Penjahat Kelamin Itu Bernama Hasyim Asy'ari

Pelajaran bangsa ini di mana "binatang" alias penjahat kelamin bisa menjadi salah satu penentu nasib bangsa, yakni nasib pemilu, perlu direnungkan. Kekuasaan yang ada saat ini ternyata tidak steril alias tidak sungguh-sungguh dalam mendesain kepentingan pemilu.

Oleh: Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada hari ini telah memecat Ketua KPU karena terbukti bersetubuh dengan CAT, anak buahnya di KPU Denhaag Belanda. Persoalan ini mengulangi tuduhan serupa kepada ketua KPU dari "Wanita Emas", Hasnaeni, yang mengaku "menjual" dirinya kepada Hasyim Asy'ari untuk bisa diloloskan partainya, Partai Republik Satu.

Baik kasus CAT maupun Hasnaeni Moein di atas, DKPP mengaitkan keduanya dengan "relasi power". DKPP mengatakan bahwa kejahatan kelamin yang dilakukan oleh Hasyim Asy'ari, selain berzina berat karena dia sudah beristri, terjadi pula karena Hasyim mempunyai kekuasaan yang bisa mempengaruhi kedua korban secara langsung.

Dalam diskursus kesetaraan gender beberapa tahun belakang ini, gerakan feminis telah menyerang dominasi lelaki karena adanya relasi power, di mana dominasi diakibatkan power lelaki lebih unggul, seperti pemilikan uang, jabatan, dlsb. Menurut mereka, jika kepemilikan power itu ditata ulang maka sesungguhnya kesetaraan gender akan terjadi dengan sendirinya.

Terkait isu gender di atas, pemilihan LBH APIK sebagai pembela CAT kelihatannya mempengaruhi sidang DKPP saat ini dibandingkan dengan Hasnaeni ketika dibela pengacara Farhat Abbas dan Dr. Ahmad Yani, SH. LBH Apik memang sangat terlatih melihat kejahatan kelamin yang dilakukan lelaki, dalam hal ini Ketua KPU, terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan.

Hasyim Asy'ari sendiri telah membuat banyak kesalahan besar di republik kita, khususnya saat meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres (lihat: m.kumparan.com/amp/kumparannews/deretan-kasus-etik-ketua-kpu-bertemu-wanita-emas-hingga-disentil-hakim-mk-233b5J16ClI).

Saat itu, ketika pelolosan itu, peraturan KPU terkait batas usia belum direvisi. Sehingga seharusnya KPU tidak bisa meloloskan Gibran sebagai Cawapres. Di tangan kepemimpinan Hasyim Asy'ari juga terdapat dugaan besar pengaturan suara pemenang pilpres melalui IT KPU, yaitu kemenangan satu putaran. Kejahatan ini, jika nantinya terbukti suatu saat, maka tentu Hasyim Asy'ari ini perilakunya mirip binatang liar. Tiada norma.

Menariknya adalah dalam kesempatan ceramah keagamaan, Islam, Idul Adha, di Halaman Masjid Raya Semarang, di hadapan Jokowi dan istrinya, bulan lalu, dia mengkritik kelakuan kebinatangan manusia yang harus disembelih. Seolah-olah dia tengah berbicara lebih baik daripada orang-orang (jama'ah) Idul Adha itu.

Di sinilah sebenarnya hancurnya bangsa kita, ketika manusia bernama Hasyim Asy'ari, yang seharusnya manusia "suci", berubah menjadi "binatang", tapi mendapatkan tempat terhormat sebagai pengumum kemenangan Presiden Republik Indonesia, 2024.

Dalam konteks pilkada, saat banyak pakar hukum mempersoalkan perubahan usia calon gubernur, di mana Kaesang Pangarep terhubung isu tersebut, Hasyim tidak mundur sedikitpun. Dia malah mengumumkan bahwa usia calon yang seharusnya terkait syarat pendaftaran, menjadi syarat bagi pelantikan. Dan, terakhir dengan sombongnya pula Hasyim Asy'ari mengatakan berterima kasih, Alhamdulillah, atas pemecatannya.

Penutup

Pelajaran bangsa ini di mana "binatang" alias penjahat kelamin bisa menjadi salah satu penentu nasib bangsa, yakni nasib pemilu, perlu direnungkan. Kekuasaan yang ada saat ini ternyata tidak steril alias tidak sungguh-sungguh dalam mendesain kepentingan pemilu.

Pada saat lalu, misalnya era 1955 maupun 1999, pemimpin pemilu benar-benar dedikasi. Artinya, mereka dipilih oleh elit-elit bangsa yang dedikasinya tinggi sekali. Pemilu 2024 ini mungkin adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah kita. Tentu karena kecerobohan elit-elit nasional dalam memilih penyelenggara pemilu.

Rakyat jangan putus asa dengan kekejaman elit-elit kita. Kita harus terus berjuang dalam barisan yang semakin kokoh. Setidaknya kita harus melawan kemungkinan pilkada-pilkada yang disusupi kepentingan oligarki jahat (money politics) dan para penjahat kelamin, nantinya. (*)