Pecah Kongsi

Apakah Ganjar Pranowo lebih baik dari Gibran Rakabuming Raka, karena Ganjar dianggap sudah berpengalaman lolos dari jeratan hukum korupsi E KTP dan menjinakkan rakyat Wadas, sehingga disebut lebih baik dari Gibran?

Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila

MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti pecah kongsi adalah putus hubungan kerja sama.

Dalam politik pecah kongsi adalah hal yang lumrah dan biasa saja, karena dalam politik itu tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi.

Konstelasi politik di negeri ini mulai membalik meja pernainan semua terperanjat dan kaget, sebab selama ini yang dipuja-puji justru yang menjadi sasaran kebencian narasi-narasi para penjilat yang dulunya pemuja kini balik menghujat.

Arus balik penuh intrik dan soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi triger pecah kongsi dan PDIP merasa ditinggalkan oleh Presiden Jokowi, padahal kalau kita amati tanda tanda itu sudah ada sejak Nasdem melakukan pecah kongsi mendukung Aneis Baswedan.

Permainan Jokowi belum berakhir setelah menjadikan Kaesang Pangarep sebagai Ketum PSI, kini menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, tentu saja PDIP mencak-mencak karena Projo yang diharapkan membantu PDIP harus hengkang.

Banyak para pakar politik menganggap Gibran tidak punya pengalaman, saya kira itu tidak penting, sebab AHY, Puan Maharani apa bisa seperti sekarang kalau tidak nyusu pada SBY dan Mak Mega. Mengapa kalau Gibran kita stikma bocil?

Pecah kongsi ini bukan hanya partai politik tetapi juga para pendukung Jokowi, para buzer yang dulu cari makan dengan menghujat Kadrun dan pecah-belah bangsa ini. Namun, sekarang mulai mengonggong pada tuannya yang biasa memberi tulang.

Bangsa dan negara ini didirikan dengan pemikiran yang sangat mendalam dan didasari dengan amanat penderitaan rakyat. Sehingga memilih Pancasila sebagai dasar negara dan Ideologi Pancasila yang terurai di dalam UUD 1945.

Jadi amandemen UUD 1945 itu yang diamandemen ideologi Pancasila dan ini harus ditanyakannya pada Megawati Soekarnoputri dan harus bertanggungjawab, sebab motor pengganti UUD 1945 dengan UUD 2002 adalah ketua Fraksi PDIP Yacob Tobing.

Kerusakan sistem seperti sekarang ini harusnya Megawati dan elit politik sadar bahwa negara menuju kehancuran akibat dari UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 dan dihilanglan Pancasila diganti dengan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme.

Dengan sistem Presidensil di mana kekuasaan diperebutkan dengan banyak-banyakan suara, pertarungan kalah-menang, kuat-kuatan, curang-curangan, kaya-kayaan.

Sehingga pemilu ajang perjudian dengan bandar-bandar oligarki yang akhirnya menguras aset-aset negara untuk pertarungan politik para bandar.

Bagaimana mungkin cita-cita negara bangsa itu bisa terwujud kalau visi-misi negara diganti dengan visi-misi presiden, hal demikian banyak yang nggak mengerti apa yang terjadi di negeri ini semakin superliberal dan super kapitalistik.

Bagaimana mungkin cita-cita kemerdekaan itu bisa terwujud manakala 0,1% warga negara menguasai 50% aset di negara Indonesia.

Berdasarkan data terbaru KPA, 68 persen tanah yang di seluruh daratan di Indonesia saat ini telah dikuasai oleh 0,1 persen kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar. "Sisanya barulah diperebutkan oleh 99 persen masyarakat yang tersisa".

Amandemen UUD 1945 dengan mengubah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara justru kita masuk di dalam alam ketidak-adilan. Semua yang berkuasa partai politik.

Suka tidak suka, mau tidak mau, rakyat di partai politikkan. Jika tidak ikut di dalam partai politik maka rakyat tidak punya hak bersuara, tidak punya hak memilih maupun dipilih.

Jadi karena sistem seperti inilah membuat orang tidak bermartabat mencari jalan agar keinginannya terpenuhi dengan kekuasaannya.

Bahwa negara yang didirikan dengan Berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dengan didorongkan keinginan luhur, justru memilih persidennya jauh dari keluhuran dengan mengunakan cara perjudian banyak-banyakan suara, kalah-menang, curang-curangan, sogok-menyogok.

Apa para elit politik tidak lagi mempunyai rasa kenegarawanan? Untuk kembali pada UUD 1945 dan Pancasila.

Apakah Ganjar Pranowo lebih baik dari Gibran Rakabuming Raka, karena Ganjar dianggap sudah berpengalaman lolos dari jeratan hukum korupsi E KTP dan menjinakkan rakyat Wadas, sehingga disebut lebih baik dari Gibran?

Inilah yang terjadi pada bangsa ini sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 dan mereka (partai politik) berpesta-pora dan sekarang pecah kongsi sebab di pikirannya berpesta-pora membagi aset negara.

Apa akan kita biarkan begara ini? Apa menunggu daerah-daerah lain pecah kongsi dengan Negara Indonesia dan mendirikan negara lain?

Apa nenunggu Aceh Merdeka, Kalimantan Merdeka, Papua Merdeka, Sulawesi Merdeka? Marilah kita sebagai bangsa sadar akan terjadi perpecahan jika kita tidak kembali pada Pancasila dan UUD 1945. (*)