Catatan dari Istana: Siapa Bilang Megawati Bukan Pendendam? (Bagian Pertama)

"Pulang duluan. Dia kan perempuan. Sudah mau sore, pulang mau pakai bedak," kata Gus Dur yang diiringi sedikit riuh wartawan.

Oleh: Mangarahon Dongoran, Pemimpin Redaksi Freedom News

UCAPAN Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen PDIP) Hasto Kristiyanto yang mengatakan sosok seperti Joko Widodo maupun Megawati Soekarnoputri sama-sama tak memiliki dendam politik cukup menarik dicermati. Alasannya, keduanya mengedepankan rekonsiliasasi nasional.

"Pak Jokowi ini pemimpin yang berdialog, yang tidak punya dendam politik. Sama dengan Ibu Megawati Soekarnoputri mengedepankan rekonsiliasasi nasional," kata Hasto seperti dikutip dari Tempo.co, Rabu, 7 Juni 2023.

Megawati tidak punya dendam politik? Sebagai Sekjen PDIP sah-sah saja Hasto mengatakan itu terhadap Ketua Umumnya. Hasto wajar membela mati-matian serta memujanya.

Hasto tidak salah mengatakan hal itu, apalagi di tengah sengit dan semakin memanasnya suhu politik. Tetapi, ucapan Hasto itu harus diuji dengan fakta-fakta yang terjadi selama ini.

Rakyat sudah cerdas menilai dan melihat apakah seseorang pendendam politik atau tidak. Apakah Mega benar bukan pendendam?

Lantas, siapa bilang Mega bukan pendendam politik? Lihat saja faktanya. Buka saja arsip Anda di Google, akan terlihat apakah benar Mega bukan pendendam.

Sebagai mantan presiden, sebagai tokoh politik dan negarawan mestinya Mega tidak pendendam politik. Ia mestinya menyontoh sang ayah, Presiden RI pertama, Soekarno yang benar-benar tidak memperlihatkan dendam politik ketika hubungannya dengan Mohammad Hatta (Bung Hatta) retak. Dwitunggal itu tetap bersahabat meski dipisahkan oleh politik. Secara terang-terangan Bung Hatta mengatakan mundur sebagai Wakil Presiden karena sudah tidak sejalan lagi dengan Bung Karno.

Sayangnya, apa yang dilakukan Bung Karno yang tetap bersahabat dengan Bung Hatta tidak terlihat pada Mega. Dendam politiknya jelas ada. Mestinya, ia harus sadar bagaimana diperlakukan selama orde baru.

Oke, saya akan bercerita pengalaman dari Istana Kepresidenan, ketika saya bertugas di tempat ini, saat saya masih bekerja di Harian Umum Pikiran Rakyat Biro Jakarta. Saya akan mulai cerita tentang hubungannya dengan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kurang harmonis.

Itu terjadi di awal-awal keduanya sudah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Cara kurang bersahabat itu sudah diperlihatkan Mega saat Gus Dur mengumumkan nama-nama menteri dalam Kabinet Persatuan Nasional pada 26 Oktober 1999, di Istana Merdeka, Jakarta, atau enam (6) hari setelah keduanya dilantik.

Istana Merdeka merupakan salah satu gedung atau bangunan yang ada di lingkungan Istana Kepresidenan dan menghadap ke Taman Monas (Monumen Nasional). Di kompleks Istana Kepresidenan itu ada beberapa gedung lainnya. Ada Istana Negara dan Binagraha, di Jalan Veteran dan menghadap ke Sungai Ciliwung. Istana Negara membelakangi Istana Merdeka.

Kemudian ada Wisma Negara, ada Masjid Baiturrahim, ada Kantor Presiden, Gedung Sekretariat Negara. Sekarang, kantor Wapres pun berada di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta. Demikian juga kantor Dewan Pertimbangan Presiden. Pada era Soeharto, kantor Wapres itu menjadi Kantor BJ Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi.

Oh ya, ada cerita menarik saat pengumuman Kabinet Persatuan Nasional yang sudah ditunggu-tunggu wartawan Istana, termasuk saya sejak pagi. Kenyataannya baru diumumkan menjelang sore. Kabarnya, pengumuman itu mulur karena terjadi pembicaraan yang cukup alot antara Gus Dur dan Mega.

Bahkan, kabar yang beredar di kalangan wartawan Istana (sebelum pengumuman) keduanya sempat adu argumen yang mengarah adu urat leher, karena ada calon menteri yang tidak disetujui Mega. Karena Mega "ngotot', Gus Dur pun menggunakan hak prerogatifnya sebagai presiden.

Karena peristiwa itu, Mega dikabarkan ngambek. Bukti ngambek itu semakin nyata saat Gus Dur mengumumkan nama-nama Menteri Kabinet Persatuan Nasional (KPN) sendirian, tanpa Mega.

Padahal, pengumuman itu penting dan mestinya didampingi Mega sebagai Wapres. Wartawan yang melihat pun semakin percaya, ada 'perseteruan' hebat antara Gus Dur dan Mega saat menggodok nama-nama menteri tersebut. Peristiwa yang ditonton langsung melalui siaran televisi dan didengar melalui siaran radio kok tidak dihadiri Wapres. Ada apa?

Adalah Cornelius Purba, wartawan The Jakarta Post yang menanyakan mengenai ketidakhadiran Mega dalam peristiwa penting kenegaraan itu.

"Gus Dur, kenapa Bu Megawati tidak hadir saat pengumuman ini," begitu kurang lebih pertanyaan Cornelius, wartawan yang sejak masa Soeharto sudah meliput di Istana. Karena sudah lama meliput kegiatan Istana, ia pun oleh teman-teman disebut dengan istilah wartawan 'bulukan'.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Gus Dur pun menjawab dengan santai, meski tidak diiringi dengan kalimat, "Gitu aja kok repot!"

Dengan santainya Gus Dur mengatakan Mega pulang duluan ke rumah.

"Pulang duluan. Dia kan perempuan. Sudah mau sore, pulang mau pakai bedak," kata Gus Dur yang diiringi sedikit riuh wartawan.

Ketidakhadiran Mega saat pengumuman itu dan jawaban Gus Dur tersebut semakin menguatkan dugaan wartawan terjadinya debat seru antara keduanya saat seleksi nama-nama calon menteri.

Lalu, siapa menteri yang disodorkan Mega, tetapi ditolak Gus Dur? Juga siapa menteri yang tidak diinginkan Mega, tetapi oleh Gus Dur tetap masuk? (Bersambung).