Politik Jokowi Jebol Berantakan

Jalan yang dilalui, akan selalu melakukan manipulasi politik, propaganda politik, agitasi politik, dan suap politik untuk meningkatkan pembelahan politik dan koersi politik melalui political assassination yaitu teror intimidasi.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

PERILAKU politik di Indonesia semua sudah dengan standar uang. Pepatah Inggris mengatakan, ‘’There is no such a free lunch in the world’’, tidak ada makan siang gratis di dunia. Merujuk pada filosofi materialisme dalam masyarakat Barat yang mengukur segala sesuatu dengan materi dan uang. Di masyarakat Barat, waktu pun diukur dengan uang, ‘’Time is money’’, waktu adalah uang.

Di sini lain, sudah kehilangan etika dan moral, seperti dipoles oleh Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, PhD, Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi 10 November Surabaya bahwa "keruntuhan etika, yang melanda Mahkamah Konstitusi minggu-minggu ini tidak terlalu mengejutkan saat para politisi sebagai law makers sudah mencampakkan standar etikanya ke tong sampah sejak reformasi".

"Mereka seharusnya menetapkan standard etika tertinggi melebihi dokter dan hakim. Saat jagad politik lalu diawaki oleh para bandit, badut, dan bandar politik, sedang publik hanya jongos politik, maka para – glembuk, gendam, dan copet akan makin memenuhi ruang publik. Kita tinggal bersiap memasuki kebuntuan konstitusi, lalu menghitung mundur nasib Republik ini”.

Even politik meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres oleh MK yang dikomandani Anwar Usman sekalipun sebagai keluarga besar Joko Widodo, patut diduga ada harga yang harus dibayar, pelanggaran etika dan ada tujuan lain yang ingin dicapai, bukan sekedar menang Gibran sebagai Wapres, target Presiden sekaligus.

Manuver tipuan Presiden Jokowi dengan basa-basi politik tipuan murahan adalah sudah terbaca dengan terang-benderang menjadi watak, kepribadian, dan perilakunya yang sulit untuk tetap terus disembunyikan dengan rekayasa atau cara apapun.

Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran, Jokowilah sebagai aktor intelektual utama yang menjadi arsitek rekayasa tersebut tidak bisa dinafikan sebagai sejarah hitam pekat di Indonesia. Adalah sebuah rekayasa politik Jokowi untuk mengamankan diri dan keluarganya paska lengser dari kekuasaannya.

Wajar muncullah gelombang tamparan, gempuran, cercaan serta serangan masyarakat ke arah Jokowi dan otomatis memposisikan Jokowi terpojok defensif. Panggung dramaturgi politiknya terlalu kasar dan vulgar, sangat jauh dari etika, moral atau standar perilaku politik yang bermartabat dan terhormat.

Sekenario panduan politiknya penuh intrik, untuk menjebak dan menghabisi lawan-lawan yang tidak berada di kubunya. Manuvernya asal menang pada Pilpres 2024 mendatang apapun akan dilakukan saat menggenggam kekuasaannya.

Benar yang dikatakan DR. Mulyadi, dosen politik dari UI bahwa kekuasaan buruk Jokowi tersebut bisa didekati teori politik standar, ciri praktik politik menindas, anti-kritik, anti-perubahan, status quo; dan korup.

Jalan yang dilalui, akan selalu melakukan manipulasi politik, propaganda politik, agitasi politik, dan suap politik untuk meningkatkan pembelahan politik dan koersi politik melalui political assassination, yaitu teror intimidasi.

Jokowi akan terus menampilkan gimmick politiknya yang merujuk kepada pemanfaatan kemasan, tampilan, alat tiruan, serangkaian adegan untuk mengelabuhi, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain.

Gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran. Sebagai bagian dari pertahanan politik Jokowi, yang sesungguhnya sudah jebol berantakan. (*)