Pemimpin Visioner

Dengan medium teknologi komunikasi, Ashoka berhubungan dengan warganya disertai harapan bisa memengaruhi pemikiran dan perilakunya. Pesan utama dari inskripsi-inskripsinya berisi visi tetang perwujudan kebahagiaan dan penciptaan masyarakat baik (good society).

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, pemimpin visioner – transformatif itu memiliki kemampuan mendidik dirinya sebelum mendidik orang lain; berjejak pada akar tradisi seraya terbuka pada praktik-praktik terbaik dari mana pun (asalnya); bisa mengembangkan sistem kepemimpinan yang kuat dengan komitmen besar pada pembangunan kualitas manusia.

Hal itu tersimpul dalam buku Culture: A New World History, karya Martin Puchner (2023).

Jika menengok sejarah peradaban, dunia mengenal sejumlah sosok pemimpin teladan seperti itu. Dalam dunia Kristen, keteladanan itu ditunjukkan oleh Karolus Agung (Charlemagne), raja kaum Frank yang pada tahun 800 dinobatkan oleh Paus Leo III sebagai Imperator Augustus, yang menjadikannya pendiri Kekaisaran Romawi Suci dan dianggap sebagai Bapak pendiri Eropa.

Sebagai kaisar, Karolus Agung memproklamasikan misi kebangkitan kembali Romawi dari kejatuhannya melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan seni lewat pembaruan produksi kepustakaan dan dunia pendidikan.

Misi tersebut harus dimulai dengan mendidik dirinya terlebih dahulu.

Sebagai orang yang boleh dikatakan buta huruf, ia mulai menjalani proses belajar baca-tulis. Karena usianya yang telah lanjut, Sang Kaisar sangat frustrasi tak kunjung memiliki keterampilan menulis. Namun, setidaknya ia berkemampuan untuk membaca (Latin), sehingga bisa mengakses secara parsial dunia pustaka yang dipromosikannya.

Sang Kaisar juga mensponsori sebuah sekolah di Istana Ibukota Kekaisaran, Aachen, dengan mengembangkan pendidikan liberal arts. Dengan demikian, kendati Karolus Agung hanya sedikit terpelajar, namun di bawah kekuasaannya terwujud kebangkitan seni dan ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai Renaisans Karolingia.

Dalam dunia Islam, keteladanan seperti itu ditunjukkan oleh Khalifah Al-Ma’mun. Dalam memimpin kekhalifahan di Baghdad (813-833), Sang Khalifah bukan hanya melanjutkan revolusi lumbung pangan yang dirintis pendahulunya, tetapi juga menjadikan Baghdad sebagai lumbung informasi dan pengetahuan (Bait al-Hikmah).

Al-Ma'mun seorang pemimpin melek huruf dengan terus mendidik dirinya dalam budaya baca dan keterbukaannya untuk meraih ilmu dari sumber mana pun, sampai-sampai mengaku pernah mimpi bersua dengan Aristoteles.

Di bawah kekuasaannya, Bait al-Hikmah menjadi lumbung pengakumulasian teks dari berbagai sumber peradaban, termasuk dari khasanah pengetahuan Yunani dan Romawi, Mesir, Persia, India dan China.

Jenis pengetahuan yang diakumulasikan di Baghdad melintasi batas-batas apa yang saat ini disebut dengan STEM (science, technology, engineering, and mathematics), mengingatkan bahwa sistem yang berkembang saat ini bukanlah satu-satunya cara mengorganisasikan pengetahuan.

Di Baghdad, astronomi dan matematika, dan juga risalah tentang ilmu pengobatan (medicine), ditransmisikan secara berdampingan dengan teks tentang kesasteraan dan sejarah. Para ilmuwan Islam memandang keseluruhan area pengetahuan ini saling berhubungan. Lebih dari itu, ilmuwan dan penguasanya bersepakat bahwa area pengetahuan berbeda yang diproduksi di masa lalu bisa bermanfaat bagi masa kini.

Hal itu mendorong kelahiran metode baru untuk mengkategorisasikan tipe pengetahuan berbeda, yang melahirkan suatu genre baru, the summa (akumulasi seluruh pengetahuan).

Dari situlah muncul berbagai sintesis pengetahuan di tangan para ilmuwan terkenal seperti Ibn Sina, yang mendorong era keemasan peradaban Islam, yang pada gilirannya menjadi pemantik bagi satu gerakan renaisans di Eropa.

Pemimpin visioner lainnya adalah Raja Ashoka Agung. Beliau adalah penguasa Kekaisaran Maurya Gupta dari sekitar 268 SM-232 SM. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar anak benua India, mulai dari apa yang sekarang disebut Afganistan hingga Bangladesh, dan di selatan sampai sejauh Mysore.

Bermula sebagai pemimpin biadab dan kejam dengan sebutan “Ashoka Sang Garang” (Ashoka the Fierce), watak Ashoka berubah setelah menjadi pengikut Buddha.

Setelah bisa mendidik dirinya sebagai pemimpin, sepak terjang dan legasi kepemimpinan Ashoka dirayakan para bikkhu Buddha dengan sebutan Ashoka Sang Legenda (The Legend Ashoka).

Salah satu warisan legendarisnya sebagai pemimpin visioner adalah pembangunan serangkaian pilar monolitik berbahan batu dengan patung binatang di puncaknya. Pilar-pilar tinggi yang telah ditempatkan di pusat keramaian pada masanya itu memuat inskripsi yang berisi pesan untuk masa depan.

Dalam membangun pilar-pilar itu, Ashoka Agung banyak menyerap teknik pembangunan pilar dari kekaisaran Persia; bahkan mungkin juga terinspirasi oleh teknik pembuatan tiang (column) dari Yunani dan Obelisk dari Mesir. Adapun dalam pembuatan inskripsi, alih-alih mempromosikan aksara Brahmi secara eksklusif, Ashoka juga lebih pragmatis dengan mengadopsi juga alfabet Yunani yang tersebar di kawasan itu pasca pendudukan Alexander Agung.

Dengan medium teknologi komunikasi, Ashoka berhubungan dengan warganya disertai harapan bisa memengaruhi pemikiran dan perilakunya. Pesan utama dari inskripsi-inskripsinya berisi visi tetang perwujudan kebahagiaan dan penciptaan masyarakat baik (good society).

Pertama, menyerukan perdamaian dan toleransi di antara para pemeluk agama yang beragam di kawasan tersebut, termasuk Jainisme, Buddhisme, dan Hinduisme.

Kedua menyerukan pentingnya mengupayakan kesejahteraan universal (universal welfare), dengan menganjurkan kerelaan berbagi pada sesama dan memberikan perlindungan atas hak hidup, bukan saja hak hidup manusia tetapi juga hak hidup binatang dan tumbuhan; dengan membatasi jenis binatang yang bisa dikonsumsi. (*)