Prediksi Denny Indrayana: Potensi Permohonan Paslon 01 dan 03 Dikabulkan, Semoga!

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News

DALAM cuitannya, Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner Integrity Law Firm, Registered Lawyer di Indonesia dan Australia Prof. Denny Indrayana @dennyindrayana (Rabu 1.46 PM · 27 Mar 2024) memprediksi, ada potensi permohonan Paslon 01 dan 03 dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Prediksi itu dilandaskan bukan hanya pada argumentasi di dalam posita Permohonan dan alat-alat bukti yang diajukan Tim Hukum Paslon 01 dan 03, tetapi lebih jauh setelah mencermati komposisi Majelis Hakim MK yang menyidangkan sengketa Pilpres 2024 ini,” tulisnya dalam akun X (Twiter).

Menurutnya, dengan majelis yang hanya 8 (delapan) orang, tanpa Hakim Konstitusi Anwar Usman, maka dibutuhkan minimal 4 (empat) hakim saja, dengan Ketua MK Suhartoyo berada pada posisi mengabulkan, untuk putusan diskualifikasi Paslon 02, menjadi mungkin terjadi.

“Apakah prediksi itu menjadi kenyataan? Kita lihat saat putusan dibacakan beberapa hari ke depan,” tegas mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.

Sebelum menganalisa prediksi Prof Denny itu, ada baiknya kita menengok ke belakang terlebih dulu bagaimana munculnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi sumber masalah hukum yang sebenarnya.

Bagaimana seorang Gibran Rakabuming Raka yang belum “cukup umur” dengan putusan yang saat itu diketuai Paman Anwar Usman memberi karpet merah, sehingga bisa ikut kontestasi Pilpres 2024. Empat hakim konstitusi tak sejalan dengan Putusan MK 90 Tahun 2023 yang melonggarkan syarat usia minimum capres-cawapres (40 tahun) pada Senin (16/10/2023).

Empat hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan ini. Mereka adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, yakni Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih.

Selama sidang pembacaan putusan, pertimbangan MK hanya dibacakan oleh 2 hakim konstitusi, yaitu Manahan Sitompul dan Guntur Hamzah. Ketua MK Anwar Usman hanya mengetuk palu, dan menyatakan bahwa gugatan pemohon dikabulkan sebagian.

Dengan ini, maka syarat usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres bukan syarat mutlak, karena berlaku syarat alternatif berupa pengalaman pernah menjadi pejabat hasil pemilu, baik itu pilkada maupun pileg.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'berusia 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," kata Anwar Usman membacakan amar putusannya.

Hal itu disampaikan dalam pembacaan amar putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10). Ketua MK Anwar Usman mengabulkan permohonan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru Re A untuk sebagian.

Almas merupakan anak dari advokat sekaligus Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan.

Menurut Anwar, permohonan yang diajukan Almas beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Maka dari itu, kata Anwar, MK mengubah isi Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah."

Dua Hakim Konstitusi yang semula memberi concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih, pada akhirnya sependapat dengan tiga Hakim Konstitusi yang mengabulkan sebagian: Manahan Sitompul, Guntur Hamzah, dan Anwar Usman.

Komposisi Berubah?

Sejak dilantiknya Asrul Sani menggantikan menggantikan Wahidudin Adams sebagai Hakim MK, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/1/2024) tentunya komposisi Majelis Hakim ketika memutuskan sengketa PHPU (Perselisihan Hukum Pemilihan Umum) Pilpres 2024 juga akan berubah.

Tidak akan seperti saat 9 Hakim Konstitusi membacakan Putusan MK Nomor 90 tersebut, meski tak ada lagi Anwar Usman yang ikut cawe-cawe. Tetapi, melalui tangan Asrul Sani yang menggantikan Wahidudin Adam yang saat itu berpendapat berbeda (dissenting opinion) bersama Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo, maka komposisinya bisa seperti prediksi Prof Denny di atas, 4 : 4.

Itu bisa terjadi jika Ridwan Mansyur, mantan Panitera MA, yang menggantikan Manahan Sitompul sejak 8 Desember 2023, siap bergabung dengan Suhartoyo. Ridwan Mansyur diangkat sebagai Hakim Konstitusi berdasarkan Keppres Nomor 98/P Tahun 2023 tanggal 12 Oktober 2023.

Ridwan Mansyur menjadi hakim konstitusi atas usul Mahkamah Agung untuk menggantikan Manahan Sitompul yang mencapai batas usia pensiun per tanggal 8 Desember 2023.

Kalau soal Asrul Sani dapat dipastikan akan bergabung dengan Daniel Foekh, Enny Nurbaningsih, dan Guntur Hamzah, yang mengabulkan sebagian bersama Anwar Usman.

Jika komposisinya seperti di atas, maka prediksi Prof Denny Indrayana mendekati kebenaran. Apalagi, jika Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih yang semula memberi concurring opinion (alasan berbeda) sadar dan bergabung dengan Suhartoyo. Maka komposisinya bisa menjadi 5 : 3.

Itu jika Ridwan Mansyur dan Asrul Sani mendukung Guntur Hamzah. Namun, kalau ternyata Ridwan Mansyur bergabung dengan Suhartoyo, dapat dipastikan komposisinya menjadi 6 : 2. Berarti Paslon 01 bisa menang mutlak.

Kalau Asrul Sani rasanya tidak mungkin dan rela memenangkan Paslon 01 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, mengingat jejak digital mantan Sekjen PPP ini.

Selama ini Asrul Sani dikenal sebagai politisi PPP yang sangat mendukung Presiden Joko Widodo. Segala puja-puji pun sering dilontarkan untuk Jokowi. Jadi, rasanya tidak mungkin Asrul Sani akan berpaling dari Paslon 02 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka yang didukung Jokowi.

Meski Suhartoyo sebagai Ketua MK punya hak 2 suara (sebagai Ketua dan Anggota MK) agar suara majelis tidak genap, harus ganjil (9 anggota majelis), komposisi suaranya pun bisa menjadi 7 : 2 untuk pendukung hakim yang dissenting opinion.

Tapi, apakah mereka berani lakukan tindakan seperti itu, kecuali mereka sadar akan kesalahannya saat memutus Putusan MK Nomor 90 yang Ketua MK-nya Anwar Usman sudah diputus melanggar Etika Berat oleh Majelis Kehormatan MK yang diketuai Jimly Asshiddiqi itu?

Apalagi, di luar MK, telah terjadi peradilan terhadap Ketua dan Komisioner KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Dalam putusannya itu, DKPP menilai Ketua Hasyim Asy’ari dan 6 anggota KPU terbukti melakukan “pelanggaran kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu” karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada Rabu, 25 Oktober 2023.

Apakah putusan MKMK atas Anwar Usman dan DKPP terhadap Ketua dan enam anggota KPU tersebut tidak bisa menjadi pertimbangan majelis Hakim Konstitusi? Rasanya ya tidak mungkin. Pasti mereka tidak “buta-tuli”, karena pernah melihat dan mendengarnya.

Jika menyimak jejak digital, sebenarnya bukan hanya Anwar Usman saja yang dijatuhi sanksi di MK. Guntur Hamzah juga pernah dijatuhi sanksi.

Pada Maret 2023, Guntur Hamzah dijatuhi sanksi teguran tertulis usai dinyatakan terbukti mengubah substansi putusan perkara Nomor: 103/PUU-XX/2022 terkait uji materi UU MK yang membahas soal pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto.

Jika menyimak uraian sederhana di atas, perjuangan Paslon 01 yang bertarung di MK ini akan lebih mudah dan lancar. Apalagi di sini ada mantan Ketua MK Hamdan Zoelva. Di Paslon 03, ada Mahfud MD, Cawapres Ganjar Pranowo yang mantan Ketua MK juga. Percayalah, kebenaran itu akan menemukan jalannya sendiri atas seizin Allah SWT. (*)