Salah Paham Tentang Kembali ke UUD 1945
Jika kita mengikuti standar "menang secara demokratis" yang memerlukan dukungan 50%+1 dari seluruh pemilih, faktanya suara pemenang tidak pernah mencapai angka tersebut. Jokowi dua kali terpilih dengan dukungan di bawah 50%, yaitu 37,30% dan 42,80% dari keseluruhan pemilih.
Oleh: M. Hatta Taliwang, Aktivis Senior, Anggota DPR MPR RI 1999-2004
TULISAN ini hadir untuk menjelaskan urgensi dan alasan penting mengapa kita harus kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, bukan yang telah diamandemen. Sejak amandemen UUD 1945, banyak prinsip dan tujuan konstitusi yang awalnya menjadi fondasi NKRI perlahan-lahan mengalami perubahan fundamental, bahkan bergeser dari cita-cita para pendiri bangsa.
UUD 1945 yang asli itu mencerminkan semangat kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan komitmen terhadap keadilan sosial yang jelas, yang merupakan inti dari sistem kenegaraan kita. Tapi, pasca-amandemen, beberapa elemen vital ini memudar, mengakibatkan perubahan dalam berbagai aspek pemerintahan dan kebijakan yang tidak sejalan dengan visi awal negara kita.
Melalui tulisan ini, kita akan mendalami argumen-argumen yang mendasari pentingnya kembali ke UUD 1945 asli dengan menguraikan tujuh (7) alasan utama yang pernah saya bagikan. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, kita bisa menghadapi berbagai pandangan dan pertanyaan kritis yang mungkin muncul dari mereka yang menentang gagasan ini.
Kesalahpahaman Pertama
Ada yang berpendapat bahwa dengan kembali ke UUD 1945 akan menciptakan rezim otoriter atau rezim militer, seperti pada era Soekarno atau Soeharto.
Namun, di pasal mana dalam UUD 1945 yang memberikan hak istimewa kepada militer untuk berkuasa? Apalagi, saat ini militer sudah diatur secara tegas melalui UU Nomor 34/2004, yang membatasi peran militer dalam politik dan pemerintahan.
Pada masa lalu, era informasi masih tertutup dan terbatas, sehingga pihak penguasa bisa mengatur kekuasaan dengan lebih leluasa karena mereka mendominasi arus informasi. Sekarang, dengan era keterbukaan informasi, tidak mungkin kekuasaan bisa diatur seenaknya atau berdasarkan selera pribadi. Sebagai bukti, pemerintah sekarang ini sering mendapat kritik keras dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan yang dinilai kurang berpihak pada kepentingan publik.
Selain itu, militer saat ini tidak mungkin lagi mendominasi praktik politik seperti pada era Orde Baru, terutama setelah penghapusan kekaryaan organik dan non-organik dalam pengisian jabatan politik, pemerintahan, dan administrasi. Bahkan jika kita menggunakan UUD hasil amandemen (UUD 2002), kita masih melihat beberapa kebijakan pemerintah yang terkesan otoriter. Jadi, kekhawatiran bahwa kembali ke UUD 1945 akan otomatis menciptakan rezim militer tidak memiliki dasar yang kuat dalam konteks hukum dan politik saat ini.
Kesalahpahaman Kedua
Banyak yang salah paham, mengira bahwa para pendukung kembalinya UUD 1945 ingin menerapkannya tanpa perubahan. Padahal, para pejuang ide ini mensyaratkan bahwa sebelum kembali, harus ada kesepakatan untuk mengadendum pasal tentang masa jabatan Presiden.
Masa jabatan Presiden akan ditegaskan secara jelas hanya maksimal 2x5 tahun atau dua periode, sebagaimana dalam aturan yang berlaku saat ini. Inilah alasan munculnya istilah "Kembali ke UUD 1945 untuk Disempurnakan."
Kesalahpahaman Ketiga
Ada anggapan bahwa jika kembali ke UUD 1945, maka Presiden Jokowi akan bisa terus berkuasa dan memperpanjang masa jabatan sesuka hati, seperti yang terjadi di era Soeharto.
Yang perlu ditegaskan, dalam skenario kembali ke UUD 1945, kekuasaan pada masa transisi akan langsung dipegang oleh MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara yang merupakan penjelmaan kehendak rakyat.
Kendali kekuasaan akan mirip dengan masa peralihan dari Soekarno ke Soeharto, di mana MPRS, di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution, memiliki wewenang besar untuk memberhentikan Presiden Soekarno dan melantik Soeharto sebagai penggantinya.
Dengan demikian, jika UUD 1945 diberlakukan saat Jokowi masih menjabat, kekuasaan Presiden akan tunduk penuh kepada MPR RI. MPR kemudian akan mengurus pengisian kursi Utusan Daerah dan Utusan Golongan, serta mungkin memerintahkan penyelenggaraan Pemilu Legislatif untuk pembentukan DPR baru.
UU Pemilu juga kemungkinan akan diperbaiki, memberi rakyat kebebasan untuk mendirikan partai baru seperti pada masa peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi.
Jadi, tidak ada skenario di mana UUD 1945 bisa dimanfaatkan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi.
Kesalahpahaman Keempat
Cara berkuasa Soekarno dan Soeharto sering dijadikan contoh keburukan UUD 1945. Namun, pertanyaannya adalah apakah Soekarno benar-benar menjalankan UUD 1945 sesuai dengan semangat dan teksnya?
Bukankah kekuasaan Soekarno didorong oleh keinginannya sendiri untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin, yang mendapat kritik keras dari Bung Hatta dan Liga Demokrasi? Adakah dalam teks UUD 1945 yang membenarkan Ketua Mahkamah Agung atau Ketua MPRS merangkap sebagai Menteri, seperti yang Soekarno lakukan?
Begitu pula dengan Soeharto. Apakah Soeharto menjalankan UUD 1945 sesuai dengan teks dan jiwa konstitusi tersebut? Adakah dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa ABRI boleh mengisi jabatan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif? Bahkan Petisi 50 dan Gerakan Mahasiswa 77/78 menuduh Soeharto menyimpang dari UUD 1945.
Apakah kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan penguasa bisa dilimpahkan pada sistem UUD 1945, yang justru tidak pernah dijalankan secara murni dan konsekuen?
Era Soekarno dan Soeharto bukanlah wujud pelaksanaan UUD 1945 secara sejati; itu hanya menjadi slogan politik tanpa substansi yang sebenarnya. Justru ini adalah tugas generasi muda saat ini untuk mengimplementasikan UUD 1945 Proklamasi, dengan semangat dan teks asli yang disahkan pada 18 Agustus 1945, secara murni dan konsekuen.
Kesalahpahaman Kelima
Dalam sistem UUD 1945, tidak ada mekanisme check and balances. Apakah dalam sistem UUD 2002 saat ini memang benar-benar terjadi check and balance? Justru dalam praktiknya, sistem ini sering kali diselewengkan.
Contohnya, dengan Perpu 1/2020 yang menjadi UU/2020, hak anggaran DPR bisa dipangkas begitu saja, sehingga membuat DPR tampak seperti "bebek pilek" yang kehilangan kekuatan sebenarnya. Belum lagi, koalisi gemuk terbentuk melalui tekanan pada pimpinan partai, terutama ketika beberapa ketua partai terjerat kasus hukum. Lalu, di manakah check and balance yang dibanggakan itu?
Refly Harun menyatakan bahwa UUD 1945 cenderung otoriter karena konon tidak memiliki mekanisme check and balance dan membiarkan MPR RI bisa memberhentikan presiden. Namun, apakah salah jika seorang presiden yang terbukti melanggar UUD 1945 kemudian dihukum dan diberhentikan oleh MPR? Bukankah setiap kekuasaan seharusnya ada sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment)?
Pendukung UUD 2002 sering membanggakan sistem check and balance dalam kekuasaan, yang katanya berfungsi seperti hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi, di mana persaingan bebas akan menciptakan keseimbangan. Namun, pada kenyataannya, persaingan justru melahirkan dominasi, bukan keseimbangan.
Seperti yang Dikutip dari Salamuddin Daeng
"UUD Amandemen memang didasarkan pada prinsip check and balance. Atas dasar itulah kekuasaan dibagi secara setara antara berbagai cabang. Namun, dalam praktiknya, masing-masing cabang justru memperjuangkan kepentingan sendiri, berusaha memperbesar kekuasaan, dan mempertahankannya agar tidak diambil oleh yang lain. Terjadi pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata. Kekuasaan ini mengabdi pada siapa? Ya, pada pribadi, keluarga, dan golongan."
Lihatlah perilaku kekuasaan dan para aktornya di era reformasi ini. Mereka ribut demi negara atau demi kepentingan diri dan kelompoknya?
Kesalahpahaman Keenam
Pilpres lewat MPR RI akan meningkatkan risiko suap. Nyatanya, potensi suap dalam pilpres langsung justru lebih luas dan merusak, karena menyasar rakyat secara masif. Penyogokan dalam pemilu langsung berdampak lebih serius terhadap mental dan moral masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, jika terjadi korupsi dalam pemilihan lewat MPR, kerusakannya lebih terbatas pada elit politik di Senayan.
Selain itu, pemilihan presiden melalui MPR sebenarnya memiliki peluang lebih besar untuk mencegah praktik suap melalui mekanisme pengawasan yang lebih terpusat. Saya telah membahas hal ini dengan rinci dalam tulisan berjudul Kebaikan Pilpres Langsung Lewat Sistem Perwakilan Musyawarah di MPR.
Kesalahpahaman Ketujuh
Pemilihan Presiden oleh MPR dianggap tidak demokratis karena rakyat luas tidak dilibatkan.
Namun, mari kita lihat data hasil Pilpres langsung berikut ini: Pilpres 2014: Jokowi 37,30%, Prabowo 32,88%, Golput dan lainnya 29,81%; Pilpres 2019: Jokowi 42,80%, Prabowo 34,32%, Golput dan lainnya 22,86%.
Jika kita mengikuti standar "menang secara demokratis" yang memerlukan dukungan 50%+1 dari seluruh pemilih, faktanya suara pemenang tidak pernah mencapai angka tersebut. Jokowi dua kali terpilih dengan dukungan di bawah 50%, yaitu 37,30% dan 42,80% dari keseluruhan pemilih.
Artinya, dari segi legitimasi, hasil pilpres langsung ini bisa disebut legal tapi tidak sepenuhnya legitimatif.
Dengan sistem pemilihan oleh MPR, bisa jadi hasil yang didapat akan lebih berkualitas karena melibatkan "Utusan Golongan" sebagai penyaring calon. Demokrasi adalah alat, dan kita memiliki Pancasila dengan sila keempat yang mengajarkan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sistem ini, yang berbasis musyawarah, sesuai dengan nilai dan tradisi bangsa kita. (*)