Bahkan Seorang Goenawan Mohamad Pun Merasa Dibohongi

Sebab, kekhawatiran Mas Goen sangat beralasan. Jika MK saja dibuat seperti itu demi meloloskan Gibran, maka untuk memenangkan Prabowo – Gibran, bukan tidak mungkin tindakan Jokowi akan jauh lebih brutal.

Oleh: Yarifai Mappeaty, Pemerhati Masalah Sosial Politik, Tinggal di Makassar

GOENAWAN Mohamad, siapa yang tak kenal? Beragam label telah disematkan kepadanya. Mulai dari aktifis, penulis handal, budayawan, sastrawan, bahkan kadang ada yang menyebutnya sebagai filsuf. Semua itu menunjukkan jikalau ia memang seorang pesohor.

Pada era 1980-an, GM, begitu ia kerap disebut, melalui “Catatan Pinggir-nya” di Majalah TEMPO, adalah salah satu yang menginspirasi gerakan mahasiswa menentang Soeharto dan Orde Baru. Karena itu, saya menjulukinya sebagai si Caping Tunggal. Julukan itu diinspirasi oleh Saur Sepuh milik Niki Kosasih, yang juga amat popular di masa itu. Maklum, penggemar Saur Sepuh.

Jujur, saya sangat gandrung pada GM dengan Capingnya. Dan, salah satu hasrat terbesar saya saat itu adalah bertemu dengannya. Bayangkan, sangking gandrungnya, kapan dan di mana pun menemukan Majalah Tempo, saya harus berhasil meminjamnya barang sebentar, dan berusaha memfotokopi lembaran terakhirnya.

Bahkan, tidak hanya itu. Suatu waktu di Jakarta pada 1990, saya pernah memasukkan sebuah buku ke dalam ranselku tanpa seizin pemiliknya. Buku itu adalah Catatan Pinggir Jilid 2. Masih baru pula. Bahkan mungkin pemiliknya belum sempat membacanya. Saya sadar bahwa kalau itu salah, tetapi memilikinya, ada kebanggaan yang jauh lebih besar.

Berpuluh tahun kemudian, hasrat bertemu dengannya kesampaian juga di Cikini pada suatu siang pada 2019. Ketika itu, saya menghadiri diskusi filsafat di mana GM adalah salah satu pembicara kunci. Namun, setelah menyimaknya, saya bukannya suka, tapi malah merasa aneh. Sebab GM yang saya temui saat itu, sama sekali berbeda dengan si Caping Tunggal yang tertinggal di dalam benak saya.

Bagi saya, Caping Tunggal adalah sosok kritis yang konsisten menjaga jarak dengan kekuasaan. Sedangkan GM yang berbicara di hadapan saya, adalah sosok pembela rezim (Jokowi). “Kok, bisa berubah seperti ini?” batin saya.

Menurut penilaian saya, pendiri Majalah Tempo tersebut, memang sudah berubah. Ia rupanya telah pensiun dari oposisi kritis dan memilih menjadi pecinta Joko Widodo alias Jokowi. Sehingga tidak heran jika selama ini tak terdengar suara kritisnya terhadap sejumlah kebijakan Jokowi yang dinilai tidak pro-rakyat. Termasuk upaya pelemahan KPK yang terjadi pada 2018 Lalu.

Merasa tak betah, saya kemudian meninggalkan acara itu sebelum usai. Semenjak itu, saya pun tak lagi punya hasrat mendengar tentangnya. Tapi dari belakang, GM seolah berteriak pada saya, “Hei Bung, sungguh tak mudah menempuh jalan sunyi.”

Tetapi yang namanya pesohor, biar pun hanya batuk kecil, tetap saja terdengar, dan sulit bagi saya untuk menepisnya. Hingga beberapa hari lalu dalam acara Rosi di Kompas TV, Mas Goen, begitu ia disapa, kembali mengalami “batuk”, tapi kali ini, ia benar-benar batuk sungguhan sampai matanya berkaca-kaca.

Pada akhirnya, Goenawan Mohammad tak bisa lagi menutup mata atas prilaku Jokowi yang dinilai makin maruk kekuasaan. Di Rosi, ia tumpahkan segala kekecewaannya karena merasa dibohongi Jokowi yang memaksakan putra sulungnya menjadi Cawapres Prabowo Subianto.

Mas Goen sungguh tak terima Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi benteng terakhir penjaga konstitusi negara ini, sampai harus diobrak-abrik demi untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka. Tetapi, apakah semata karena itu?

Hemat menulis, tidak. Air mata Mas Goen itu sesungguhnya adalah air mata penyesalan karena pernah menanggalkan diri sejatinya sebagai si Caping Tunggal. Lalu menjadi pecinta Jokowi dan mendukungnya tanpa sekalipun pernah bersikap kritis.

Tapi itu belum seberapa. Mas Goen hendaknya lebih bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang jauh lebih buruk terjadi selanjutnya. Jangan sampai membuat Mas Goen mati berdiri. Karena, tragedi di MK itu baru awal. Bahkan boleh jadi hanya semacam tes ombak.

Sebab, kekhawatiran Mas Goen sangat beralasan. Jika MK saja dibuat seperti itu demi meloloskan Gibran, maka untuk memenangkan Prabowo – Gibran, bukan tidak mungkin tindakan Jokowi akan jauh lebih brutal.

Mau apa jika seluruh kekuasaan di tangannya, terutama infrastruktur sipil dan militer, dikerahkan untuk itu? Belum lagi jika si Paman Anwar Usman masih Ketua MK, selesai.

Namun, patut disyukuri bahwa pada usianya yang sudah renta, GM masih sempat kembali sebagai si Caping Tunggal yang telah dikutuk menemukan kebahagiaannya, hanya di jalan sunyi. (*)