Cawe – Cawe Jokowi, Inilah Targetnya!

Prabowo menang, Jokowi juga akan tersingkir. Saat jadi penguasa, Prabowo akan bersikap dan berwatak layaknya penguasa. Tidak butuh lagi kepada Jokowi pada 2024. Kalah atau menang, Prabowo tidak butuh Jokowi.

Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

INILAH yang menjadi kekhawatiran para kader PDIP. Kekhawatiran ini sudah sangat lama: Joko Widodo berpisah, bahkan berhadap-hadapan dengan Megawati Soekarnoputri.

Sudah menjadi hukum sejarah, jika dalam satu komunitas, organisasi atau partai, ada dua matahari kembar, maka akan terjadi benturan kepentingan. Dua matahari itu, artinya: dua tokoh yang sama besar pengaruhnya. Maka satu dengan yang lain akan berebut pengaruh itu. Bukan atas keinginan mereka berdua mengambil posisi itu, tapi sejarah akan secara niscaya membenturkan mereka.

Demi untuk menjaga otoritas tunggalnya di PDIP, maka ini juga sesuai dengan amanah dan spirit konggres, Megawati menjadikan Jokowi sebagai petugas partai. Sementara Jokowi sendiri adalah presiden. Jangkauan wilayah dan otoritas kekuasaannya lebih luas dari Megawati. Maka, tidak memungkinkan Jokowi menerima statusnya sebagai petugas partai.

Jokowi menolak dijadikan petugas partai bukan atas kemauannya sendiri. Tapi, posisinya sebagai presiden tidak memungkinkan ia menerima diposisikan sebagai petugas partai. Dari sinilah problem hubungan tidak harmonis antara Jokowi dengan Megawati dimulai. Banyak kasus yang membuat keduanya harus bersitegang. Bahkan, sejak penyusunan kabinet 2014. Ketegangan tidak pernah berhenti, hanya mengalami pasang surut.

Pada Pilpres 2024, Jokowi harus exit dari PDIP. Sebab, tidak mungkin Megawati akan berbagi otoritas dengan Jokowi. Ini bukan mau atau tidak maunya Megawati.

Ini soal keadaan yang tidak memungkinkan Megawati berbagi kekuasaan dengan Jokowi di partai. Berbagi otoritas Jokowi di PDIP, ini sama saja memberi ruang untuk Jokowi melakukan kudeta.

Konflik Jokowi vs Megawati ini bukan soal moral. Bukan soal Jokowi tidak pandai berterima kasih dan malah mbalelo terhadap Megawati. Tidak sesederhana itu. Namun, konflik keduanya adalah tuntutan keadaan yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Keduanya tidak bisa keluar dari posisi saling berhadapan.

Pada 2024, masa kekuasaan Jokowi habis. Jokowi selesai. Jokowi hanya bisa eksis di panggung politik jika ia aktif di partai. Di PDIP, ruangnya ditutup Megawati. Jokowi sama sekali tidak diberi peran dalam pencapresan Ganjar Pranowo. Megawati paham kalau ini sangat berbahaya. Kita tahu, Megawati adalah politisi kawakan yang sangat matang.

Sekali Jokowi diberi ruang di pencapresan Ganjar, dan Ganjar menang, maka Jokowi dan Ganjar bisa berkompromi untuk kudeta Megawati. Keduanya, Jokowi dan Ganjar hanya punya kekuatan kalau keduanya bergabung melawan Megawati.

Cawe-cawe Jokowi pada pilpres bukan sekedar mencari jaminan pengamanan pasca 2024. Tapi, lebih pada upaya menciptakan ruang untuk eksistensi politik bagi Jokowi. Juga anak-menantunya. Eksistensi politik Jokowi akan optimal jika bisa ambil PDIP dengan menggunakan Ganjar sebagai instrumen.

Upaya Jokowi saat ini membawa semua gerbongnya ke Prabowo Subianto diniatkan untuk pressure pada Magawati agar memberi peran kepada Jokowi. Jika tetap ditutup, Jokowi akan all out dukung Prabowo.

Mengapa tidak ke Anies Baswedan? Karena Jokowi kenal dan paham sekali siapa sosok Anies Baswedan. Terlalu pinter untuk bisa diintervensi, apalagi dikendalikan. Kecuali jika Anies menang, maka Jokowi dapat dipastikan akan beradaptasi dengan Anies Baswedan.

Prabowo jadi satu-satunya alternatif bagi Jokowi untuk melabuhkan dukungan demi tujuan pressure ke Megawati. Kalau gagal pressure Megawati, Jokowi akan all out dukung Prabowo. Di antaranya dengan memasangkan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Proses legalnya sedang digodok di Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika pun Prabowo itu menang, Jokowi pun akan tersingkir, dan tidak lagi punya peran signifikan. Sebagai Wantimpres misalnya. Itu peran yang tidak penting.

Artinya, karir dan eksistensi politik Jokowi akan berakhir. Kecuali jika dukungan Jokowi ke Prabowo dikompensasi dengan posisioning Jokowi di Gerindra. Menjadi Ketum atau Dewan Pembina partai, misalnya. Mungkinkah? Tidak mudah ini terjadi. Baik Prabowo menang, apalagi kalah.

Prabowo menang, Jokowi juga akan tersingkir. Saat jadi penguasa, Prabowo akan bersikap dan berwatak layaknya penguasa. Tidak butuh lagi kepada Jokowi pada 2024. Kalah atau menang, Prabowo tidak butuh Jokowi.

Posisi Jokowi, jika ingin tetap eksis pasca 2024, memang harus ambil partai. Apakah itu PDIP, atau Gerindra. Dua-duanya tidak mudah untuk diambil.

Eksistensi Jokowi akan berhenti jika berada di luar partai. Karena itu, Jokowi harus kerja keras bagaimana ambil PDIP atau Gerindra. Inlah makna cawe-cawe Jokowi. (*)