PKB Gabung, Anies Jangan Jilat Ludah Sendiri (Bagian-2)
Pertemuan Anies dan Imin sudah berlangsung empat kali secara langsung. Keduanya juga bertemu di rumah Anies. Itupun tanpa setahu Surya Paloh. Pertemuan Imin dan Jazuli Fawaid dengan Anies tak terbaca media dan Istana.
Oleh: Mochamad Toha dan Iriani Pinontoan, Wartawan Freedom News
SEBELUMNYA pada Jumat (18/8/2023), KPK melakukan penggeledahan di dua lokasi, yakni di kantor Kemnaker di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dan di sebuah rumah di Perum Taman Kota Blok B2 nomor 9 Bekasi.
Selanjutnya, Selasa (29/8/2023) tim penyidik juga telah melakukan penggeledahan di kediaman tersangka Reyna Usman di Jalan Merdeka atau Jalan Taki Niode Ipilo Gorontalo. Rencananya, KPK akan memanggil Cak Imin yang sejak Sabtu (2/9/2023) menjadi Bacawapres Anies Baswedan.
"Semua pejabat di tempat itu dimungkinkan untuk kita mintai keterangannya. Jadi semua pejabat di tempat itu dimungkinkan untuk dimintai keterangan," ujar Asep kepada wartawan di Gedung Juang pada Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat malam (1/9/2023).
Asep menjelaskan, semua pejabat di Kemenakertrans pada 2012 termasuk Cak Imin sangat perlu dimintai keterangan agar peristiwa pidana terungkap dengan jelas.
"Mengapa? Karena, kita harus mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya, jangan sampai ada para pihak misalkan si A menuduh si B, kemudian si C juga menuduh si B, lalu si B tidak kita mintai keterangan itu kan akan janggal. Jadi, semua yang terlibat, yang disebutkan oleh para saksi dan ditemukan juga di bukti-bukti, kita akan minta keterangan," pungkas Asep.
Jika akhirnya Cak Imin benar-benar dimintai keterangan dan berpotensi menjadi tersangka di KPK, ini jelas akan mengganggu proses pendaftaran Capres – Cawapres 2024. Pendaftaran capres dan cawapres pada Pemilu 2024 akan dibuka pada 19 Oktober 2023 – 25 November 2023.
Pilihan Anies Baswedan dan Surya Paloh atas Cak Imin ini sebenarnya sangat berbahaya. Karena, potensi kehilangan pasangan cawapres sangatlah besar. Apalagi, jika Muhaimin sampai ditangkap KPK saat injury time pendaftaran Pilpres 2024. Maka, Anies bisa gagal nyapres karena kehilangan cawapresnya.
Kalau mau jujur, Anies bisa dibilang, tidak cermat dan ceroboh saat memutuskan Cak Imin sebagai cawapresnya. Anies menjilat ludah sendiri. Betapa tidak. Sebelumnya, Anies menambahkan syarat Bacawapres KPP “bersih dan berani”. Sementara dua syarat itu tak ada pada Cak Imin.
Juga para calon yang ditawarkan kader NasDem selama ini, seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah dan Yenny Wahid. Diduga, Khofifah diduga masih punya tunggakan “kasus” di Kementerian Sosial saat dia menjabat Menteri Sosial, dan Yenny Wahid dikenal dekat dengan Israel. Semua data kasus mereka sangat mudah ditemukan di sampah digital.
Jadi, sebenarnya yang memenuhi syarat tambahan itu hanya AHY. Makanya, Anies pernah menulis surat pribadi kepada AHY agar bersedia menjadi pasangannya. Namun, sayangnya, AHY maupun Demokrat tidak segera merespon “tawaran” Anies Baswedan. Akhirnya terjadi “gempa politik” yang menimpa Demokrat.
SBY dan petinggi Demokrat marah dan menuduh Anies dan NasDem sebagai pengkhianat karena tidak memilih AHY sebagai Bacawapres Anies. Yang dipilih justru pendatang baru, Muhaimin dan PKB dengan “hadiah” Cak Imin menjadi Bacawapres Anies.
Kalau Anies butuh suara Nahdliyin, mengapa tak sekalian lamar saja Ustadz Abdul Somad, LcMa atau Ustadz Adi Hidayat LcMa. Sebab, kedua dai tersebut jelas lebih membumi dibanding Cak Imin yang punya masa lalu skandal korupsi kardus durian yang status hukumnya masih abu-abu.
Bisa diungkap KPK lagi jika ada novum baru terkait kasus itu, yang bukan kemuskilan novum baru itu tengah disiapkan lawan politik jika Cak Imin maju sebagai Bacawapres.
Dus, adanya kabar Waketum NasDem Ahmad Ali yang menolak kalau Anies akhirnya memilih AHY, sangat mencurigakan secara politik. Bukan kemuskilan ada niat tidak etis terhadap Anies untuk ikut Pilpres 2024. Secara teknik, Ali ingin gagalkan Anies ikut Pilpres 2024.
Sebab penolakan yang dilakukan Ali itu merupakan pelanggaran komitmen yang disampaikan Surya Paloh. Bahwa Anies dibebaskan memilih pasangan sendiri. Karena itu, jubir Demokrat teriak bahwa ada kader partai koalisi yang khianati komitmen koalisi. Bebaskan Anies pilih pasangannya.
Koalisi NasDem dan PKB tak patut lagi mengusung jargon Perubahan. Karena, sejarah Muhaimin dan PKB yang anti perubahan. Misalnya, Cak Imin-lah yang pertama kali usulkan tiga periode untuk rezim Jokowi.
Cak Imin juga pertama kali yang promosi Ibu Kota Negara (IKN). Pun dukung Omnibus Law Tenaga Kerja dan Kesehatan, yang merugikan rakyat Indonesia. Citra sama juga menempel pada NasDem.
Bagaimana nasib AHY dan Demokrat paska Deklarasi Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar? Soal sikap politik Demokrat, AHY, dan SBY itu, tinggal kembalikan ke mereka sendiri. Sebab, kini rakyat Indonesia sudah tahu bahwa SBY masuk koalisi punya agenda politik dinasti. Tidak murni untuk perjuangan melakukan perubahan.
Kalau gabung PDIP dan Prabowo, biar rakyat Indonesia kian tahu jika SBY itu punya karakter “raja”. Berambisi melanjutkan kekuasaannya dengan kendaraan partai. Bukan berjiwa pembela kebenaran dan keadilan. Demokrat bukan lagi partai yang ingin perubahan, tapi “keberlanjutan”. Karena, kedua koalisi tersebut berjanji melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi.
Seharusnya SBY dan petinggi Demokrat tidak perlu emosi ketika AHY tidak dipilih Bacawapresnya Anies. Apalagi, sampai ada pernyataan keluar dari KPP. Karena, peluang AHY dipilih Anies masih terbuka lebar jika pada akhirnya Muhaimin Iskandar tersandung kasus korupsi.
Mau tidak mau, Anies harus segera mencari penggantinya. Nah, karena AHY pernah diminta untuk bersedia jadi pasangannya, bukan tidak mungkin pilihannya jatuh pada AHY. Apakah memang AHY sebagai Ketum Partai Demokrat sudah benar-benar menyatakan keluar dari KPP, hingga kini belum ada konfirmasi, kecuali jajaran petinggi Demokrat sendiri.
Jika dalam Komitmen Kerjasama dalam KPP itu yang menandatangani adalah AHY, tentu saja saat menyatakan mundur dari KPP juga harus dengan surat secara resmi yang diteken oleh AHY. Kalau cuma pernyataan dari para petingginya saja, secara yuridis formal itu tidak sah.
Dan, kalau AHY dan Demokrat bergabung dengan Koalisi Gerindra atau Koalisi PDIP, yakinlah, di belakang mereka, AHY akan ditertawain. Akhirnya, yang selama ini menjadi oposisi bergabung di Koalisi Istana juga.
Kalau SBY, AHY, dan Demokrat masih ingin mendukung perubahan, tidak ada salahnya jika mereka merajut kembali dan melakukan komunikasi dengan Anies Baswedan dan Surya Paloh. Perintahkan para “jubir” Demokrat untuk menghentikan serangan terhadap Anies dan NasDem, karena hanya di sinilah AHY dan Demokrat masih bisa mendapatkan tempat dan masa depan, bukan masa lalu.
Yakinlah, AHY masih ada peluang menjadi Bacawapres Anies, jika terjadi musibah hukum menimpa Muhaimin Iskandar. Sebab, Anies harus segera mencari penggantinya jika tetap ingin ikut kontestasi Pilpres 2024. Apalagi, syarat tambahan harus “bebas dan berani” ada pada diri AHY.
Rancang duet Anies – Imin sebenarnya sudah dilakukan, sejak Jokowi ingin “kawinkan” Prabowo Subianto dengan Ganjar Pranowo saat kunjungan bersama di Jawa Tengah, yang fotonya jalan bertiga di tengah sawah itu.
Pertemuan Anies dan Imin sudah berlangsung empat kali secara langsung. Keduanya juga bertemu di rumah Anies. Itupun tanpa setahu Surya Paloh. Pertemuan Imin dan Jazuli Fawaid dengan Anies tak terbaca media dan Istana.
Pertemuan terakhir pada Rabu malam lalu (30/8/2023) di Resto Kayangan, Jakarta. Surya Paloh bertemu Imin untuk kesepakatan Imin sebagai Bacawapres. Rapat itu dihadiri Imin dengan tiga pengurus, Paloh dengan 4 pengurus.
Setelah rapat, Surya Paloh memanggil Anies di kantor DPP Nasdem. Untuk dipaksa gandeng Imin. Anies pura-pura mikir beberapa menit. Selanjutnya setuju. Dan rencana deklarasi langsung dikebut. Sabtu, 2 September 2023, digelar. (*)