Pilpres Amerika dan Perbedaan Ijtihad Politik Komunitas Muslim
Yang ingin saya sampaikan kali ini adalah bahwa politik, terutama pilpres, di mana saja seringkali membawa kepada perbedaan yang runyam. Perbedaan ijtihad politik seringkali mengantar kepada perpecahan yang bisa saja merugikan umat Islam dalam sebuah bangsa itu.
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi, Presiden Nusantara Foundation/Chaplain at NYCHHC/Bellevue
SEBAGAIMANA dalam beberapa catatan saya tentang Pilpres Amerika bahwa masyarakat Muslim Amerika akan terpecah dalam menentukan pilihan pada Pilpres Amerika kali ini. Sebagaimana disampaikan, secara garis besar ada tiga pilihan komunitas; Kamala Harris, Donald Trump, dan kandidat ketiga (Green Party) Jill Stein.
Kenyataannya memang demikian. Sebagian tetap memilih Kamala Harris, khususnya Afro Amerika yang secara tradisional memang Demokrat. Sebagian lagi Donald Trump dengan pertimbangan politik global, khususnya Timur Tengah. Sebagian lainnya memilih kandidat ketiga, sebagai pertanggung jawaban moral, namun sudah dipastikan tidak akan menang; Jill Stein.
Situasi pilpres kali ini mengingatkan saya pemilihan presiden/wapres pada tahun 2000 menjelang peristiwa 9/11 lalu.
Ketika itu kandidat utama adalah George W Bush melawan Al Gore (wakil Presiden Bill Clinton). Mayoritas memprediksi bahwa Al Gore pasti memenangkan pertarungan itu. Selain karena Al Gore memang cukup populer. Juga karena dukungan Clinton. Walau ketika itu Clinton punya masalah (Monica Lewinsky), namun masih memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Amerika.
Ternyata perkiraan banyak orang itu meleset. GW Bush memenangkan pemilihan itu. Menurut perkiraan sebagian, salah satu penyebab utama ketika itu adalah karena masyarakat Muslim, khususnya masyarakat imigran, memutuskan untuk memberikan dukungannya secara penuh kepada George W Bush, capres dari Partai Republican.
Alasan terutama Komunitas Muslim saat itu adalah karena Al Gore memilih seorang Yahudi dan dikenal pendukung Zionist Israel yang kuat bernama Senator Liberman (Connecticut) sebagai cawapresnya.
Walhasil pasangan George W Bush – Dick Cheney memenangkan pertarungan pilpres tahun 2000 itu dengan suara tipis. Sekali lagi sebagian memperkirakan kemenangan itu karena kontribusi suara Komunitas Muslim dan Arab yang memberikan dukungan penuh kepada capres-cawapres Partai Republikan itu.
Namun keputusan Komunitas Muslim dengan memberikan suara kepada GW Bush itu melahirkan konsekwensi yang lebih jauh bagi Komunitas Muslim di Amerika, bahkan global. Secara global kita semua tahu bahwa perang panjang di Afghanistan, Irak, dan Timur Tengah secara umum Bush – Cheney inilah sebagai pelaku utama. Peristiwa 9/11 yang menjadi justifikasi dari semua perang itu, belakangan melahirkan konspirasi “war on terror” dengan dampak buruk yang dirasakan Komunitas Muslim di Amerika sendiri.
Namun di balik itu semua di kalangan masyarakat Muslim Amerika terjadi friksi yang cukup tajam. Keputusan masyarakat Muslim imigran untuk memberikan “block voting” (suara penuh) ke GW Bush menjadikan Komunitas Afro Amerika kurang setuju (bahkan marah).
Ada dua alasan utama ketidak setujuan mereka. Pertama, karena secara tradisional mereka itu adalah Demokrat. Kedua, karena merasa white Amerika yang rasis masih mayoritasnya ada di Partai Republikan.
Akibatnya mereka yang merasa “Native American” (bukan keturunan) itu, (walau mereka juga keturunan dari Afrika dan lainnya) bersepakat membentuk organisasi baru yang lebih berorientasi kepada pergerakan politik. Organisasi itu disebut MANA (Muslim Alliance of North America) atau aliansi masyarakat Muslim se-Amerika Utara. Terpilih sebagai ketua pertama adalah Imam Siraj Wahhaj dari Brooklyn
Tujuan utama dari MANA adalah menginginkan peranan yang lebih signifikan dari masyarakat Muslim Amerika (Native American) dalam perpolitikan Amerika. Waduh ini diharapkan membangun kesadaran warga Muslim Amerika asli untuk lebih pro aktif dalam gerakan perpolitikan di Amerika. Mereka merasa lebih cocok dan pantas karena mereka lebih dekat dan paham tentang perpolitikan di Amerika dibandingkan Muslim imigran.
Namun hal ini sekaligus mengindikasikan adanya friksi dan persaingan antara masyarakat Muslim pendatang (imigran) dan yang mengaku atau merasa Muslim asli Amerika (Native American Muslim).
Walaupun para akhirnya organisasi MANA ini lambat laun mati dengan sendirinya, namun telah memberikan pelajaran penting bahwa politik terkadang membawa “perbedaan” yang bisa berujung pada perpecahan yang tidak diharapkan.
Apalagi tanpa diakui atau pura-pura tidak dirasakan dan diketahui sejak lama ada dalam tubuh umat Islam Amerika ini ada perasaan marjinalisasi di kalangan masyarakat Afro Amerika.
Di satu sisi mereka merasa paling berhak dikategorikan “Muslim Amerika”. Tapi, di sisi lain mereka tidak banyak yang menonjol dalam berbagai organisasi nasional seperti ISNA, ICNA, MAS, CAIR, dan lain-lain. Yang sering tampil di organisasi-organisasi ini hanya Imam Siraj Wahhaj, Sheikh Zakir, dan Imam Hamzah Yusuf (White Muslim).
Yang ingin saya sampaikan kali ini adalah bahwa politik, terutama pilpres, di mana saja seringkali membawa kepada perbedaan yang runyam. Perbedaan ijtihad politik seringkali mengantar kepada perpecahan yang bisa saja merugikan umat Islam dalam sebuah bangsa itu.
Dan ini bukan hanya di Amerika. Tapi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Begitukah? (*)