Indonesia Tidak Sedang Baik-Baik Saja: Mungkinkah Peristiwa 1998 Jilid-2, Terulang?

Memang kontradiktif, karena di satu sisi kepuasan masyarakat pada Jokowi begitu tinggi seperti apa yang diumumkan oleh beberapa lembaga survei, tapi Pollmark menyajikan fakta bahwa apa-apa di tengah masyarakat, sudah mencapai puncaknya.

Oleh: M. Nigara, Wartawan Senior

"INDONESIA tidak sedang baik-baik saja!" Pernyataan singkat dan tegas itu saat ini makin sering kita dengar. Dari rakyat jelata hingga para tokoh nasional. Mereka tak lagi ragu untuk mengucapkan kalimat tersebut.

Dari semuanya, menurut saya, hanya Eep Saefulloh Fatah yang bicara dengan data konkret. Lewat Pollmark Research Center, Eep menuangkan segalanya secara faktual. Hal itu ia sampaikan saat berdialog dalam kanal Abhamam Samad, mantan Ketua KPK. Silakan disimak di podcast Abraham Samad.

Di bawah ini saya memperoleh tampilan atau ringkasan data Pollmark dari yunior saya, Dorojatun mantan wartawan BOLA.

Sesungguhnya beberapa tokoh lain juga mengutarakan hal yang sama dengannya versi masing-masing. Mereka juga memiliki data, meski tidak segamblang data Eep.

Artinya, basis yang mereka sampaikan bukan berdasarkan perasaan apalagi sentimen pribadi. Semua memiliki data dan fakta yang mereka cermati dan mereka tuangkan juga diperoleh dari semua lapisan masyarakat.

Mungkinkah 1998 Jilid-2?

Saya tidak ingin mengupas dinasti politik atau nepotisme yang sesungguhnya secara tegas telah dilarang seperti dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.

Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme adalah tindak pidana dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU 28/1999.

Pro-kontra terkait hal tersebut muncul begitu MK, meskipun tidak bulat (4 menolak dengan tegas, 5 menyetujui) memutuskan jalan 'tol' bagi Gibran Rakabuming Raka yang tak lain putra sulung Jokowi, Presiden Indonesia. Sebelumnya, meski tidak seheboh keputusan MK, nepotisme telah dimulai saat Gibran terpilih menjadi walikota Solo.

PDIP sesungguhnya telah menyiapkan bahkan jika tidak keliru telah pula mendaftarkan kader seniornya untuk maju. Namun karena ada patut dapat diduga permintaan Jokowi, PDIP mengalah. Maka jadilah putra sulung presiden Walikota.

Kedua di Medan, Sumatera Utara. Hal serupa terjadi, tokoh yang dipersiapkan partai banteng moncong putih, harus menepi lantaran Bobby Nasution yang tak lain menantu presiden akan maju. Bobby pun terpilih.

Terakhir, Kaesang, putra bungsu presiden jadi Ketua Umum PSI, partai yang didominasi anak muda. Awalnya Kaesang digadang-gadang akan didorong jadi walikota Depok seperti kedua kakaknya. Namun, sepertinya PDIP sekali ini menolak.

Saya tidak ingin masuk kesitu. Saya hanya ingin melihat mungkinkah tragedi tahun 1998 terulang? Tiga langkah nepotisme itu adalah puncak peristiwa yang sangat mungkin terjadinya gerakan perlawanan.

Meski demikian, saya belum melihat pintu masuknya terbuka. Didunia, pemerintah Jokowi dikenal sangat 'tangguh'. Tak ada peristiwa yang paling menghebohkan di jagad ini kecuali peristiwa 411 dan 212.

Jutaan massa berkumpul melampiaskan ketidakpuasan, padahal korban nyawa berjatuhan. Tetapi tidak terjadi apa-apa. Jokowi aman-aman saja, bahkan mampu memenangkan pilpres untuk periode ke-2, 2019-2024.

Lalu, bagaimana peristiwa bisa terulang?

Menurut hemat saya, semua ada di tangan PDIP. Saya tidak hendak ingin mengatakan partai itu harus berbuat makar, tidak sama sekali.

Hanya saja, jika PDIP atas nama marwah partai lalu mengumumkan pemecatan kepada anggotanya yang tidak loyal, dan menarik seluruh Menteri dalam kabinet, di situlah situasi akan menjadi langkah awal.

Kemudian, empat hakim MK yang menolak putusan berbau nepotisme tersebut ikut juga melakukan langkah serupa, mundur, situasi akan lain. Apalagi jika keempat hakim MK mau menanggalkan baju kebesarannya di hadapan para mahasiswa yang 'menjemput' mereka ke gedung MK maka sungguh suasana ini akan menjadi lain.

Sebagai catatan, Bung Karno tidak mau membubarkan PKI yang jelas mendalangi G30S dengan memakan korban para jenderal, runtuh meski sebelumnya sudah ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup.

Pak Harto, baru saja diminta Harmoko, Ketua DPR-RI atas nama rakyat yang masih menginginkan kembali maju jadi presiden, lalu ditinggal menteri-menterinya, oleng dan jatuh lewat Peristiwa 1998.

Gus Dur, dengan dekritnya, juga rontok meski banyak pihak yang mendukungnya.

Dari sana, saya melihat ketidakpuasan dalam arti kehidupan yang semakin sulit seperti kata Eep di atas, akan memuncak.

Memang kontradiktif, karena di satu sisi kepuasan masyarakat pada Jokowi begitu tinggi seperti apa yang diumumkan oleh beberapa lembaga survei, tapi Pollmark menyajikan fakta bahwa apa-apa di tengah masyarakat, sudah mencapai puncaknya.

Jadi, jika pintu masuk bisa dibuka, maka bukan tidak mungkin peristiwa 1998 akan terulang. Jika itu terjadi, kita tidak tahu sekelam atau sekejam apa.

Yang pasti, Indonesia, tidak sedang baik-baik saja... (*)