Netralitas Polri Jangan di Panggung Depan Saja
Setahu saya, pimpinan Polri sudah beberapa kali mengeluarkan telegram arahan netralitas saat pemilu. Tapi jangan hanya di panggung depan saja, dalam aplikasinya juga harus netral. Jangan ikut cawe-cawe negatif dalam pemilu, pileg, pilkada, maupun pilpres.
Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik Universitas Nasional (UNAS)
HARI Bhayangkara 1 Juli 2023 mestinya dijadikan momentum bagi Polri untuk bersikap netral dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) pada 2024. Netral jangan hanya di panggung depan saja, melainkan juga di panggung belakang sesuai realitas politik.
Berulang kali pimpinan Polri menyatakan akan bersikap netral dalam Pemilu. Pernyataan itu jangan hanya di panggung depan untuk konsumsi pers dan publik. Tetapi juga harus di panggung belakang, sesuai realitas politik.
Seperti pandangan ilmuwan sosial dari Kanada, Erving Goffman dalam konsep dramaturgi politik, sifat politik bagaikan panggung teater. Ada panggung depan (front stage) dan ada pula panggung belakang (backstage).
Panggung depan adalah realitas yang telah disortir dan dipertunjukkan kepada audiens, baik media massa dan publik. Sementara panggung belakang justru realitas politik yang sesungguhnya. Jadi, netralitas Polri itu jangan seperti panggung sandiwara saja. Harus dibuktikan hingga panggung belakang.
Presiden Jokowi dalam pidato Hari Bhayangkara 2023 mengingatkan Polri, saat ini masyarakat ikut mengawasi kinerja Polri, sehingga gerak-geriknya tidak akan bisa ditutupi. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri yang berulang tahun ke-77 merupakan hal yang penting.
Kepala Negara juga menyampaikan apresiasi pada Polri yang berhasil meningkatkan kepercayaan dari masyarakat, dari sebelumnya 60 persen menjadi di atas 70 persen.
Kepercayaan masyarakat itu harus dibuktikan Polri, khususnya dalam kontestasi pemilu 2024 yang sudah berjalan tahapannya sejak Juni 2022 lalu. Netral itu jangan hanya dibibir saja, tapi juga di hati setiap insan Polri sebagai aparatur negara.
Konsolidasi Demokrasi
Netralitas Polri dalam Pemilu merupakan salah satu syarat terciptanya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Parlemen, media massa, akademisi, dan masyarakat harus ikut mengawasi Polri agar dapat menjadi aktor negara yang profesional.
Haram hukumnya bagi Polri dan juga TNI terlibat dalam politik praktis, termasuk nantinya saat berlangsungnya Pemilu.
Untuk mengetahui kualitas konsolidasi demokrasi, antara lain bisa dilihat dari kebijakan, perilaku insan Polri, baik di panggung depan maupun panggung belakang tentang sikap netralitasnya dalam pemilu. Karena Polri mempunyai tugas dalam keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).
Mereka istilahnya wasit yang menjaga keamanan berlangsungnya pemilu 2024. Jika penjaga keamanannya tidak netral, maka turut menghancurkan citra bangsa sebagai negara demokratis. Badan pengawas pemilu (Bawaslu) juga bisa memberikan teguran kepada Polri jika diduga tidak netral dalam pemilu.
Polri memiliki aparat bintara pembina (Babin) Kamtibmas hingga desa-desa, sehingga diharapkan bisa mendeteksi apabila ada potensi terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan pemilu.
Apalagi, Polri sudah memiliki regulasi yang mengatur netralitas personelnya. Misalnya, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 28 ayat (1) berbunyi: Polri bersikap netral dalam kehidupan politik tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Setahu saya, pimpinan Polri sudah beberapa kali mengeluarkan telegram arahan netralitas saat pemilu. Tapi jangan hanya di panggung depan saja, dalam aplikasinya juga harus netral. Jangan ikut cawe-cawe negatif dalam pemilu, pileg, pilkada, maupun pilpres.
Contohnya, jangan cawe-cawe seperti ikut-ikutan menyuruh atau memasang baliho, spanduk tanda partai politik dan caleg, atau calon presiden dan wakil presiden. Termasuk menghadiri undangan deklarasi caleg, capres/cawapres, dan sejenisnya. (*)