Skandal Fufufafa Menjelang Transisi Kepemimpinan Nasional
Jika mengacu Pasal 427 ayat (2) dan (4), karena Gribran “berhalangan tetap” terkait dengan kasus Fufufafa, maka Capres yang meraih suara terbanyak kedua, berpeluang sebagai pengganti Gibran Rakabuming Raka menjadi Wapres Terpilih.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
SEBAGAI bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, kita percaya bahwa segala peristiwa dalam kehidupan politik bukan hanya hasil rekayasa manusia, tapi juga bagian dari takdir yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ketika seorang pemimpin tersandung skandal moral, ini menjadi pengingat bahwa jabatan hanyalah titipan, dan Allah SWT menuntut kejujuran dan tanggung jawab di setiap level kepemimpinan. Tidak ada yang luput dari pengawasan-Nya, dan setiap tindakan kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Itulah bentuk teguran Ilahi.
Jika Wakil Presiden yang terpilih gagal dilantik karena tekanan skandal moral, maka kita memaknai peristiwa ini sebagai isyarat dari Tuhan untuk membersihkan jalannya bangsa ini dari segala tipu daya yang merusak.
Tuhan, melalui peraturan yang ada, memberikan jalan untuk memilih pemimpin yang lebih mampu menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Siapapun yang nantinya dipilih, kita harus yakin bahwa kehendak Ilahi selalu mengarahkan kita pada kebaikan dan keadilan.
Tuhan selalu menyiapkan pemimpin yang akan membimbing kita menuju cahaya keadilan, meski awalnya jalan yang ditempuh penuh dengan cobaan dan kontroversi.
Isu akun Fufufafa dapat menjadi bahan pertimbangan serius dalam proses transisi kepemimpinan, terutama jika skandal tersebut meluas dan mengganggu stabilitas politik. Dalam kasus ini, UUD 1945 memberikan solusi melalui mekanisme pengisian kekosongan jabatan Wakil Presiden oleh MPR.
Jika skandal ini semakin besar, Presiden mungkin harus segera mengajukan dua calon pengganti, dan ini membuka peluang bagi sosok-sosok yang lebih bersih dari kontroversi, seperti nama Anies Baswedan, untuk dipertimbangkan sebagai pengganti.
Beberapa kasus etika dan moral yang menyebabkan seorang presiden atau wakil presiden gagal dilantik dalam sejarah dunia biasanya terkait dengan skandal yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, atau skandal pribadi yang merusak kredibilitas publik seorang pemimpin.
Meskipun Indonesia belum mengalami presiden atau wakil presiden yang gagal dilantik karena masalah tersebut, ada beberapa contoh di negara lain yang dapat dijadikan pembelajaran dan dikaitkan dengan narasi akun Fufufafa.
Spiro Agnew, Wakil Presiden Amerika Serikat (1973)
Spiro Agnew, Wakil Presiden di bawah Presiden Richard Nixon, terpaksa mengundurkan diri setelah terungkapnya skandal korupsi yang melibatkan suap dan penipuan pajak saat ia menjadi Gubernur Maryland. Kasus ini merupakan contoh di mana masalah moral dan etika dapat menghancurkan karier politik seorang pejabat tinggi, meskipun Agnew sudah menduduki posisi Wapres. Skandal ini membuka jalan bagi penunjukan Gerald Ford sebagai Wapres pengganti.
Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat (1974)
Richard Nixon mengundurkan diri dari jabatan presiden setelah skandal Watergate, yang melibatkan penyadapan kantor lawan politiknya dan kemudian menutupi tindakan ilegal tersebut. Meski Nixon sudah dilantik dan menjabat sebagai presiden, ia mundur karena tekanan politik yang diakibatkan oleh skandal yang menggerus kepercayaan publik terhadap integritasnya.
Fernando Collor de Mello, Presiden Brasil (1992)
Fernando Collor de Mello menjadi presiden pertama Brasil yang dimakzulkan setelah terbukti terlibat dalam korupsi. Investigasi terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan menyebabkan krisis politik yang membuat Collor kehilangan dukungan dan akhirnya mundur sebelum proses pemakzulan selesai. Masalah moral dan etika menjadi sentral dalam kasus ini, meruntuhkan kredibilitas Collor di mata rakyat Brasil.
Di Indonesia, transisi kepemimpinan menjelang 20 Oktober 2024 banyak diwarnai dengan hal-hal yang tak terduga yang menyebabkan “gagalnya” Gibran wapres terpilih dengan alasan moral dan etika. Terbukanya data lama tentang akun Fufufafa membuat Mulyono dan Istana kelabakan.
Konon kabarnya Mulyono meminta bantuan instrumen Negara untuk membantu mencermati dan menghapusnya. Namun, sayangnya tidak bisa semua jejak rekam dihapus, dari 5.000 transaksi tulisan hanya 2500 yang mampu dihapus. Kasus inilah yang membuat Mulyono dan kroninya cemas, karena hal ini berkaitan dengan hinaan kepada Prabowo Subianto, presiden terpilih.
Bangsa Ini Butuh Pemimpin yang Bermoral dan Berintegritas
Lalu siapakah yang akan mengganti bila sang wapres gagal dilantik dengan alasan moral? Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu alasan Ketuhanan menjadi faktor penting seorang layak atau tidaknya menjadi pemimpin.
Karena pemimpin bukan hanya sekedar menjadi symbol kepemimpinan, tapi juga akan menjadi panutan dan tauladan. Lalu apa yang bisa diambil nilai kepemimpinan dan nilai ketuhanan dari akun Fufufafa? Selama 10 tahun bangsa ini terjerembab dalam kasus moral dan integritas, tidak jujur, penuh kebohongan dan memecah belah persatuan.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dalam hal Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka Wakil Presiden menggantikan Presiden sampai habis masa jabatannya.
Namun, jika Wakil Presiden tidak dilantik, atau ada kekosongan dalam jabatan Wakil Presiden, Pasal 8 ayat (3) mengatur bahwa dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden, Presiden mengajukan dua calon Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk dipilih dalam waktu maksimal 60 hari.
Kemungkinan besar, jika wapres yang terpilih tidak dilantik, Presiden yang baru akan mengajukan dua nama calon Wakil Presiden kepada MPR. Nama-nama itu akan dipilih berdasarkan konsensus politik yang ada, berarti bisa jadi sosok yang memiliki dukungan politik kuat dan mampu memulihkan stabilitas pasca-skandal Fufufafa.
Secara hukum, Prabowo bisa mengajukan nama-nama yang menjadi kebutuhan penting bangsa, menjunjung persatuan, menjadi tauladan dan mampu memberi harapan kepada masyarakat. Tentu nama-nama yang secara moral mempunyai integritas yang baik. Apalagi, menjelang Indonesia mempersiapkan diri menuju Indonesia Emas, Prabowo butuh pendamping yang bisa membantu untuk meletakkan pondasi ke arah itu.
Di tengah isu tersebut muncul nama seperti Anies Baswedan dan Puan Maharani. Sebagai alternatif lain, tentu rekam jejak semua nama itu harus diuji dulu, apakah pernah terlibat dengan persoalan moral atau tidak? Tapi ingat, Puan tidak pernah ikut kontestasi pada Pilpres 2024 lalu.
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang mengatur bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tidak menetapkan pembatasan lain untuk seseorang yang sebelumnya telah berpartisipasi dalam pemilu.
Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang memuat syarat-syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, termasuk di dalamnya persyaratan umum seperti Warga Negara Indonesia sejak lahir, tidak pernah mengkhianati negara, serta sehat jasmani dan rohani.
Penggantian Gibran itu ada dasar hukumnya. Yakni harus berdasar kepada Pasal 427 UU Nomor 7 Tahun 2017. Cukup MPR komunikasi dengan para pemimpin parpol, MPR kemudian bisa langsung sidang.
Setidaknya hal ini diatur dalam ayat (2) dan (4) Pasal 427 UU Nomor 7 Tahun 2017, disebutkan:
(2)Dalam hal calon Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum pelantikan, calon Presiden terpilih dilantik menjadi Presiden.
(4)Dalam hal calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih berhalangan tetap sebelum dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua Pasangan Calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang Pasangan Calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua.
Jika mengacu Pasal 427 ayat (2) dan (4), karena Gribran “berhalangan tetap” terkait dengan kasus Fufufafa, maka Capres yang meraih suara terbanyak kedua, berpeluang sebagai pengganti Gibran Rakabuming Raka menjadi Wapres Terpilih.
Namun, jika akhirnya yang ternyata terjadi Presiden dan Wapres Terpilih berhalangan tetap, maka pasangan suara terbanyak berikutnya berpeluang dilantik menjadi Presiden dan Wapresnya. (*)