Peraturan Pemaksaan TAPERA Kepada Pekerja Melanggar Konstitusi: Wajib Batal!

Padahal, BPJS Ketenagakerjaan sudah bisa membiayai program kepemilikan rumah bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, untuk apalagi Tapera yang pesertanya sama saja dengan BPJS Ketenagakerjaan?

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

PEMERINTAH lagi-lagi membuat ulah. Kali ini melalui pemaksaan penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA). Masyarakat pekerja dipaksa untuk menabung, untuk membiayai proyek perumahan rakyat.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 (Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat), Pemerintah mewajibkan, alias memaksa, Pekerja harus menabung sebesar 3 persen dari gaji, upah atau pendapatannya: Pemberi Kerja menanggung 0,5 persen, dan Pekerja menanggung 2,5 persen.

Bukan saja sewenang-wenang, Peraturan Pemerintah tentang Tapera ini, dan dasar hukum yang digunakan, yaitu UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), secara transparan melanggar Konstitusi, sehingga bukan saja wajib ditolak, tetapi wajib batal demi hukum.

Dasar hukum UU Tapera mau meniru UU tentang Jaminan Sosial (Ketenagakerjaan) yang bersifat memaksa. Dalam UU Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, setiap Pekerja wajib mengikuti program Jaminan Sosial (Ketenagakerjaan) dengan iuran (premi) sebagian ditanggung Perusahaan (Pemberi Kerja) dan sebagian ditanggung Pekerja.

Tapi, program Tabungan Perumahan Rakyat tidak bisa disamakan dengan program Jaminan Sosial. Pemerintah tidak bisa memaksa Pekerja untuk menabung, dengan alasan apapun, termasuk untuk perumahan rakyat, karena melanggar konstitusi. Sedangkan program Jaminan Sosial merupakan perintah konstitusi, Pasal 34 Undang-Undang Dasar (UUD) tentang Kesejahteraan Sosial berbunyi:

(1)Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, dan; (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;

(3)Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak; (4) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pasal ini diatur dengan undang-undang.

Oleh karena itu, sesuai perintah Konstitusi, terbitlah UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang sebagian sudah diubah dengan UU Cipta Kerja (yang juga bermasalah Konstitusi).

Sesuai perintah konstitusi Pasal 34 ayat (1), maka iuran Jaminan Sosial bagi masyarakat tidak mampu ditanggung pemerintah.

Sebaliknya, dasar hukum UU Tapera bertentangan dengan Konstitusi. Pertimbangan hukum UU Tapera merujuk Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H, dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seolah-olah, pembentukan UU Tapera ini sudah memenuhi perintah konstitusi.

Tetapi, faktanya, tidak ada pasal-pasal konstitusi tersebut yang memberi wewenang kepada pemerintah (dan DPR) untuk membentuk UU yang mewajibkan masyarakat untuk menabung.

Pasal 20 dan Pasal 21 UUD hanya menyatakan wewenang DPR dalam membuat undang-undang. Pasal 28 terkait Hak Asasi Manusia. Sekali lagi Hak. Bukan kewajiban.

Pasal 28C ayat (1) menyatakan setiap orang mempunyai hak mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan.

Sedangkan Pasal 28H menyatakan setiap orang mempunyai hak antara lain untuk hidup sejahtera, mempunyai tempat tinggal, …, memperoleh pelayanan kesehatan, memperoleh kesempatan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan, mendapat Jaminan Sosial, dan perlindungan hak pribadi.

Pasal 28H menyatakan secara tegas bahwa mempunyai tempat tinggal adalah hak, bukan kewajiban, apalagi kewajiban untuk menabung.

Untuk memenuhi hak masyarakat ini, pemerintah berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi rakyatnya. Kalau tidak bisa, berarti pemerintah gagal dan tidak mampu. Maka, pilihan terbaiknya adalah mundur. Bukan malah mewajibkan masyarakat untuk menabung, yang melanggar hak asasi manusia.

Sedangkan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) adalah tentang sistem Jaminan Sosial yang sudah melahirkan dua UU tentang sistem Jaminan Sosial seperti disebut di atas. Sekali lagi, perlu dipertegas, Pasal 34 UUD adalah perintah pengembangan sistem Jaminan Sosial, bukan untuk mewajibkan masyarakat untuk menabung.

Jadi, tidak ada satu pasal di konstitusi yang menyatakan pemerintah bisa mewajibkan masyarakat untuk menabung. Di samping itu, pemaksaan menabung melanggar konstitusi Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu, UU Tapera wajib batal karena menyimpang dari UUD, artinya tidak ada dasar hukumnya berdasarkan UUD, bahkan melanggar konstitusi Hak Asasi Manusia (HAM), yang pada prinsipnya, masyarakat mempunyai hak bebas memilih untuk menabung atau konsumsi: tidak bisa dipaksa.

Kenapa pemerintah terus nekad membuat UU bermasalah dan melanggar konstitusi? Apakah demi pengembangan dan pembiayaan proyek perumahan swasta yang baru-baru ini mendapat status Proyek Strategis Nasional?

Nampaknya, UU yang dibuat pemerintah selalu diwarnai dengan motif rente ekonomi terselubung yang merugikan masyarakat umum.

Padahal, BPJS Ketenagakerjaan sudah bisa membiayai program kepemilikan rumah bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, untuk apalagi Tapera yang pesertanya sama saja dengan BPJS Ketenagakerjaan?

Atau, pemerintah sudah kehabisan sumber pembiayaan utang untuk membiayai defisit APBN yang terus membengkak? Apakah karena sebagian besar uang Haji dan uang BPJS Ketenagakerjaan sudah menipis digunakan untuk membeli surat utang negara, dan sekarang perlu Tapera, yang diplesetkan menjadi TAbungan atas PEnderitaan RAkyat?

Oleh karena itu, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Tabungan Perumahan Rakyat wajib batal karena sewenang-wenang dan melanggar konstitusi.

Kalau saja DPR berdaulat, mungkin Presiden Jokowi sudah berkali-kali kena impeachment, karena (terindikasi kuat) berkali-kali melanggar konstitusi. Seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, atau upaya-upaya lain seperti Perpres Iuran Pariwisata, atau wacana pemberian subsidi untuk kereta cepat yang sebagian dimiliki asing. (*)