Masa Depan Dijamin Cerah, Jika Demokrat Mau Balik ke Anies

Mereka tidak tahu kalau Surya Paloh sudah menyiapkan skenario habisi arogansinya. Akibat sering ngancam, langsung saja dihabisi. Supaya mbambung dan bingung. Masih merasakan “gengsikah” Demokrat, sehingga enggan kembali ke KPP? Padahal, masa depan karier AHY itu ada di sini.

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News

STRATEGI Ketum Partai NasDem Surya Paloh memang luar biasa. Bayangkan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin yang sudah gandeng-renteng dengan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto selama lebih dari 1 tahun, sanggup “dibajak” dan bergabung dengan Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP).

Dan bahkan, meski tanpa kehadiran PKS, Bacapres Anies Baswedan telah dijodohkan dengan Cak Imin sebagai Bacawapresnya, Sabtu, 2 September 2023. Peta politik copras – capres pun berubah total. Gerindra kehilangan PKB yang sudah bersepakat untuk bergabung dengan KPP yang telah mengusung Anies sebagai Bacapres.

Sebelum Deklarasi Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar di Hotel Mojopahit, Surabaya itu, petinggi Demokrat keburu meluapkan amarahnya dan menyebut Anies sebagai “penghianat”. Bahkan, Ketua Majelis Tinggi Partai Susilo Bambang Yudyono (SBY) juga menyebut Anies sebagai orang yang tak amanah. Petinggi Demokrat terlalu “prematur” menuding Anies itu pengkhianat dan tidak amanah.

SBY dan petinggi Demokrat marah dan menuduh Anies dan NasDem sebagai pengkhianat karena tidak memilih Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudyonono (AHY) sebagai Bacawapres Anies. Yang dipilih justru pendatang baru, Muhaimin dan PKB dengan “hadiah” Cak Imin jadi Bacawapres Anies.

Bagaimana nasib AHY dan Demokrat paska Deklarasi Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar? Soal sikap politik Demokrat, AHY, dan SBY itu, tinggal kembalikan ke mereka sendiri. Sebab, kini rakyat Indonesia sudah tahu bahwa SBY masuk koalisi punya agenda “politik dinasti”. Tidak murni untuk perjuangan melakukan perubahan.

Jika bergabung PDIP atau Gerindra, supaya rakyat Indonesia semakin tahu kalau SBY itu punya karakter “raja”. Berambisi melanjutkan kekuasaannya dengan kendaraan partai. Bukan berjiwa pembela kebenaran dan keadilan. Demokrat bukan lagi partai yang ingin perubahan, tapi ingin “keberlanjutan”. Karena, kedua koalisi tersebut berjanji melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi.

Seharusnya SBY dan petinggi Demokrat tidak perlu emosi ketika AHY tidak dipilih jadi Bacawapres Anies. Apalagi, sampai ada pernyataan keluar dari KPP. Karena, peluang AHY dipilih Anies masih terbuka lebar jika pada akhirnya Muhaimin Iskandar tersandung kasus korupsi.

Mau tidak mau, Anies harus segera mencari penggantinya. Nah, karena AHY pernah diminta untuk bersedia jadi pasangannya, bukan tidak mungkin pilihannya jatuh pada AHY. Kalau pada akhirnya Demokrat ingin kembali ke KPP, Anies Baswedan masih mau menerimanya secara terbuka.

Dan, kalau AHY dan Demokrat bergabung dengan Koalisi Gerindra atau Koalisi PDIP, yakinlah, di belakang mereka, AHY akan ditertawain. Akhirnya, yang selama ini menjadi oposisi bergabung di Koalisi Istana juga. Atau malah nasibnya tidak jelas alias terkatung-katung atau mbambung.

Kalau SBY, AHY, dan Demokrat masih ingin mendukung perubahan, tidak ada salahnya jika mereka merajut kembali dan melakukan komunikasi dengan Anies Baswedan dan Surya Paloh. Perintahkan para “jubir” Demokrat untuk menghentikan serangan terhadap Anies dan NasDem, karena hanya di sinilah AHY dan Demokrat masih bisa mendapatkan tempat dan masa depan, bukan masa lalu.

Yakinlah, AHY masih ada peluang menjadi Bacawapres Anies, jika terjadi musibah hukum menimpa Muhaimin Iskandar. Sebab, Anies harus segera mencari penggantinya jika tetap ingin ikut kontestasi Pilpres 2024. Apalagi, syarat tambahan harus “bebas dan berani” ada pada diri AHY. Tapi bersihkan dulu juga Demokrat dari “perusuh-perusuh” internal.

Sayangnya, Kamis sore, 31 Agustus 2023, beredar pernyataan pers Partai Demokrat yang kecewa terhadap sikap Anies Baswedan. Demokrat mencap Anies sebagai pengkhianat dan menuduh Anies tunduk kepada Surya Paloh daripada kesepakatan yang telah dibuat.

Andi Arief dan Demokrat TV di Twitter mencaci-caci Anies sebagai pengkhianat. Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya menyatakan, "Rentetan peristiwa yang terjadi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat perubahan, pengkhianatan terhadap Piagam Koalisi yang telah disepakati ketiga parpol," kata Riefky dalam siaran persnya.

Memang wajar Demokrat marah karena AHY kemungkinan besar gagal menjadi cawapres Anies. Menurut Demokrat, Anies telah menentukan cawapresnya Muhaimin Iskardar. Padahal Anies telah sepakat sebelumnya bahwa pasangan yang akan dideklarasikan adalah Anies – AHY.

Bila kita cermati, Demokrat memang marahnya keblabasan. Mereka lupa bahwa sebelum deklarasi resmi, maka 'Anies dan timnya' bisa berubah pilihan. Bandingkan dengan Jokowi yang hanya dalam beberapa jam mengganti pilihan wapresnya dari Mahfud MD ke Ma'ruf Amin.

Dalam kesepakatan 24 Maret 2023, Nasdem, Demokrat dan PKS telah menandatangani enam butir kesepakatan.

Poin pertama, ialah membentuk koalisi yang bernama Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Kedua, mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden pada Pilpres 2024.

Ketiga, memberikan mandat sepenuhnya kepada Anies untuk menentukan calon wakil presiden. Keempat, memberikan ruang seluas-luasnya kepada Anies untuk menjalin komunikasi dengan partai politik lainnya.

Kelima, membentuk sekretariat bersama yang merupakan kelanjutan dari tim kecil. Keenam, mengumumkan pasangan capres-cawapres pada waktunya nanti.

Dari poin-poin kesepakatan itu, adakah yang dilanggar Anies? Baca dengan seksama poin ketiga dan keempat.

"Ketiga, memberikan mandat sepenuhnya kepada Anies untuk menentukan calon wakil presiden. Keempat, memberikan ruang seluas-luasnya kepada Anies untuk menjalin komunikasi dengan partai politik lainnya."

Jadi Anies punya hak prerogatif menentukan cawapresnya. Tak ada yang dikhianati Anies. Selama belum ada deklarasi resmi, Anies bisa mengubah keputusan. Bukankah keputusan politik itu bisa berubah karena memperhatikan perubahan waktu dan keadaan?

Dengan penentuan cawapres ada sepenuhnya pada Anies, maka Anies berhak untuk konsultasi pada siapapun. Kepada Surya Paloh, Jusuf Kalla, atau kepada tokoh-tokoh lainnya.

Dalam sejarah hidup Anies, tidak ada dalam dirinya pengalaman berkhianat. Berubah sikap bisa saja dilakukan, tapi bukan berkhianat. Anies disebut pengkhianat, bila sudah deklarasi resmi dan kemudian berubah sikap.

Memang wajar Demokrat marah, karena ketua umumnya tidak dijadikan cawapres oleh Anies. Tapi menyebut Anies sebagai pengkhianat, adalah ridak benar karena keblabasan.

AHY jelas masih muda, usianya 45 tahun. Bila SBY bijak, harusnya biarkan AHY menjadi menteri atau menko dulu. Tidak harus dipaksakan menjadi cawapres. AHY ini belum pernah terlibat dalam birokrasi pemerintahan. Ia bagusnya harus punya pengalaman memimpin pemerintahan dulu, baru nanti 2029 nyapres atau nyawapres.

Demokrat memang harus banyak dibuat dag-dig-dug. Ini balas dendam atas perilakunya kemarin-kemarin ketika masih bergabung di KPP, yang sering membuat dag-dig-dug koalisi. Selalu ancam keluar koalisi jika AHY tak dipilih sebagai Bacawapres.

Mereka tidak tahu kalau Surya Paloh sudah menyiapkan skenario habisin arogansinya. Akibat sering ngancam, langsung saja dihabisin. Supaya mbambung dan bingung. Masih merasakan “gengsikah” Demokrat, sehingga enggan kembali ke KPP? Padahal, masa depan karier AHY itu ada di sini.

Jika tidak ada pencurangan seperti halnya Pilpres 2019, potensi kemenangan Anies – Cak Imin ini sangatlah besar. Yang ditakuti Jokowi adalah kalau Surya Paloh dan Cak Imin akhirnya membuka kotak pandora pencurangan itu. (*)