebalikan, bukan makin demokratis melainkan makin otoritarian di mana para pemimpin negara tidak ubahnya berperan sebagai bandit yang akan menggunakan segala sumberdayanya untuk mempertahankan kekuasaan dengan pengutamaan sanksi daripada pembentukan kesadaran, cara kekerasan, otoriter, anti-kritik, diskriminatif dalam penegakan hukum dan berperilaku culas dan licik dalam dunia politik sekalipun.

"Why People Obey the Law", demikian satu titel buku yang dikarang oleh Tom R. Tyler (1991) yang memuat sebuah ulasan yang sangat bagus tentang kepatuhan rakyat terhadap hukum. Oleh Tyler disebutkan bahwa ada 2 faktor yang memengaruhi kepatuhan rakyat terhadap hukum.

Pertama, disebut Instrumental Perspective yang berarti bahwa kepatuhan hukum disebabkan oleh karena adanya pengutamaan SANKSI sebagai hukuman atas ketidakpatuhan (disobidience). Jadi rakyat patuh hukum karena takut hukuman.

Kedua, disebut Normative Perspective yang berarti bahwa kepatuhan hukum disebabkan oleh karena pengutamaan kesadaran atas aturan (Legitimasi). Rakyat mematuhi hukum karena adanya kesadaran bahwa aturan itu sebenarnya mereka jugalah yang membuatnya melalui para wakilnya di badan-badan kelembagaan negara.

Atas dasar teori kepatuhan hukum Tom R. Tyler ini, ketika suatu pemerintahan yang mengutamakan Pengenaan Sanksi dari pada Kesadaran Rakyat dalam mematuhi hukum maka pemerintahan negara ini telah terjebak dalam sistem otoritarianisme dengan hukumnya yang sangat represif. Sistem kekuasaan otoritarianisme tersebut sebenarnya merupakan tahap awal atau mungkin pengulangan fase kekuasaan dalam terori Banditisme (Moncur Olson: 1993) sebagaimana dikutip oleh Didik J Rachbini dalam buku Teori Bandit.

Menurut Mancur Olson kekuasaan berevolusi dari satu tahap ke tahap berikutnya yang terbagi menjadi 3 tahap, yaitu:

Pertama; Evolusi tahap awal dan asal muasal kekuasaan adalah anarkhi di mana tidak ada sistem pemerintahan dan tanpa demokrasi. Di dalam sistem anarki seperti ini yang berkuasa adalah orang kuat secara fisik, memiliki senjata dan berkelompok sesama orang kuat.Tidak ada aturan main, tidak ada hukum, yang ada hukum rimba di mana yang kuat berkuasa. Sekelompok orang yang paling awal berkuasa adalah bandit berpindah (roving bandit theory). Bandit ini adalah bandit yang tidak punya otak cerdas karena memakai kekuasaan hanya dengan merampok dan menghancurkan desa-desa atau kota-kota untuk diambil hartanya.

Kedua; Lalu terjadi evolusi pemikiran kelompok bagaimana agar kehidupan secara kolektif tetap berkesinambungan (sustainable). Ide ini dikembangkan dengan bertransformasi dari bandit berpindah (roving bandit) menjadi bandit yang menetap (stationary bandit) untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara bandit tetapi sumber dayanya tetap ada. Dengan pikiran cerdas dari sebagian bandit itu, maka sekolompok bandit tidak lagi berpindah, merampok dan menghancurkan semuanya tetapi mulai menetap dan tidak merusak semuanya (stationary bandit).

Ketiga; Pada evolusi berikutnya, semakin banyak orang cerdas dan para bandit itu pun mempunyai pemikiran transformatif untuk menyerap aturan main (rule of law). Para bandit itu pada tahap ini masuk menjadi insan yang beradab dan sistem universal yang terbaik.

Demokrasi telah terbangun. Di dalam sistem demokrasi universal muncul sistem norma sosial politik, undang-undang, sistem demokrasi, parlemen, pemerintahan, oposisi, check and balance. Tanpa itu semua, maka kekuasaan dan penguasa kembali lagi masuk ke tahap satu atau tahap dua – banditisme, otoritaniarisme, dan anti demokrasi.

Perilaku banditisme dengan kekuasaan adalah kimiawi yang sangat cocok dan akan bersenyawa ketika tidak ada rule of law, antikritik, anticheck and balance, memberangus kritikus, mengerahkan intel, polisi mirip komunis soviet lama. Orang yang anti kritik, anti check and balance dilihat dari logika teori ini tergolong pro bandit meskipun dengan alasan mencintai penguasa yang menjadi idolanya, yang mirip artis, pangeran tampan.

Sangat menarik penyataaan Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini tentang Outlook Democracy LP3ES 2021 (11/1/2020) yang salah satunya membahas soal kemunduran demokrasi di Indonesia karena kuatnya kecendrungan wajah pemerintahan otoriter dan praktik diktator.

Didik lebih lanjut menyatakan bahwa Presiden Jokowi dari perilakunya tidak menunjukkan komitmen terhadap demokrasi dalam pengambilan keputusan dan tindakannya. Kecenderungannya otoriter dan praktik diktator semakin kuat ketika oposisi hilang dan masyarakat sipil lemah.

Yang lebih memprihatinkan ketika Didik Rachbini menyatakan bahwa pada saat pendemi, ketika rakyat dan oposisi lemah banditisme itu pun memperoleh tempatnya dalam tatanan bernegara. Maka, kecendrungan berbalik menuju otoriter mulai dan bahkan sudah terjadi.

Sungguh ironis ketika demokrasi "dying" oleh karena watak otoritarianisme yang mengeksplotasi hukum demi kepentingan politik atau dapat dikatakan menjadikan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan. Kepatuhan hukum dicapai dengan mengutamakan Ancaman (Threat) berupa Sanksi bukan Kesadaran berupa Legitimasi atas hukum yang diberlakukan.

Kita ingat kasus Pemilu 2019, KPK, UU Omnibus law, kasus Gus Nur, HRS, kasus Bambang Tri, kasus KAMI yang jika kita teliti lebih dalam sebenarnya menunjukkan "dying-nya" demokrasi dan menguatnya otoritaroanisme dalam praktik penyelenggaraan negara, khususnya di bidang hukum dan politik.

Agar pemerintah tidak disebut sebagai stationary bandit, alangkah baiknya kedua sarana kepatuhan hukum sebagaimana dikatakan oleh Tom R. Tyler, maka Pemerintah seharusnya tidak antikritik, apalagi memenjarakan para pihak yang beroposisi (yang mengkritik, melawan, menggugat) yang memiliki hak asasi yang harus pula dihormati. Untuk selanjutnya, Pemerintah melalui kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat menumbuhkan kesadaran masyarakat khususnya yang belum menerima program-program, janji-janji pemerintah yang telah direncanakan.

Main ancam dengan pidana denda dan penjara hanya akan semakin menumbuhkan resistensi perlawanan rakyat dan mengesankan seolah pemerintahan dijalankan secara otoriter, antikritik dan ini berarti antidemokrasi. Saya yakin, banditisme itu cara memerintah yang jauh dari karakter bangsa Indonesia.

Pertanyaan besarnya adalah, apakah betul ketika pemimpin negeri ini yang terpilih dengan pemilu yang diklaim sebagai cara demokratis pada akhirnya akan terjebak juga dalam sistem banditisme? Yang dihasilkan hanyalah dealers, bukan leaders.

Ketika muncul statemen adanya Pemilu Gila, Masihkah kita berharap kepada paslon terpilih apakah Anies Rasyid Baswedan, Ganjar Pranowo ataukah Prabowo Subianto akan sanggup keluar dari stagnasi cara kerja banditisme dalam penyelenggaraan pemerintahan negara ini?

Mereka yang terpilih akan menjadi leaders atau hanya sebatas dealers? Lalu, dengan cara apa jalan buntu demokrasi dapat dijebol sehingga kedaulatan rakyat benar-benar ada? Wind of Change, lagu grup musik Scorpions ini mungkin bisa menjadi inspirasi membawa angin perubahan untuk membuka "sedikit" jalan buntu demokrasi itu. Satu bait lirik lagu ini berbunyi:

"The wind of change blows straight into the face of time. Like a storm wind that will ring the freedom bell for peace of mind. Let your balalaika sing what my guitar wants to say (say)." Tabik...!!! (*)