Pencawapresan Gibran, Rugi Besar Prabowo

Kerugian kedua, nama Prabowo akan tercemar, disejajarkan dengan Jokowi yang mempunyai citra buruk di masyarakat. Jokowi dinilai melanggar banyak peraturan perundangan-undangan, termasuk konstitusi. Antara lain, UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

DUA mahasiswa menggugat pasal batas usia minimum capres-cawapres yang dibatasi minimum 40 tahun. Bukan minta batas usia minimum ini diturunkan, agar Gibran Rakabuming Raka bisa penuhi syarat calon wakil presiden. Tetapi, menambah persyaratan alternatif. Meskipun belum berusia 40 tetapi boleh menjadi calon wakil presiden asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Gugatan yang tidak ada legal standingnya itu disidangkan, dan permohonan dikabulkan, dengan dissenting opinion 5-4.

Tetapi, banyak pihak berpendapat, Putusan MK tersebut cacat hukum, tidak sah, melanggar konstitusi, melanggar wewenang DPR, dan sejenisnya. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga berpendapat seperti itu.

Putusan MK tentang batas usia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah menuai kontroversi dan problematik. Setiap saat bisa digugat, dan dibatalkan.

Sehingga bisa menimbulkan masalah besar dan potensi memicu konflik politik di kemudian hari.

Putusan MK tersebut disambut Koalisi Indonesia Maju, Gerindra, Golkar, Demokrat dan PAN, dan menetapkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran sebagai capres dan cawapres 2024.

Pencawapresan Gibran diperkirakan akan membuat Prabowo rugi besar.

Pertama, suara perolehan Prabowo diperkirakan akan merosot. Karena arus penolakan dari masyarakat pada Gibran sangat besar. Penolakan bukan saja datang dari kader, tetapi juga dari masyarakat pemilih partai koalisi: Golkar, Demokrat, PAN, dan termasuk dari Gerindra sendiri. Penolakan dari masyarakat bahkan jauh lebih buruk dari kader.

Ada dua alasan yang mendasari itu. Pertama, persyaratan Gibran sebagai cawapres dinilai telah manipulatif dan melanggar konstitusi. Masyarakat sangat tidak suka, bahkan membenci, terhadap hal-hal seperti ini. Kedua, Gibran dianggap belum pantas menjadi cawapres karena masih “hijau”, tetapi dipaksakan oleh Joko Widodo dan keluarga, melalui Prabowo.

Berdasarkan survei Ipsos, pencawapresan Gibran menurunkan suara Prabowo 6,2 persen dibandingkan kalau Prabowo berpasangan dengan Erick Thohir.

Kalau dibandingkan dengan perolehan suara dari partai koalisi (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN) pada 2019 yang mencapai sekitar 39,5 persen, efek pencawapresan Gibran telah membuat suara Prabowo merosot 8,2 persen.

Kemungkinan besar, karena suara Golkar, Demokrat dan PAN anjlok dan beralih ke partai lain non Koalisi Indonesia Maju.

Kerugian kedua, nama Prabowo akan tercemar, disejajarkan dengan Jokowi yang mempunyai citra buruk di masyarakat. Jokowi dinilai melanggar banyak peraturan perundangan-undangan, termasuk konstitusi. Antara lain, UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan.

Menang atau kalah dalam pilpres ini, Prabowo rugi besar. Nama tercemar. Bukankah nama itu segala-galanya bagi manusia, jauh lebih penting dari jabatan sebesar apapun? Seperti pepatah bilang, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” (*)