Catatan dari Istana: Siapa Bilang Megawati Bukan Pendendam? (Bagian Kedua)

Munculnya Gus Dur dari poros tengah membuat Megawati gusar. Hal itu wajar mengingat PDIP menjadi pemenang pertama (suara nomor 1) pada Pemilu 1999).

Oleh: Mangarahon Dongoran, Pemimpin Redaksi Freedom News

PERSETERUAN antara Gus Dur dan Megawati sebenarnya tidak muncul tiba-tiba. Awal mula keduanya berkonflik sudah terjadi sejak Poros Tengah di bawah komando Amien Rais sebagai Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menjadikan Gus Dur sebagai calon presiden dan terpilih menjadi presiden.

Mengapa perseteruan keduanya sudah terjadi sejak dari Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta Pusat? Bukankah keduanya merupakan bagian dari tokoh yang turut berperan menjatuhkan Presiden Soeharto?

Gus Dur, Megawati, dan Amien Rais adalah tiga serangkai yang turut membangun reformasi dan ketiganya sempat saling bernusuhan. Peranan ketiganya sangat besar, apalagi masing-masing memiliki kekuatan massa yang sangat banyak. Gus Dur dengan NU dan PKB, Megawati dengan PDIP dan nama Soekarno dan Amien Rais dengan Muhamnadiyah, PAN dan kalangan akademisi.

Saya yang meliput sidang MPR saat itu (Oktober 1999), sudah mendapatkan kabar keretakan hubungan keduanya. Amien Rais yang juga menjadi bagian dari tokoh reformasi menggagas Poros Tengah, yang intinya mencegah jangan sampai Bachaeuddin Jusuf (BJ) Habibie dan Megawati terpilih menjadi presiden.

Sebab, resistensi keduanya sangat tinggi karena masing-masing memiliki pendukung sangat militan dan fanatik. Di kubu Habibie ada barisan Adi Sasono yang memiliki 'garis keras', pembela mati-matian Habibie. Di kubu Megawati dengan PDIP-nya ada Kelompok Bela Mega yang juga mati-matian membela putri Bung Karno itu. Jika salah satu terpilih menjadi presiden, dikhawatirkan akan terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa.

Poros Tengah merupakan gabungan partai politik PKB, PAN (Partai Amanat Nasional), PK (Partai Keadilan) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Koalisi tersebut mampu melobi Golkar (Golongan Karya) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) – peraih suara nomor 2 dan 3 dalam Pemilu 1999 – bergabung, mengalihkan suara mendukung Gus Dur sebagai Capres dan kemudian terpilih menjadi presiden.

Artinya, jika Habibie terpilih menjadi presiden, akan terjadi pertumpahan darah yang cukup parah, karena kubu Habibie tidak siap menerima kekalahan. Demikian juga jika Megawati terpilih, kubu Habibie mengamuk karena tidak siap menerima kekalahan jagoannya. Poros Tengah diharapkan bisa mendinginkan suasana, tidak ada kekerasan yang cukup berarti, apalagi pertumpahan darah.

Pilihan poros tengah jatuh ke Gus Dur. Awalnya, kelompok reformis menginginkan Amien Rais menjadi presiden. Namun, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu tidak mau karena berjanji hanya menjadi Ketua MPR dan sudah dilantik.

Munculnya Gus Dur dari poros tengah membuat Megawati gusar. Hal itu wajar mengingat PDIP menjadi pemenang pertama (suara nomor 1) pada Pemilu 1999.

Sebagai pemenang Pemilu, Megawati merasa lebih berhak dan pantas menjadi presiden. Secara hitungan di atas kertas wajar pemenang pertama yang menjadi pemimpin. Gus Dur lewat PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) menempati ururan keempat. Akan tetapi, nasib menentukan lain dan Poros Tengah yang merupakan gabungan suara yang perolehan lebih kecil dari PKB mampu menarik dukungan dari Golkar dan PPP.

Dari sinilah awal mulainya perseteruan antara Gus Dur dan Megawati. Meski Megawati terpilih jadi Wakil Presiden, namun rasa kecewa terus membara sampai pengumuman nama-nama Menteri Kabinet Persatuan Nasional yang tidak dia hadiri.

Jawaban Gus Dur atas pertanyaan wartawan mengenai ketidakhadiran Mega, juga diduga semakin menambah amarah dan dendam membara terhadap Gus Dur dan juga kepada Amien Rais.

Betul kemarahan Mega itu tidak diperlihatkan secara vulgar. Namun, strategi menjatuhkan Gus Dur pun mulai dirancang dari Kantor Wakil Presiden yang berada di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat (diapit Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Kantor Gubernur DKI Jakarta/Balai Kota). Tentu strategi menjatuhkan Gus Dur juga dirancang di tempat lain.

Beberapa isu negatif tentang Gus Dur pun mulai dimunculkan. Ada kasus Buloggate dan dugaan perselingkuhan dengan Aryanti. Kedua isu inilah yang dihembuskan Amien Rais yang secara tidak sadar telah "dimanfaatkan" Megawati.

Pemakzulan Gus Dur berhasil. Ia dilengserkan pada 23 Juli 2001 melalui Sidang Istimewa MPR yang dimotori Amien Rais sebagai Ketua MPR dan juga penggagas Poros Tengah sendiri yang menggolkan Gus Dur menjadi presiden.

Saat SI MPR itu ada peristiwa cukup mengejutkan. Ketua Umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Matori Abdul Dalil adalah satu-satunya dari PKB yang turut berdiri menyetujui pemberhentian Gus Dur sebagai presiden. Padahal, Gus Dur salah satu pendiri PKB dan menjadi Dewan Penasihat partai itu.

Gus Dur berhasil dimakzulkan. Salah satu alasannya, karena ia dianggap melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Mega sebagai wakilnya diangkat menjadi presiden. 'Ulah' Matori yang turut berdiri menyetujui pemberhentian Gus Dur tentu disenangi Mega. Sebagai imbalannya, Matori pun diangkat menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) pada Kabinet Gotong Royong. Tentu pengangkatan tersebut juga sebagai wujud nyata balas dendamnya terhadap Gus Dur.

Setelah menjadi Matori menjadi Menhan, langkah berikutnya adalah membenturkannya dengan pengurus PKB yang loyal kepada Gus Dur. Langkah tersebut berhasil, karena PKB akhirnya pecah. Pendukung Gus Dur berhasil merebut kursi Ketua Umum PKB dari Matori. Posisinya digantikan Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri di era kepemimpinan cucu pendiri NU tersebut. (Bersambung).