Mengapa Saya Lebih Percaya Anies Daripada SBY/Demokrat?

Juga 2017, ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta. Saat itu tokoh-tokoh Islam menginginkan satu calon untuk melawan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Yaitu Anies. Tapi SBY ngotot memaksakan anaknya AHY untuk bertarung dalam Pilgub itu. Alhamdulillah Anies menang.

Oleh: Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial Politik

UNTUK memutuskan sesuatu, sejak kecil saya tidak biasa ikut-ikutan. Saya terbiasa mandiri dalam mengambil keputusan. Sehingga, bapak-ibu saya percaya dengan saya. Karena, di samping rajin belajar, Alhamdulillah saya juga rajin ngaji dan juga suka membantu orang tua. Saya suka nyapu dan ngepel di rumah untuk membantu ibu.

Hingga dewasa pun saya biasa mandiri dalam mengambil keputusan. Saya suka mendengar masukan dari orang lain. Meskipun nanti masukan itu belum tentu saya ikuti.

Alhamdulillah, karena kemandirian yang ditanamkan orang tua sejak kecil ini akhirnya saya bisa memegang jabatan sebagai Ketua Forum Mahasiswa Islam Padangan-Bojonegoro, Ketua Dewan Dakwah Depok dll.

Saya senang dengan organisasi dan kepemimpinan. Meskipun yang saya emban kepemimpinan dalam level yang kecil. Saya senang berhubungan dengan orang.

Alhamdulillah setelah lulus dari IPB, saya bisa menjadi wartawan. Wartawan majalah Media Dakwah milik Dewan Dakwah yang kini almarhum.

Menjadi wartawan maknanya menjadi orang merdeka. Kita bisa berhubungan dengan orang dan menulis sesuai dengan ide dan keyakinan kita. Tahun 2000, saya menjadi reporter media Berpolitik.com yang saat itu dibiayai oleh Setiawan Jodi. Pengusaha minyak terkemuka.

Tahun 2001 Berpolitik.com almarhum. Saat itu tiba tiba ada beberapa wartawan ngumpul dan ngomong tentang pendaftaran S2 di UI. Saya pun tertarik mengikutinya. Saya akhirnya kuliah di Program Kajian Timur Tengah dan Islam.

Tujuan saya ikut S2, selain ingin menambah ilmu, juga ingin memperbaiki nilai S1 yang amburadul. Saya ingin buktikan bahwa saya bisa belajar dengan baik sehingga saya mendapat nilai yang baik. Alhamdulillah berhasil.

Ketika S2 saya menulis tesis tentang Sayid Qutb. Diterbitkan oleh Gema Insani dengan judul Sayid Qutb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya.

Seorang profesor dari Malaysia pernah diskusi dengan saya tentang Sayid Qutb ini. Ia mulanya tidak suka Qutb. Tapi setelah saya beri buku saya, akhirnya ia memahami Sayid Qutb.

Dan, setelah membaca buku buku saya, ia berkesimpulan bahwa saya itu tahu orang. Mungkin kesimpulan profesor itu terlalu berlebihan kepada saya. Bahkan ia mengatakan yang lebih dalam lagi, tapi biarlah saya, profesor dan Allah yang mengetahuinya.

Tahun 2014, saya aktif lagi sebagai wartawan. Saat itu saya menjadi redaksi Tabloid Suara Islam. Tabloid itu tabloid politik. Dipimpin teman saya, mantan pemimpin redaksi Media Dakwah, Aru Syeif Assadullah. Kini ia almarhum.

Di situ saya banyak menulis tentang Prabowo. Saat itu pemilu 2014, Prabowo berhadapan dengan Jokowi. Saya bedah saat itu Jokowi yang dikendalikan orang-orang non Muslim radikal. Jokowi pemimpin boneka.

Saya dan Tabloid Suara Islam 2014 dan 2019 dukung penuh Prabowo. Puluhan tulisan saya tentang Prabowo. Entah Prabowo membaca atau tidak, saya tidak pernah bertemu ngobrol berdua dengan Prabowo. Prabowo adalah pilihan yang tepat umat Islam saat itu. Meski Prabowo banyak kelemahannya,

Kini, pada 2023, saya dukung Anies. Saya baca buku biografi Anies. Saya telusuri tulisan dan ceramahnya, saya tidak ragu dukung Anies.

Anies adalah seorang aktivis dan seorang guru. Ketika mahasiswa sudah menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM. Tahun 1993, di UGM ia sudah mengenal tokoh Islam Mohammad Natsir. Ia sebagai ketua senat saat itu berbicara tentang Natsir dalam sebuah seminar mengenang wafatnya Mohammad Natsir. Kebetulan saya mempunyai dokumen majalahnya.

Tahun 2021 saya menulis Anies vs Ganjar, Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekuler di Suaraislam.id. Tulisan saya itu rupanya menarik seorang jurnalis dan mantan anggota DPR. Ia menelepon saya dan ingin bertemu.

Akhirnya kita berdua bertemu di sebuah kafe di Tebet. Namanya RP. Ia cerita bahwa ia dekat dengan Anies Baswedan. Ia tunjukkan foto-fotonya yang berdua dengan Anies.

Ia mengaku sekitar enam tahun berteman dengan Anies di Amerika. Ia ingin membantu Anies jadi presiden. Lewat media yang ia kelola tentunya. Sebelum pulang, ia memberi saya buku biografi Anies yang diterbitkan Republika.

Beberapa bulan lalu Pustaka Al Kautsar meluncurkan buku Jejak Rekam Anies di Jakarta. Kebetulan saya diundang direkturnya.

Berdua dengan teman saya, Andi, saya naik motor ke sebuah hotel di Jakarta. Saya harus ketemu langsung dengan Anies, tekad saya. Alhamdulillah akhirnya di acara itu saya bisa ketemu berdua dengan Anies. Saya tunjukkan tulisan-tulisan saya tentang dia, dan diapun langsung meminta saya menulis nama dan HP saya dalam sebuah sobekan kertas.

Beberapa hari kemudian tim Anies menghubungi saya dalam pertemuan terbatas di rumah Anies di Lebak Bulus Jakarta. Saat itu saya mengusulkan kepada Anies beberapa hal untuk perbaikan negeri ini. Di pendopo rumah Anies yang ada gambarnya Pangeran Diponegoro itu, kita berdiskusi, makan- makan dan foto-foto. Pulangnya saya menghadiahkan dua buku saya untuk Anies.

Saya melihat langsung kejujuran, kepemimpinan dan kesalehan Anies. Maka ketika orang-orang Demokrat dan SBY mencaci Anies, saya tetap bela Anies. Saya tidak melihat kepribadian Anies sebagai pembohong dan pengkhianat sama sekali.

Kini mulai terbuka informasinya. Ternyata Demokrat pasang harga mati untuk AHY sebagai wapres Anies. SBY memaksakan anaknya menjadi wapres untuk pemilu 2024. Mungkin SBY ingin 2029 anaknya menjadi presiden mengikuti jejak dia.

Tentu saja Nasdem dan PKS menolak pemaksaan SBY itu. Kedua partai itu ingin mencari wapres yang terbaik, yang elektabilitas tinggi, yang akan menjadikan Anies sebagai presiden.

Anies beberapa hari lalu, ternyata sudah mau ngomong tentang Cak Imin ini. Kepada petinggi Demokrat dan PKS. Kepada PKS, Anies berhasil komunikasi, kepada Demokrat tidak berhasil komunikasi.

Pidato SBY kemarin memang menarik dan seolah-olah Anies salah besar. Ternyata kini terkuak bahwa petinggi Demokrat sendiri 'yang menolak' berkomunikasi dengan Anies beberapa hari lalu.

SBY memang pandai beretorika. Tapi dalam kebijakan seringkali ngawur. Dosa politik SBY terbesar adalah membiarkan Alfamart dan Indomaret merajalela di mana-mana. SBY sebagai presiden saat itu tidak membuat peraturan pembatasan dua toko konglomerat itu yang kini mematikan banyak toko milik rakyat kecil.

Juga 2017, ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta. Saat itu tokoh-tokoh Islam menginginkan satu calon untuk melawan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Yaitu Anies. Tapi SBY ngotot memaksakan anaknya AHY untuk bertarung dalam Pilgub itu. Alhamdulillah Anies menang.

Yang lebih parah lagi SBY tidak bisa mencegah orang-orang di sekitarnya untuk korupsi. Di masa ia jadi presiden, orang-orang partai Demokrat banyak dipenjara karena kasus korupsi.

Jadi, saya lebih percaya kepada Anies daripada SBY dan Partai Demokrat. Dan, Anies berjanji akan menjelaskan pilihan pasangannya Cak Imin dalam waktu dekat. Kita tunggu. Wallahu alimun hakim. (*)