Revisi UU Penyiaran Baru: Youtube dan Tiktok Diatur Sebelum Tayang

Kesimpulannya, Revisi UU Penyiaran ini sarat dengan Upaya pengebirian Jurnalis, Media, dan bahkan Content-content Creator dalam berkarya. Aturan-aturan yang telah reformis dan demokratis semenjak 1999, pasca Reformasi 1998, tampak sekali mau dikembalikan ke era sebelumnya.

Oleh: KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB, Mantan Anggota Komisi-1 DPR-RI 2 Periode (2009-2019), Mantan Anggota BaLeg DPR-RI 2016-2017

ANALISIS soal Revisi UU Penyiaran masih berlanjut, jika kemarin saya bongkar soal "ditabrak"-nya UU Pers Nomor 40/1999 dan "diselundupkan"-nya UU ITE Nomor 01/2024 (Revisi dari UU Nomor 11/2008 dan Nomor 19/2016) di dalam RUU Penyiaran ini, maka sekarang yang akan dibongkar adalah tujuan lain dari RUU ini yang akan menyasar Dunia Sosial Media, khususnya terkait dengan maraknya tayangan-tayangan YouTube, TikTok dan sebagainya akhir-akhir ini.

Sebagaimana diketahui, jumlah YouTuber dan TikToker di Indonesia memang meningkat drastis dalam kurun waktu relatif singkat.

Dari jumlah penduduk sebanyak 278.7 juta jiwa, pengguna YouTube mencapai 139 juta pada akhir tahun 2023. Ini membuat kita menjadi negara keempat dengan pengguna YouTube terbanyak di seluruh dunia. Sementara pengguna TikTok mencapai 126,83 juta pada Januari 2024.

Angka tersebut meningkat 19,1% dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya, yakni sebanyak 106,52 juta jiwa. Inilah yang rupanya menarik bagi Rezim ini untuk ikut "cawe-cawe" mengatur pengguna YouTube dan TikTok yang jumlahnya fantastis tersebut.

Sehingga dalam Revisi UU Penyiaran salah satu poinnya terkait penyelenggaraan platform digital penyiaran. Dengan kata lain, kreator konten yang memiliki dan/atau menjalankan akun media sosial seperti Youtube dan Tiktoke juga masuk dalam ranah UU Penyiaran ini.

Dalam Opini sebelumnya sudah saya tulis soal UGC (User Generated Content) yang akan diatur juga dalam RUU Penyiaran ini, namun mungkin belum banyak yang ngeh bahwa pengaturan UGC tersebut adalah termasuk dalam konten yang didistribusikan melalui platform digital YouTube dan/ atau TikTok tersebut.

Intinya 2 platform itu akan menjadi bagian langsung yang terkena dampak dari Revisi UU Penyiaran karena sudah dianggap tidak jauh bedanya dengan Media Penyiaran lain yang sudah umum seperti Televisi dan Radio selama ini.

Tetapi pengaturan ini saya nilai overlapping dengan pengaturan yang sudah ada di undang-undang lain. Sebab, saat ini pengaturan platform berbasis UGC seperti Youtube, TikTok dan sebagainya itu mengacu pada UU ITE Nomor 01/2924 yg merupakan revisi dari UU Nomor 11/2008 dan UU Nomor 19/2016 sebelumnya. Bahkan jika dicek dalam PP 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik maupun Permenkominfo Nomor 5/2020, sangat jelas pengaturan konten yang didistribusikan/ditransmisikan melalui platform berbasis UGC.

Tentu saja ini menjadi lucu sekaligus sangat problematis ketika konten yang didistribusikan melalui platform UGC itu dipersamakan dengan konten siaran TV dan/atau Radio yang sudah lama ada sekarang. Sebab konten siaran dihasilkan oleh lembaga penyiaran itu sendiri atau juga bisa oleh PH (Producton House) atau Rumah Produksi.

Sedangkan, konten yang didistribusikan melalui platform UGC tersebut adalah konten hasil produk perseorangan atau Content Creator dan kemudian didistribusikan melalui platform UGC, meskipun banyak juga sekarang di baliknya adalah Orang-orang yang berpengalaman dalam dunia Broadcast sebelumnya, alias Ex Awak Media atau yang "nyambi" kerja disamping tugas kantornya.

Jika diteliti lebih jauh dalam pasal 34F ayat (2) RUU Penyiaran ini disebutkan bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau plarform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Isi Siaran (SIS).

Jelas ini YouTuber dan TikToker dianggap setara dengan Lembaga Penyiaran atau minimal PH siaran yang selama ini harus "memeriksa"-kan semua isi siaran sebelum ditayangkan atau disiarkan ke KPI lebih dahulu.

Tentu meskI verifikasi konten ini tetap ada tujuan baiknya guna menjaga isi YouTube dan TikTok agar tidak melanggar Aturan perundang-undangan yang berlaku, namun jika semua konten harus diverifikasi sebelumnya jelas akan berdampak pada kreativitas dan Keterbukaan informasi serta demokrasi yang sudah berjalan baik selama ini.

Karena toh bilamana memang melanggar hukum, konten dalam YouTube dan TikTok bisa dilaporkan dan dijerat dengan UU ITE yang sudah ada, meski pelaporan itu ada yang menganggap terlambat karena telanjur sudah Viral atau beredar luas sebelumnya.

Namun mau Aturan dan Hukum untuk UGC di YouTube dan TikTok tersebut diterapkan sesudahnya dengan UU ITE, sebagaimana yang sudah berjalan baik selama ini, atau mau coba diterapkan sebelumnya dengan RUU Penyiaran tanpaknya bukan disitu masalahnya. Sebab Indonesia memang saat ini dirusak oleh perilaku Oknum-oknum dari Rezim ini yang sudah sedemikian bobroknya menabrak aturan yang sudah ada, misalnya soal keabsahan Ijazahnya.

Sudah jelas sampai di sidang Pengadilan saja masih berkelit dan mutar-mutar seperti Komidi Putar. Padahal kalau mau segera selesai sangat mudah, tinggal tunjukkan Ijazah aslinya akan selesai dan masalah tersebut pasti selesai dengan sendirinya, tidak akan jadi konten terus menerus di YouTube atau TikTok.

Apabila kita menyitir Ucapan yang sempat disampaikan oleh Tokoh Pers, Media dan Perfilman Alm Prof Salim Said yang baru saja wafat semalam, pernah suatu saat bulan April 2019 Beliau berujar "Kenapa negara lain maju? Karena ada yang mereka takuti. Sedangkan di Indonesia, Tuhan pun tidak ditakuti ..."

Sebuah statemen yang sangat benar dan menohok, mengingat saat ini jangankan soal Etika, jelas-jelas sudah berkali-kali melanggar hukum saja seseorang tetap tidak merasa bersalah, apalagi mau mundur dengan sendirinya.

Kesimpulannya, Revisi UU Penyiaran ini sarat dengan Upaya pengebirian Jurnalis, Media, dan bahkan Content-content Creator dalam berkarya. Aturan-aturan yang telah reformis dan demokratis semenjak 1999, pasca Reformasi 1998, tampak sekali mau dikembalikan ke era sebelumnya.

Bahkan, beberapa pengamat mengatakan "Lebih OrBa dari OrBa, alias OrBar kepanjangan dari Orde Barbar". Saya sekali lagi mengetuk hati dan pikiran waras dari Para Pakar dan Masyarakat, baik di dunia Nyata maupun yang bergerak di dunia Maya, jangan Abai dengan kondisi yang kini terjadi, sebab jelas gambaran Mimpi Buruk sudah terbentang di depan mata. Indonesia Gemas, Cemas, dan Lemas 2045 yang akan terjadi, jelas bukan Emas. (*)