Menganalisis Segmentasi Tiga Pasang Kandidat Pilpres

Dan tentunya kita berharap, agar proses kontestasi politik ini dilakukan secara fair, transparan, dan jujur. Tidak menghalalkan segala cara untuk menang. Juga tidak memanfaatkan kekuasaan negara untuk kemenangan suatu kelompok.

Oleh: DR. Anton Permana, Direktur Tanhana Dharma Mangrva (TDM) Institute

ENTAH mengapa, saya tidak terlalu tertarik menanggapi bombardir hasil survei yang begitu massif di media TV nasional dan media maistream lainnya.

Apapun nama lembaga surveinya, selama lembaga survei tersebut tak transparan dalam hal sumber pendanaan, validasi metode dan surveyor, serta motivasi mereka mem-publish hasil survei tersebut, di mana seharusnya secara logis sebuah hasil riset dan survei pilihan politik itu dirahasiakan.

Saya lebih tertarik mengajak masyarakat kelas civil society berpikir lebih logis dan smart, dalam menanggapi isu Pilpres ini, dari pada terjebak dengan strategi pencitraan dan pembangunan opini tim sukses kandidat.

Sebenarnya sederhana dalam memetakan segmentasi pemilih di Indonesia ini secara psikografi geokultural. Karena boleh dikatakan secara kodrati bahwa secara segmentasi psikografi politik, bangsa Indonesia ini cukup dibagi tiga segmentasi saja. Yaitu: Kelompok Kanan, Tengah, dan Kiri.

Kelompok kanan adalah kelompok Agamais (khususnya Islam), kelompok tengah adalah kelompok nasionalis, borjuis dan opportunis pragmatis, serta kelompok kiri dari kalangan sosialis, anak-anak komunis, liberalis, non-agamis (sekuler).

Jadi, tak heran saat era Orde Baru, Pak Harto cukup membagi segmentasi politik tersebut dalam tiga partai saja yaitu: PPP untuk kelompok kanan, Golkar untuk kelompok tengah, dan PDI untuk kelompok kiri. Sebuah kanalisasi yang cerdas dan konstruktif. Jadi wajar, politik saat era Orde Baru lebih stabil, harmonis, berwibawa, dan jauh dari huru-hara konflik sosial di masyarakat daripada rezim hari ini.

Lalu pertanyaannya adalah bagaimana peluang dan proyeksi para masing kandidat dalam meraup suara di Pilpres 2024 nanti?

Pertama; Secara quantity di atas kertas, sebenarnya kelompok kanan (Islam) adalah grand majority dari 3 segmentasi tadi. Sebab, secara faktual Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim 87 persen.

Namun secara realita, pertarungan ideologis seperti tesisnya Samuel P. Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilitation” telah berpengaruh besar mendegradasi pengaruh (Islam kanan) dalam peta sosiologis politik Indonesia.

Secara kuantiti jumlah, memang benar Islam adalah kelompok terbesar di Indonesia, namun secara pengaruh dan hegemoni, Islam (kelompok kanan) di Indonesia mengalami pasang surut dan bahkan secara realita, hegemoni pengaruh kelompok kanan di Indonesia terus terdegradasi, apalagi sejak rezim Joko Widodo hari ini berkuasa.

Kedua; Ancaman hegemoni Islam kanan ini terhadap Indonesia sangat disadari oleh para oligarki dan kelompok yang bersebrangan secara ideologis lainnya. Untuk itu lazim kita temukan narasi-narasi propaganda yang dilakukan melalui opini yang selalu menyudutkan Islam.

Tujuannya tak lain adalah agar umat Islam jauh dari pengaruh ajarannya, jauh dan meninggalkan para pemimpin agama, Ulama, Kiyai, dan Ustad. Dan bahkan, bagaimana memecah-belah antara sesama umat Islam berdasarkan mahzab, manhaj, aliran, cara ibadah dan sejarah.

Tujuannya tak lain adalah bagaimana mengurai soliditas persatuan umat Islam, agar terpecah-belah, saling cakar, dan tercerai berai. Dan kemudian secara perlahan bergeser masuk ke dalam kelompok tengah dan kiri.

Seperti halnya narasi radikalisme, intoleransi, politik identitas bahkan isu terorisme, boleh dikatakan secara ilmu geopolitik dan geostrategi adalah cara yang “ampuh” guna memreteli soliditas persatuan umat Islam saat ini. Karena narasi tersebut dibangun menggunakan “tangan kekuasaan”.

Maka wajar hari ini secara realita, kelompok kanan (Islam) secara hegemoni politik justru terpuruk dan babak belur. Terpecah-belah dan terbungkam dalam teror intimidasi narasi Politik Identitas, Intoleran, Radikalisme, dan Terorisme.

Ketiga; Sedangkan kelompok tengah adalah didominasi oleh mereka dari para kalangan borjuis, nasionalis, hingga kalangan pragmatis dan oportunis. Yaitu, para kelompok yang tak memerdulikan “faktor agama” dalam kehidupan politiknya. Tetapi lebih kepada pragmatisme dan oportuniti apa yang bisa mereka dapat. Minimal, main aman dan ikut ke mana arus politik yang besar saja agar aman.

Namun kelompok tengah nasionalis ini, boleh dikatakan saat ini mempunyai segmentasi politik terbesar, akumulasi dari luapan atau limpahan dari kelompok kanan dan kiri yang bergeser ke tengah. Kelompok kanan bergeser ke tengah akibat keberhasilan perang opini dan narasi tentang politik identitas, intoleransi dan radikalisme yang masif dilakukan rezim saat ini.

Sedangkan kelompok kiri juga meningkat akibat pengaruh trend figur, opportunity dan juga faktor sosiopsikologis lainnya.

Keempat; Lalu kelompok kiri yang sebelumnya tempat berkumpul para anak-anak keturunan PKI yang secara jumlah tidak bisa dianggap remeh yaitu sekitar 15-20 juta, bahkan bisa lebih. Sesuai pengakuan salah satu anak PKI bernama Ripka Tjiptaningsih dalam salah satu bukunya berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI”.

Lalu ada lagi kelompok sosialis, marhaenis, seniman, kelompok liberalis, sekuler, dan non-muslim fundamental. Non muslim fundamental yang dimaksud tersebut yaitu para kelompok non-muslim fundamental yang “agresif militan” berkumpul ada di kelompok kiri karena bermusuhan (antipati) terhadap kelompok kanan.

Menariknya saat ini adalah ketika kita petakan dari tiga segmentasi politik dengan tiga pasang kandidat yang sudah mendaftar hari ini juga sangat terkorelasi dan identik.

Terkorelasi dan identik yang dimaksud adalah seolah secara alamiah tiga pasang kandidat ini juga cenderung terkooptasi dengan masing segmentasi politik natural di Indonesia. Yaitu:

Pasangan AMIN (Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar) identik dengan kelompok kanan ideologis, pasangan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka identik dengan kelompok tengah. Dan, pasangan Ganjar Pranowo – Mahfud MD identik dengan kelompok kiri.

Namun menarik dan uniknya adalah, kelompok tengah Prabowo – Gibran, begitu aktif memainkan penetrasi kiri kanan untuk meraup suara. Gibran sebagai anak Jokowi tentu punya gerbong di kiri, serta Prabowo yang pada Pilpres 2019 berbasis kanan, juga tentu punya gerbong basis massa di kelompok kanan.

Setidaknya, hadirnya figur Habieb Lutfie, Yusril Ihza Mahendra dari PBB, dan Anis Matta-Fachri Hamzah. Ditambah Budiman Sujatmiko, Noel, dan para purnawirawan Jenderal adalah simbol bahwa kelompok tengah juga punya basis kanan dan kiri.

Begitu juga dengan Ganjar – Mahfud yang kita representasikan dari kelompok kiri. Dipilihnya figur Mahfud MD oleh Megawati dari PDIP, juga membuktikan bahwasannya keinginan kelompok merah ini juga mendapatkan cangkupan suara dari kanan. Karena figur Mahfud MD yang berasal dari NU dan Jawa Timur, basisnya NU.

Begitu juga dengan ditunjuknya Arsyad dan mantan Panglima TNI Jenderal Purn Andika Perkasa sebagai tim pemenangan nasional, ini menunjukkan juga bagaimana upaya pasangan Ganjar –Mahfud juga ingin penetrasi masuk ke kelompok tengah nasionalis.

Selanjutnya pasangan AMIN. Secara faktual, tsunami massa yang hadir pada setiap kegiatan AMIN seperti di Makasar, Sidoarjo, Malang, Depok, dan Jember, juga telah memerlihatkan soliditas dan kekuatan massa real AMIN yang mayoritas dari kelompok kanan.

Bahkan, saat ini, AMIN dapat mempersatukan dua kelompok kanan yang selama ini berseberangan dalam politik Indonesia antara kubu Islam progresif (PKS) dan Islam kultural (PKB). Ini harus diakui adalah sebuah langkah cerdas dari Surya Paloh berserta koalisinya.

Apabila kekuatan kanan ini bisa terkonsolidasi dengan baik, maka akumulasi dari koalisi ini akan menciptakan hegemoni baru berwajah Islam moderat dan nasionalis yang tidak bisa lagi dianggap remeh. Ditambah lagi, jaringan kelompok Muhammadiyah yang direpresentasikan oleh dua tokoh Prof Din Syamsudin dan Prof Amin Rais juga bergabung dalam barisan ini.

Meski mayoritas menguasai kelompok kanan, AMIN terlihat juga tetap berupaya melakukan penetrasi ke kelompok tengah. Figur ratusan jenderal yang bergabung di PKS dan AMIN, partai Nasdem sebagai partai Nasionalis sudah cukup membuktikan itu.

Tinggal sekarang yang menjadi tantangannya adalah apakah mungkin ada segmentasi kelompok kiri yang bisa diraup oleh AMIN. Karena benturan ideologisnya cukup tajam. Beda dengan pasangan Ganjar – Mahfud. Yang dengan sosok Mahfud setidaknya dapat mengambil point di segmen suara NU dan Jawa Timur.

Kesimpulannya adalah bagaimana masing-masing pasangan kandidat bisa mengkonsolidasi basis suara segmentasinya, dan melakukan penetrasi terhadap segmentasi lainnya. Di sini dibutuhkan strategi, taktik, dan energi yang mesti presisi dan kompetitif.

Dan tentunya kita berharap, agar proses kontestasi politik ini dilakukan secara fair, transparan, dan jujur. Tidak menghalalkan segala cara untuk menang. Juga tidak memanfaatkan kekuasaan negara untuk kemenangan suatu kelompok.

Yang dapat merusak tatanan demokrasi kita serta merusak dan menjadi catatan sejarah buruk bagi perjalanan hidup bangsa ini. Karena kecurangan dalam merebut kekuasaan pasti akan membawa kerusakan bagi bangsa dan negara. Wallahu’alam.

Batam, 30 Oktober 2023. (*)