Bukan Dinasti Poltik!

Anda Pak Prabowo, ayahanda dan eyang kakung Anda itu hebat dan jadi legend pada diri Anda masing-masing. Namun, itu gambaran nyata success story geneologi keluarga besar Margono Djojohadikusumo. Bukan dinasti politik!

Oleh: Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI (The Global Future Institute)

PRABOWO Subianto bilang, saya juga dinasti kan kakeknya Pak Margono dan ayahandanya Pak Mitro juga tokoh dan mengabdi negara. Lho itu kan geneologi keluarga besar, asal usul dan DNA yang menggambarkan keluarga beliau hebat dan cemerlang pada bidang kiprahnya masing masing. Itu bukan dinasti Pak Prabowo. Apalagi dinasti politik.

Raden Mas Margono Djojohadikoesoemo (16 Mei 1894 – 25 Juli 1978) adalah pendiri Bank Negara Indonesia. Ia adalah orang tua dari Begawan Ekonomi Indonesia, Prof Soemitro Djojohadikoesoemo yang merupakan seorang ekonom dan politikus Indonesia.

Sebagai salah satu ekonom Indonesia paling terkemuka selama masanya, Soemitro pernah pula menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, Menteri Keuangan, dan Menteri Riset baik selama era Orde Lama maupun Orde Baru.

Eyang kakung Margono nggak pernah paksa-paksa pak Mitro mau jadi apa. Margono hanya dorong jadi apa saja yang penting sesuai minat dan bakatnya dan be the best, jadilah yang terbaik. Maka Mitro pilih sekolah ekonomi, menyerap atmosefer pergerakan politik jelang perang dunia II. Yang kelak pengalaman itu membentuk Soemitro jadi pakar ekonomi yang tidak biasa-biasa saja.

Bahkan ikut gerakan bawah tanah melawan NAZI dengan menyamar jadi bell boy hotel di Belanda. Waktu lulus dari Fakultas Ekonomi Roterdam kemudian direkrut Bung Hatta dalam tim diplomasi perjuangan Indonesia lawan Belanda. Sungguh mengharukan saat dalam tim perundingan KMB di Den Haag, Pak Margono dan Pak Mitro sama-sama anggota delegasi KMB pimpinan Bung Hatta.

Apa itu dinasti? Bukan. Itu cuma gambaran, geneologi keluarga besar Margono Djojohadikusumo punya putra-putra yang cemerlang. Margono sang ayah merupakan bankir perintis berdirinya BNI. Soemitro punya reputasi sebagai ekonom, pendiri Fakultas Ekonomi UI, dan aktivis pergerakan. Keduanya legend pada bidang masing-masing. Bukan dinasti politik.

Pak Margono juga nggak paksa-paksa putra lainnya, yaitu Subianto untuk masuk tentara. Bahkan, ikut menyabung nyawa menghadapi Belanda yang mau datang lagi ke Indonesia. Segitu bangganya Margono dan Soemitro sama putra dan pamannya itu, sehingga ketika putra sulung Pak Mitro lahir diberi nama Prabowo Subianto. Subianto gugur sebagai pahlawan bangsa.

Anda Pak Prabowo, ayahanda dan eyang kakung Anda itu hebat dan jadi legend pada diri Anda masing-masing. Namun, itu gambaran nyata success story geneologi keluarga besar Margono Djojohadikusumo. Bukan dinasti politik!

Maka itu saya terhenyak kala Anda sendiri memandang asal-usul dan geneologi keluarga besar Djojohadikusumo yang cemerlang dari kakek, anak, dan cucu: Anda pandang semata sebagai dinasti.

Mengapa dinasti politik menjadi debat pro kontra tanpa ujung pangkal, karena sibuk membahas kenampakan luarnya tapi ogah menyentuh isu yang hakiki. Yaitu ingin kesinambungan dari apa yang sudah dibuat rejim lama tapi tidak ditopang adanya sistem kaderisasi dan sistem rekrutmen politik berdasarkan merit system atau meritokrasi di pelbagai organ.

Sehingga ujung ujungnya untuk menjamin kesinambungan ambil saja yang paling bisa jadi jaminan yaitu keluarga atau kerabat.

Kalau niatnya untuk menciptakan kesinambungan atas dasar keberlanjutan visi dan nilai, pasti sistem kaderisasi dan rekrutmen politiknya berdasarkan meritokrasi alih alih nepotisme.

Tapi karena di kita akar soal karena kesinambungan rejim lama lebih buat keberlanjutan kepentingan dan pelestarian hak hak istimewa, maka dinasti politik atau koncoisme menjadi satu satunya pedoman dalam kaderisasi dan rekrutmen politik.

Maka itu sistem biasanya merupakan jabaran dari nilai,visi dan strateginya. Visi dan strateginya jelas titik tolak dan titik tujunya, maka rancang bangun sistemnya juga beres adanya.

Ketika rejim lama berkeinginan agar rejim baru melanjutkan visi dan nilai nilai yang dikembangkan pendahulunya, maka sistem kaderisasi dan rekrutmen politik atas dasar meritokrasi atau merit system, maka itulah jawabannya. (*)