Netral Politik, “No Way”!
Di perspektif Islam, segala kekurangan maupun kesalahan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan itu disebut “al batil” (kemungkaran), yang sekarang harus diperbaiki. Yaitu melalui pemilu yang akan berlangsung serentak Februari tahun depan.
Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior
TERUS terang, ini pengajian lama. Tapi sempat viral. Ketika KH. Ahmad Bahauddin Nursalim menjelaskan bahwa umat Islam wajib menentukan pilihan. Antara yang hak dan batil. Karena menurut pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang itu, sekarang ada penyakit orang banyak. Yaitu, “netral” ketika menghadapi suatu masalah.
Menurut ulama yang terkenal dengan ceramah campuran bahasa Jawa dan akrab disapa Gus Baha itu, penyakit ini jarang ada yang membahasnya. Sehingga sikap netral seakan bijak. Apalagi, menurut dia, netral ini sudah menjadi ciri orang Jawa. Padahal, itu bertentangan dengan perintah agama.
Gus Baha memberikan jawaban gamblang melalui video berdurasi 3:46 menit yang direkam SantriGayeng.com, seperti dilansir portal berita Duta.co, Sabtu (9/5/2020). Dijelaskannya, “Saya pernah ditanya. Dan, ini kisah nyata: Gus, orang netral itu baik tidak? Misalnya (ada) orang berkelahi, kita tidak ikut mencampuri?”
Gus Baha menjawab pertanyaan itu dengan tegas. Bahwa kita tidak boleh netral. Karena kalau netral, kita membiarkan yang hak (kebenaran) dan batil (kebatilan) itu sama sederajat. Padahal kebenaran itu harus dinyatakan dan yang batil juga harus ditunjukkan.
Bagaimanapun, walau tak banyak yang membicarakannya, namun umat Islam harus disadarkan bahwa yang hak itu hak dan yang batil itu batil. Islam datang dengan membawa Alqur’an. Dan, Alquran diturunkan sebagai “Alfurqan” (pembeda) antara kebenaran dan kebatilan. Rasulullah sendiri mengajarkan supaya setiap orang berani menyatakan kebenaran dan juga tidak gentar menunjukkan kebatilan atau kemungkaran.
Karena itu, Rasulullah tidak pernah menjadi orang netral. Nabi selalu memihak kepada yang benar. Salah satu tugas Nabi adalah mengajarkan agar kebenaran itu ditegakkan dan kebatilan itu dihancurkan.
Netral Politik
Sejalan dengan pikiran di atas, terutama menyongsong pesta demokrasi yang semakin dekat, bolehkah kita netral alias tidak memihak? Bagaimana pun, dalam beberapa bulan mendatang anak bangsa akan menjalani puncak musim politik berupa penyelenggaraan pemilu. Mulai dari pilkada, pileg sampai pilpres.
Tentu saja, sebagian orang akan berkata: “Ah, bukan urusan gue. Gak usah ikut-ikutan politiklah. Toh, siapa pun yang akan duduk sebagai anggota dewan atau menjadi pemimpin puncak pemerintahan, gak ngaruh ke kita. Hidup kita bakal begini-begini aja. Biarlah masalah politik jadi urusan para penggede, politisi dan kalangan elit saja.”
Karena itu, bukan mustahil akan ada yang memilih golput. Tidak mau ikut nyoblos alias ikut serta pemilu. Soalnya, setelah beberapa kali pemilu toh tidak ada perubahan dalam kehidupan. Kesulitan hidup kian bertambah. Harga berbagai barang kebutuhan terus melonjak. Tidak sebanding dengan penghasilan rakyat yang kian menipis.
Ketika lapangan kerja pun kian sulit didapat. Sementara para elit tampaknya hanya memikirkan cuan buat diri mereka sendiri maupun kelompoknya. Rakyat jadi apatis. Karena pemimpin tidak memikirkan rakyatnya. Sehingga rakyat tidak punya pilihan, kecuali harus menentukan pilihan untuk mengurus nasib sendiri-sendiri.
Tentu saja hal ini adalah sebuah kesalahan yang fatal dalam berpikir. Apalagi bagi seorang muslim yang agamanya menekankan pentingnya “amar ma’ruf nahiy mungkar”. Menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemungkaran. Suatu ajaran yang pada prinsipnya (telah) memerintahkan umat Islam untuk berpolitik.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari 'Abdullah bin Mas'ud, bagaimana Rasulullah SAW bersikap dan bertindak. Ketika memasuki Mekah waktu penaklukan kota itu (fathu makkah) – hari Jumat, 20 dan 21 Ramadan, tahun ke-8 Hijriah, bertepatan dengan 1 Januari 630M – ada 360 buah patung di sekitar Ka'bah.
Maka Rasulullah SAW menusuk patung itu dengan sepotong kayu yang ada di tangannya, lalu bersabda: “Telah datang yang hak dan telah lenyap yang batil, sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap. Telah datang yang hak, dan yang batil tidak akan datang lagi dan tidak akan kembali”.
Rasulullah memperpanjang waktu keberadaannya bersama pasukan Muslim selama 19 hari di kota kelahirannya itu. Untuk menghancurkan seluruh bentuk dan macam ragam berhala yang dicap sebagai kebatilan itu. Sehingga segala kebatilan hilang lenyap dan tidak akan kembali lagi. Lalu kebenaran dinyatakan tegak selamanya.
Kalau begitu, bagaimana seorang muslim mesti berperan? Menurut Gus Baha, seorang muslim harus menjadi Alfariq (pembeda). Tentu saja pembeda antara yang hak dan batil. Dalam pemilu, dia harus mampu membedakan antara yang hak dan batil. Antara pilihan yang tepat tidak hanya menurut kata hatinya, tapi juga menurut tuntunan Islam. Karena tingkat keberpihakannya pada kebenaran dan penolakannya pada kebatilan akan dipertanggungjawabkan pada yaumul hisab kelak.
Dalam hal ini, tentu menarik dan penting melihat pandangan sejumlah tokoh. Khalifah Keempat Ali bin Abi Thalib RA, misalnya, mengatakan: “Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang-orang baik.”
Soal pemilu Indonesia, tentu tidak kalah menarik apa yang dikemukakan oleh DR Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, MPhil (Ketua MIUMI Pusat, putra Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo).
Dia mengatakan bahwa “Jika anda tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah dan anggota DPR, atau parpol Islam, itu hak anda. Tapi ingat jika anda dan jutaan yang lain tidak ikut pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan.”
Perbaikan Kehidupan
Penyelenggaraan pemilu mendatang semestinya dimaksudkan untuk mencari pemimpin yang akan menakhodai kapal kehidupan bangsa dan negara ini untuk lima tahun mendatang. Mulai dari tingkat bupati/walikota, gubernur dan Presiden/Wakil presiden, sampai para anggota dewan pusat dan daerah. Dan tentu saja pula, pencarian seorang pemimpin harus didasarkan pada keinginan seluruh rakyat akan terjadinya pengelolaan pemerintahan yang lebih baik dari kondisi yang ada sekarang.
Karena itu, semua pihak tentu berkaca dari kondisi yang ada sekarang. Semua mesti melihat apakah yang mesti diubah? Dalam hal ekonomi, bagaimana kesejahteraan rakyat harus dijadikan patokan. Sudah cukup baikkah atau belum? Jurang kaya miskin yang banyak disorot apakah sudah saatnya dilakukan perubahan, sehingga rakyat bisa merasakan adanya kesejahteraan yang meningkat, kesetaraan yang semakin membaik?
Dalam hal politik, apakah para elit sudah menjalankan peran dan fungsinya untuk memajukan kehidupan rakyat? Sebagai sebuah negara demokrasi, apakah tatanan politik trias politica sudah berjalan sebagaimana mestinya? Apakah pihak eksekutif sudah menjalankan roda pemerintahan sesuai janji-janji kampanye, yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan rakyat? Sedangkan DPR/DPRD apakah sudah menjalankan tupoksinya untuk mengontrol jalannya pemerintahan?
Begitu juga penegakan hukum. Apakah ada yang perlu diperbaiki, mengingat masih kencangnya kritik sejumlah pihak bahwa hukum di negeri ini tidak berkeadilan. Tajam ke bawah tumpul ke atas. Ada kecenderungan penguasa gunakan hukum untuk memukul lawan (oposisi) dan merangkul kawan (koalisi).
Di perspektif Islam, segala kekurangan maupun kesalahan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan itu disebut “al batil” (kemungkaran), yang sekarang harus diperbaiki. Yaitu melalui pemilu yang akan berlangsung serentak Februari tahun depan.
Adalah kewajiban setiap anak bangsa yang punya hak memilih untuk memperbaiki segala kekurangan atau pun compang-camping dalam penyelenggaraan pemerintahan itu melalui pemilu.
Dan kewajiban setiap orang untuk mengadakan perubahan itu sangat ditekankan dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya. Jika tidak mampu juga, maka hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim).
Karenanya, berpedoman kepada hadist Nabi di atas, maka umat Islam harus proaktif menentukan pilihannya, baik dalam pileg kebupaten/kota maupun propinsi, pilkada bupati/walikota, gubernur dan pilpres. Bila ada suara-suara yang menyuruh agar netral atau golput saja, hendaknya semuanya menolak. “Netral politik, No Way”. (*)