LCS bagi Indonesia, ASEAN, dan Implementasi Substansi Lima Sila

Di samping itu, bila melihat kenyataan yang ada kehidupan masyarakat bangsa Indonesia jauh dari berdaya, bahkan kondisi negara bangsa selain terancam potensi konflik di LCS yang mengemuka, sehingga menjadi bom waktu.

Oleh: Amung Ma'mun, Guru Besar Bidang Ilmu Kebijakan dan Pengembangan Olahraga Universitas Pendidikan Indonesia

SEBUAH tulisan sedikit panjang ketika berkesempatan mengunjungi Maryland University USA untuk menghadiri wisuda ananda Sally Hanako Budiarti dan sempat berwisata ke Niagara Falls dan ketika pulang seiring isu LCS yang mengemuka waktu itu karena tulisan Laksamana Purn Marsetio (Mantan KASAL).

Kini muncul kembali isu SCL ketika Presiden Prabowo Subianto bertemu Presiden Xi Jinping, maka coretan tulisan ini relevan untuk dicermati. Semoga berkenan membacanya. Salam.

Pada tahun 2007, ketika menjadi bagian dari siswa Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XV, sempat diberi tugas untuk mendiskusikan lebih lanjut terkait pernyataan ahli dari salah satu negara adikuasa, bahwa Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau, layaknya berdiri negara-negara dalam hitungan puluhan yang lebih dekat ke seratusan.

Di samping itu, ada lagi yang membuat hal tersebut menjadi rasional, yaitu: bahwa rakyat Indonesia bersuku-suku (puluhan suku bangsa), berlatar belakang etnis yang banyak, berbahasa daerah yang beragam, berkeyakinan agama yang juga tidak sedikit, dll. Mengapa?

Demikian disampaikan salah satu tim pendamping diskusi. Mungkinkah, kondisi LCS sekarang, di mana China sudah mengembangkan kawasan atas klaimnya dan kehadiran Amerika, ada di balik ASEAN yang kurang berdaya, dan kondisi aktual Kepemimpinan Nasional Indonesia yang kurang strong?

Apakah hal tersebut menjadi tanda-tandanya? Namun demikian, pada waktu itu di antara kami tidak membahas lebih lanjut hal tersebut, tapi justru lebih banyak mendiskusikan hal-hal yang sebaliknya, yaitu mengapresiasi hebatnya para pendiri bangsa (founding fathers) semasa silam yang berhasil mempersatukan kondisi masyarakat yang berbeda-beda tersebut di atas yang sedang tertindas (dijajah) sehingga negara bangsa ini merdeka dan berdiri.

Dalam perspektif historis dua di antaranya adalah dampak Gerakan Boedi Oetomo pada 1908 dan Soempah Pemoeda 28.10.28, yang menjadi spirit Indonesia bersatu dan merdeka tanggal 17.08.45, di samping tentunya jasa para pahlawan/pejuang kemerdekaan yang lainnya.

Kami menggarisbawahi bahwa jasa para pendiri bangsa tersebut amat luar biasa, kecerdasan dan pengabdiannya memperjuangkan kemerdekaan negara tanpa pamrih dan tergolong sangat super.

Oleh karena itu, seiring dengan perjalanan waktu dalam tiga era kepemimpinan nasional, yaitu: Pertama, pada era Kepemimpinan Nasional Presiden Soekarno (1945-1966) yang tantangannya luar biasa termasuk di bidang olahraga: seperti ini (maaf berbelok sedikit).

Sebagai bentuk apresiasi kepada para pendiri bangsa dalam bidang olahraga, bahwa pada 1948 Indonesia pernah ditolak ikut Olympic Games (OG) London bulan Juli 1948, karena tiga alasan, yaitu: (1) Kemerdekaan Indonesia belum diakui banyak negara, (2) Indonesia belum menjadi anggota IOC, dan (3) Performa Indonesia belum dianggap layak.

Akan tetapi, tuan rumah menawarkan boleh ikut OG dengan satu syarat, yaitu harus berbendera Hindia Belanda.

Delegasi Indonesia menolak dengan tegas, lebih baik tidak ikut dan kembali ke tanah air (ngga kebayang kalau jadi ikut dengan berbendera Hindia Belanda, olahraga menjadi momok tidak baik karena akan menjadi sumber delegitimasi bangsa ini merdeka tanggal 17.08.45).

Kemudian fenomena ini menginspirasi lahirnya inisiatif untuk menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Solo pada tahun yang sama pada September tanggal 09 (tanggal ini menjadi tonggak sejarah HAORNAS).

Pada pembukaan PON diundanglah negara-negara sahabat untuk memperlihatkan pada dunia internasional bahwa negara Indonesia telah berdiri, ada dan berdaulat. Olahraga menjadi arena diplomasi politik internasional.

Kedua, bahwa pada era Kepemimpinan Nasional Presiden Soeharto (1966-1998) yang tidak mudah memposisikan negara dalam pergaulan internasional, barangkali salah satu keberhasilannya adalah hadirnya ASEAN yang bisa menjadi indikator utama bagaimana negara bangsa Indonesia berperan (sekretariat ASEAN ada di Jakarta).

Sehingga isu konflik Laut Cina Selatan (LCS) tidak pernah muncul kembali menjadi sesuatu yang menyeramkan, walau kini sepertinya gigi kita kurang runcing sehingga respect (sikap hormat) untuk negara kita sedikit mengelupas di ASEAN, why?

Contoh case bendera terbalik dalam open ceremony SEA Games 2023 di negara Kamboja dan juga percekcokan hampir baku-hantam meluas dalam final sepakbola SEA Games 2023); dan Ketiga era Kepemimpinan Nasional Reformasi (1998-now), yang telah banyak menyiratkan sesuatu, khususnya pada akhir-akhir ini sehingga disimpulkan bahwa kondisi sekarang adalah yang paling berbahaya, di samping munculnya isu LCS yang memungkinkan menjadi arena perang terbuka sebagaimana yang ditulis oleh Laksamana Purn Marsetio (mantan KASAL 2012-2015) dalam kolom opini Kompas, 29 Mei 2023 yang berjudul Potensi Perang Terbuka di Laut China Selatan di atas.

Demikian juga yang lebih bisa dirasakan adalah substansi UUD 1945 (hasil amandemen) sudah terlalu jauh bergeser dari kesepakatan luhur founding father, terutama substansi nilai-nilai lima sila yang masih jauh dari terimplementasikan secara nyata (yang masa silam adalah sumber dari segala sumber hukum).

Demikian pula, demokrasi sistem politik, menjadikan partai politik dapat mandat tidak terbatas, permusyawaratan (sila keempat) menjadi lebih jauh bahkan cenderung menghilang, martabat kemanusiaan yang kurang atau semakin kurang terjaga (case KM 50/merapuhkan sila kedua),.

Yang muncul masyarakat lebih terbelah berhadap-hadapan dan praktik oligarki menjadi pengendali kekuasaan mengemuka, rakyat jauh dari terberdayakan (keadilan sosial tdk mengakar), dan yang paling mendasar eksodus WNA ke tanah air yang terkait dengan DSP dan perlindungan atas bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya (cenderung tidak dikuasai negara)/mengabaikan catatan salah satu pasal dalam UUD 1945.

Demikian pula persekusi marak terhadap kaum agamawan, terutama kepada kaum agamawan yang lurus nan kritis. Sungguh sangat berat beban yang dihadapi Kepemimpinan Nasional ke depan.

Dan lebih jauh lagi, yang amat mendasar adalah pertanggungjawaban moral kepada para pendiri bangsa (kalau betul-betul nyata persatuan dan kesatuan bangsa mengelupas, dapat diceritakan seperti ada pengkhianatan, kita sangat berdosa rasanya).

Di samping itu, bila melihat kenyataan yang ada kehidupan masyarakat bangsa Indonesia jauh dari berdaya, bahkan kondisi negara bangsa selain terancam potensi konflik di LCS yang mengemuka, sehingga menjadi bom waktu.

Dari agenda yang ada, masyarakat harus berikhtiar sesulit apa pun yang dihadapi, barangkali salah satu jawabannya adalah sukseskan election 2024 dengan berharap keberpihakkan pada kandidat kredibel yang berkomitmen pada upaya untuk menjaga kelangsungan hidup negara bangsa ke depan dengan membuka peluang untuk menegosiasikan kembali pada UUD 1945 asli yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.

Lebih jauh lagi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Salim Said, yang menjadi kendala bagi bangsa ini untuk menjadi negara maju adalah adanya dendam politik, sepertinya hal ini sedang terjadi sehingga perlu direnungkan lebih dalam.

Karena jika kondisi ini terus berkelanjutan akan sangat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa secara nasional (sila ketiga jauh dari terimplementasikan).

Walau tidak mudah, tapi penyelesaiannya harus dilakukan dengan dasar fakta empirik. Sekali lagi, melalui election 2024 harus lahir seorang pemimpin negara bangsa ini yang betul-betul jelas rekam jejak dan prestasinya, terprediksikan komitmennya pada penegakkan lima sila, pada kebaikan, kelangsungan/keterjagaan NKRI, dan jauh dari desain oligarki.

Insyaa Allah isu LCS juga akan dapat dikendalikan. Semoga. (*)